18 | Siapa Menuduh Siapa

1K 80 14
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Arif masuk ke rumah dan segera menutup pintu dengan rapat. Ita terlihat baru saja selesai menyajikan makan malam di atas meja makan. Patmi duduk di sofa ruang tengah bersama Nugraha yang sedang mengupas buah jeruk. Arif menatap sangat lama ke arah Ibunya yang masih saja banyak berdiam diri. Ia mengurungkan niat untuk masuk ke kamarnya saat melihat wajah Patmi. Keadaan kesehatan Patmi memang membaik setelah dibantu oleh Marwan dan Didin, namun tidak begitu dengan pikirannya. Patmi tampak memiliki banyak beban pikiran, sehingga tak ada satu pun yang bisa diungkapkan secara gamblang kepada orang-orang di sekitarnya. Hal itu membuat Arif memutuskan, bahwa sebaiknya ia sama sekali tidak perlu menceritakan soal pesugihan yang dilakukan oleh Bagja dan Rusna. Ia takut kalau keadaan mental Patmi akan semakin memburuk, jika sampai tahu mengenai pocong pesugihan yang sengaja dikirim oleh Bagja dan Rusna.

Ita menyadari bahwa Arif tengah menatap Ibu mereka dalam diamnya. Tak biasanya Arif menatap sampai selama itu. Biasanya Arif akan memilih mengalihkan pikirannya pada hal lain, terutama saat seseorang tak mau mengatakan masalahnya dengan jujur. Ita sangat mengenal sifat dan sikap Kakaknya. Kali ini, sikap Arif sama sekali tidak terlihat seperti biasa. Seakan ada suatu hal besar yang sedang Arif sembunyikan agar tak ada yang tahu.

Kumandang adzan maghrib pun terdengar. Arif merasa ada kesempatan yang datang kepadanya untuk bicara berdua dengan Ibunya. Ia segera mengambil alih jeruk yang sedang Nugraha kupas dan kemudian duduk di samping Patmi.

"Papah pergi saja ke masjid. Biar aku yang jaga Mamah selama Papah pergi," ujar Arif.

"Iya, Nak. Kalau begitu, Papah ke masjid dulu. Jangan tinggalkan Mamah, ya," pesan Nugraha, memercayakan Patmi pada Arif.

"Iya, Pah. Insya Allah Mamah enggak akan aku tinggalkan," janji Arif.

Nugraha pun segera mengambil sajadah dari dalam kamar dan pergi ke masjid. Ita mengambil air wudhu di kamar mandi, lalu naik ke kamarnya di lantai atas untuk shalat maghrib. Kini yang tersisa di ruang tengah hanya Patmi dan Arif. Arif menyuapi jeruk yang sudah dikupasnya ke mulut Patmi. Patmi masih saja diam meski saat itu bukanlah Nugraha yang menemaninya.

"Mah, adakah yang Mamah ingin ceritakan pada Arif?" tanya Arif, sangat lembut. "Arif akan dengarkan Mamah dan Insya Allah enggak akan marah setelah mendengar cerita dari Mamah. Mamah enggak perlu takut sama Arif. Arif enggak akan menghakimi apa pun, termasuk jika Mamah memang punya salah sama orang lain. Arif paham bahwa kita hanya manusia biasa, Mah. Kita ini tempatnya salah dan dosa. Tapi kalau salah dan dosa itu enggak kita perbaiki, maka nantinya bisa saja akan menjadi bumerang untuk diri kita sendiri."

Patmi pun mengalihkan tatapannya ke wajah Arif. Apa yang dikatakan oleh putra sulungnya tersebut membuat kedua matanya mulai mengembun dan akhirnya berubah menjadi airmata. Wajahnya kembali basah, meski ia sudah berusaha untuk tidak menangis.

"Mamah bertengkar sama Bu Rusna dua minggu lalu saat sedang belanja sayur," Patmi memulai.

Arif mendengarkan dan berusaha untuk tidak menyela. Ita--yang sudah selesai shalat maghrib--memilih tak jadi turun ke bawah saat tahu kalau Patmi mau membicarakan masalahnya pada Arif. Ia memutuskan untuk mendengarkan dari lantai atas, agar Patmi tidak diam kembali seperti sebelumnya.

