Arsa menyalakan cerutu di antara bibirnya, membiarkan nyala api kecil itu menari sebelum akhirnya ia menghembuskan asap perlahan. Rasa kesal dan gundah masih bersarang di dadanya, tak kunjung sirna meski kepulan asap mulai memenuhi udara malam. Bayangan Lyora masih terpatri di benaknya, gadis itu telah mengguncang hatinya, membuatnya tak tentu arah. Ia ingin tetap tinggal di Shadowbrook Camp sampai batas waktu selesai, tetapi kenyataan berkata lain. Malam ini, ia harus pulang.
Ponselnya kembali bergetar. Nama sang ibu muncul di layar, disertai deretan pesan yang belum sempat ia baca. Arsa menghela napas panjang, menekan batang cerutu di antara jari-jarinya, seakan berharap asap terakhir bisa menenangkan gejolak yang ia rasakan.
Gadis yang dulu ia anggap sebagai beban, kini justru ingin ia miliki sepenuhnya. Ia ingin Lyora selalu ada di sisinya, menemani hari-harinya, menyambut pagi dengan senyum manisnya.
Sial, Ia mencintainya. Terlalu dalam, terlalu kuat, hingga membuatnya hampir gila.
Mencintai Lyora seperti membiarkan api berkobar dalam dirinya, menghanguskannya perlahan, tetapi ia tidak ingin padam. Ia menginginkannya lebih dari apa pun. Membayangkan Lyora jauh darinya saja sudah cukup untuk membuat dadanya terasa sesak, pikirannya kusut, dan amarahnya meluap.
Arsa ingin menahannya, menjebaknya dalam dunianya sendiri. Membuat gadis itu tidak bisa pergi, tidak bisa berpaling. Jika perlu, ia akan merantai Lyora di sisinya, memastikan hanya ia yang bisa menikmati setiap senyum dan tatapan itu.
Obsesinya semakin menyesakkan dada, bercampur dengan kepulan asap yang mulai menipis. Ia menatap lurus ke depan, merasakan denyut obsesinya menggema dalam setiap hela napasnya. Jika Lyora mencoba lari, maka ia akan menjadi belenggu yang menahan langkahnya. Jika gadis itu menolak, maka ia akan memastikan Lyora tidak punya pilihan selain tunduk.
Karena bagi Arsa, Lyora bukan hanya seseorang yang ia cintai. Lyora adalah miliknya. Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya.
"Lyora..." namanya terucap begitu saja, mengguncang hatinya, menghadirkan debar tak wajar yang merambat ke seluruh tubuhnya. "Lyora... sayang... kau milikku, hanya milikku."
***
Di sisi lain, Lyora merebahkan dirinya di dalam tenda, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelelahan. Pertemuannya dengan Draeven tadi membuatnya gelisah, belum lagi misteri yang terus membayangi perkemahan ini.
Haruskah gue pulang lebih awal?
Tinggal satu hari lagi, tetapi rasanya seperti bertahun-tahun. Gangguan demi gangguan terus menghantuinya. Apa ini karma? Sebenarnya, siapa sosok itu? Dan di mana para korban yang sering diberitakan?
Srek!
Telinganya menangkap suara langkah mendekat.
"Woi!"
Lyora tersentak kaget. Di depan pintu tenda, Veronika dan Chintiya berdiri dengan wajah merah padam. Sebelum sempat bertanya, tangan Lyora sudah ditarik paksa.
"Sini lo, sialan!"
"Heh, brengsek! Lo apa-apaan sih?!" Lyora memberontak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman mereka.
"Harusnya kami yang nanya, bitch!" Veronika membentak. "Ngapain lo santai di tenda, leha-leha kayak nggak ada beban?"
Chintiya mencibir. "Enak banget ya, kerjaan kita kayak babu ngumpulin ranting sementara lo ongkang-ongkang kaki di sini?"
"Jaga tutur kata kalian berdua!"
Ketiganya menoleh serempak.
Sosok pria tegap berdiri di belakang mereka. Cahaya redup dari lampu tenda menyorot wajahnya, Aswajendra Tirtaatmaja, atau yang biasa dipanggil Jendra. Pria berkacamata minus itu menatap mereka tajam, ketampanannya tetap terpancar meski raut wajahnya dingin. Sebagai teman Arsa dan panitia, ia jelas punya wewenang lebih di sini.

KAMU SEDANG MEMBACA
That Naughty Monster is My Boyfriend
Fanfiction"Tubuhmu sempurna... padat, berisi, ramping, dan begitu menggoda. Bahkan aromamu membuatku ketagihan. Aku ingin menikmati setiap inci darimu, sayang." _________ Shadowbrook Camp - nama yang sudah dikenal luas. Destinasi favorit bagi para siswa yang...