Raka bersender di kursi sembari memakan satu persatu buah yang di mangkuk hingga tandas. Dirinya menyerahkan mangkuk kosong itu pada sang bunda yang selama ia makan tadi memperhatikannya.
Gisel terkekeh. Salad buah yang ia buat beberapa menit lalu sekarang sudah habis dimakan oleh Raka. Anaknya itu lapar atau emang doyan?
"Enak?" tanyanya. Ia mengambil mangkuk kosong itu, meletakkannya di atas meja. Kemudian mengambil tisu dan mengelap bibir Raka yang kotor bekas remahan buah.
Raka mengangguk singkat. Ia menatap wajah Gisel, tangan sang bunda masih telaten mengelap area bibir dan pipinya menggunakan tisu.
Perasaaan yang tak bisa dideskripsikan dapat Raka rasakan. Sedih, bahagia, sesak dan hangat berkecamuk dalam hatinya. Sudah berapa lama dirinya tidak sedekat ini dengan sang ibunda?
Ketika Raka meminta ingin disuapi dahulu, memang Bunda dan Ayah tetap menurutinya. Namun Raka tahu, mereka seperti terpaksa. Dan selalu berkata bahwa dirinya sudah besar, tidak pantas untuk disuapi serta bersikap manja.
"Bunda ..., " gumam Raka sangat pelan. Namun masih bisa didengar oleh Gisel.
Gisel yang telah selesai dengan urusannya tadi, menoleh pada Raka. "Apa, hem?" tanyanya lembut.
Raka menggeleng.
"Aku ke kamar." Ivan yang tadi tiduran di sofa; bangkit, dia pamit untuk ke kamar karena ingin mengganti pakaian.
Raka mendongak cepat menatap Ivan yang mulai melangkah. "Ipan!" panggilnya cukup keras.
Ivan berbalik, tiba-tiba menguap. "Hoam ... mn apa?" tanyanya menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dia cukup mengantuk btw.
Namun setelah itu, dirinya melotot kaget saat Raka tiba-tiba berlari dan melompat untuk naik ke gendongannya. Beruntung Ivan cukup refleks, dia langsung menahan tubuh si adik agar tidak terjatuh.
"Ikut!" Raka melingkarkan kakinya di pinggang sang kakak, juga tangannya yang melingkar di leher Ivan membuat si empu sedikit sesak.
"Nakal! Nanti jatuh gimana? Terus kamu mau tanggung jawab, misal Abang sakit jantung karena kaget?" Dia menyentil dahi Raka pelan.
Raka hanya diam, sebenarnya ini salah satu cara alternatifnya untuk pamit dari sang bunda. Raka merasa cukup canggung jika terus berdekatan dengan bundanya. Apalagi wanita yang melahirkannya itu bersikap beda dari biasanya.
"Ajak aja, Bang. Mungkin adeknya lagi mau manja-manja sama Abangnya," sahut Gisel tertawa kecil.
Ivan mengangguk, lantas pergi membawa Raka menuju kamarnya.
Gisel yang ditinggal sendirian, beranjak hendak mengembalikan mangkok kosong sebelumnya ke dapur. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik pelan dari belakang.
Ternyata suaminya. Bastian.
Air mata yang sedari tadi Gisel tahan luruh begitu saja. Dia menangis sambil menatap wajah suaminya.
"Mas ... dia menjauh dariku." Bastian membawa Gisel ke dalam pelukannya.
"Mimpi itu.. aku, aku takut.."
•••
"Ipan, kenapa aku gak dibolehin masuk?"
Raka memiringkan kepalanya, bingung menatap Ivan yang sekarang sedang menghalangi pintu dengan tangan direntangkan lebar-lebar. Padahal tadi sang kakak mau mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar miliknya.
"K-kamu tunggu di sini dulu, ya. Kakak mau beresin kamar bentar."
Ivan berbalik, dia membuka pintu dan masuk cepat-cepat agar Raka tidak dapat masuk juga.
"Bau banget."
Suara itu.
Ivan membelalakkan matanya. Ia menoleh ke samping di mana Raka sudah berdiri sambil menutup hidungnya. Sejak kapan sang adik masuk?!
"Raka! Kamu ngapain masuk, astaga?"
Raka tak mendengarkan, dia berjongkok dan mengambil sesuatu. "Ini punya Ipan?"
Ivan mengumpat. Oh, sial. Kain yang biasanya untuk menutupi itunya sekarang tengah dipegang oleh Raka.
"Ih, jorok!" Raka melempar sempak itu tepat mengenai wajah Ivan.
Sementara Ivan meringis, kemudian mengambil baskom kecil sebagai wadah di mana barang-barangnya terletak di lantai. Entah itu baju, celana, celana dalam, bahkan kaos kakinya. Itu semua kotor, belum dicuci sama sekali.
Karena Ivan tidak mau pakaian miliknya dicuci oleh siapapun. Dari dulu dia selalu mencuci sendiri, meskipun terkadang malas.
Ivan orangnya penuh privasi, dia tidak mau kamarnya dimasuki sembarangan, bahkan maid sekalipun tidak pernah diizinkan untuk masuk. Karena pemiliknya ingin membersihkan kamarnya sendiri, itupun jika sedang tidak malas. Kalau malas, maka kamar Ivan tidak ada yang membersihkan, sampai pakaian, bungkus makanan ringan, dan kertas berserakan di mana-mana.
Sekarang, kapalnya mirip kamar pecah.
Eh? Kamarnya mirip kapal pecah, maksudnya.
"Penampilan Ipan di luar aja rapi, tapi di dalam joroknya kaya babi," cetus Raka, lekas Ivan melotot dibuatnya.
"Ini Abang lagi males aja bersihinnya," jawab Ivan masih memunguti pakaian makanan di lantai.
Raka duduk di bibir ranjang. "Kalo ada orang lain yang masuk, terus lihat kamar Ipan gimana?"
"Orang lain yang pertama kali masuk ke sini cuma kamu."
Raka melotot lucu. "Serius?"
Ivan terkekeh kecil melihat keterkejutan adiknya. "Iya."
Beberapa menit kemudian, setelah Ivan membersihkan kamar dan berganti pakaian dia berbaring ke kasur dengan posisi telentang. Napasnya ngos-ngosan karena sedikit lelah.
Sedangkan Raka sedari kakaknya bekerja sendirian tadi, ia tidak sedikitpun membantu bahkan hanya duduk diam tanpa melakukan apapun.
Benar-benar manusia tidak penolong!
Raka menoleh pada Ivan. "Ipan capek?" tanyanya mengerjap polos.
"Pake nanya kamu, ya jelas capeklah," jawabnya kemudian merubah posisi jadi duduk.
"Ipan, peluk?" tawar Raka merentangkan tangannya. Tentu Ivan tak menolak, dia langsung mendekap erat sang adik. "Kalo peluk, nanti capeknya hilang."
Ivan tertawa kecil sambil mengusap rambut Raka lembut. Ia memejamkan mata menghirup aroma yang menguar dari tubuh adiknya.
"Raka, kamu tetep kaya gini, ya?" celetuk Ivan tiba-tiba.
"Jangan pernah pergi dari Abang," lanjutnya. Sengaja Ivan berbicara seperti itu, ia sudah sangat terlanjur menyayangi Raka dari dulu. Baginya Raka adalah dunianya, ia tidak mau adiknya pergi dari hidupnya.
Raka ingat di kehidupannya dulu, saat dirinya diusir dari rumah hanya Ivan yang tidak menampakkan diri. Abangnya itu memilih menjauh dan tidak ingin melihat bagaimana ia ditendang dari rumah.
Raka tahu, Ivan yang paling menyayanginya dari kecil. Namun, Abangnya itu hanya sedikit gengsi menunjukkannya.
"Raka, bunda sama ayah sayang sama kamu. Tapi Abang lebih sayang sama kamu!" katanya melepaskan pelukan, memegang kedua bahu Raka sambil tersenyum lebar.
Berhari-hari dirinya berpikir kenapa sikap sang adik berubah drastis. Dan dia menyimpulkan bahwa adiknya berubah karena kecewa terhadap keluarganya. Raka bukanlah Raka yang dulu, dia tidak manja lagi, tidak menarik perhatian lagi, dan sekarang sikapnya terlihat acuh tanpa emosi.
Raka terdiam, hatinya sedikit tersentuh mendengar penuturan sang kakak barusan. Ia menatap mata Ivan, cukup lama sampai Raka mengeluarkan suara...
"Ipan, mau permen."
Permen mulu lo, Ka. Nanti giginya sakit loh, wkwk.
Komennya, beb 💋

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!