"Awalnya semua baik-baik saja. Mamah belanja seperti biasanya dan memang banyak pilih-pilih biar enggak salah beli. Mas Khoir juga enggak melarang Mamah pilih-pilih saat itu. Tapi enggak tahu kenapa Bu Rusna mendadak bicara sinis sekali sama Mamah, sambil bawa-bawa nama kamu sama Ita. Mamah enggak terima, makanya Mamah balas omongan dia sampai akhirnya kami bertengkar hebat. Kami baru berhasil dipisahkan waktu Bu RT dan Bu Ros datang. Bu RT menarik Mamah pulang, sementara Bu Ros menarik Bu Rusna pulang."

Arif pun menyimpan jeruk ke atas meja, lalu menggenggam tangan Ibunya dengan lembut.

"Kalau boleh Arif tahu, Mah, memangnya Bibi Rusna bilang apa sampai Mamah terpancing emosi?"

Patmi berusaha berhenti menangis. Arif meraih tisu dan membantunya menyeka airmata.

"Waktu Mamah lagi pilih-pilih belanjaan, Bu Rusna mendadak bilang, 'Ih, kok lama banget sih pilih-pilihnya? Pantas saja Arif sama Ita enggak betah di rumah dan memilih kerja di luar kota. Ibunya ternyata suka banget pilih-pilih enggak jelas. Akhirnya Arif sama Ita lebih memilih pergi dan enggak pulang-pulang. Jadi pasti nanti masa tuanya bakalan mati sendirian di rumah tanpa didampingi anak-anak'. Begitu yang Bu Rusna bilang ke Mamah. Mas Khoir saksinya."

Patmi berhenti sebentar karena tak bisa menahan airmatanya. Arif terus menyeka airmata di wajah Patmi sambil mencoba menenangkannya.

"Makanya Mamah langsung tersulut emosi. Mamah marah sama dia dan enggak sengaja bilang kalau hidup dia akan begitu-gitu terus, akan miskin terus, karena Amira enggak pernah dikasih kesempatan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Ibu-ibu lain baru keluar rumah pas emosi Mamah sudah meledak dan lagi menyebut kalau dia 'akan miskin terus', jadinya semua salah paham sama Mamah. Seakan-akan Mamah yang salah karena sudah menghina Bu Rusna. Padahal kalau mereka mau tahu masalah sebenarnya, mereka bisa tanya sama Mas Khoir. Yang percaya sama Mamah cuma Bu Esih, Bu Ninis, dan Bu Arin. Yang lain enggak ada yang percaya Mamah, termasuk Bu RT dan Bu Ros. Bahkan semuanya membela-bela Bu Rusna di grup WhatsApp waktu Mamah mencoba ingin jelaskan duduk perkaranya. Makanya Mamah memilih diam saja sampai sekarang. Padahal Mamah tahu, kok, kalau Bu Rusna yang mengutus pocong-pocong itu untuk meneror Mamah. Dia merasa sakit hati setelah Mamah bilang akan miskin terus hidupnya. Padahal Mamah lebih sakit hati sama dia, karena dia bilang bahwa Mamah akan mati sendirian saat tua nanti tanpa ada kamu dan Ita di sisi Mamah."

Arif pun langsung memeluk Patmi dengan erat. Ia membiarkan Patmi menangis sepuasnya tanpa berusaha menghentikan, meski tak dipungkiri saat itu dirinya merasa marah setelah mendengar soal kejadian sebenarnya. Di lantai atas, Ita mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ia merasa marah pada Rusna setelah mendengar semuanya dari Patmi. Wanita itu langsung pergi ke kamarnya dan mencoba menghubungi Resti dan Septi. Ia meminta bertemu besok pagi, saat Khoir--penjual sayur--lewat di desa mereka. Ia merasa harus turun tangan, karena apa yang Rusna katakan kepada Ibunya benar-benar sudah sangat keterlaluan.

"Mati sendirian ketika tua tanpa di dampingi oleh anak, hah? Kita lihat saja, siapa yang nanti akan mati sendirian tanpa didampingi anak!" geram Ita, sambil meremas ponselnya kuat-kuat.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang