Tidak di Jakarta, tidak di Sidoarjo, hujan turun begitu lebatnya. Seolah ikut mengiringi suasana pemakaman yang begitu kelabu. Angin yang sejak awal berputar-putar di atas mereka, perlahan mulai mereda. Pakaian serba hitam yang basah dan penuh bercak tanah liat tak Zeze pedulikan. Ia menunduk di pusara, menangis sejadi-jadinya.
Mama Tati berusaha menariknya tapi Zeze tetap memeluk papan nisan itu. Ia berontak. Berkali-kali. Menyesali kenapa ia tidak menghabiskan banyak waktu dengan mamanya. Harusnya ia tahu bahwa malam ulang tahunnya adalah malam terakhir ia bisa mengobrol dengan mamanya. Harusnya ia tahu bahwa di sana mamanya sudah memberikan tanda-tanda kepergiannya. Harusnya Zeze tahu…
"Udah, Nduk...," Mama Tati memeluknya. "Mamamu wes tenang."
Zeze menggeleng.
"Kasihan mamamu kalau kamu nangisin kayak gini, sing ikhlas...," bisik wanita paruh baya itu dengan suara bergetar menahan tangisnya sendiri—hanya supaya terlihat tegar.
Dan Zeze tahu itu.
Tapi ia tak sanggup setegar Mama Tati. Ia ingin meluapkan semua penyesalan dan kepedihannya di sini. Siapa yang bisa memahami sakitnya kehilangan kalau bukan dirinya sendiri?
Hal itu membuat Mas Aby melangkah meraih tangannya. Melepas jemarinya dari papan nisan lalu memapahnya. “Ayo pulang.”
"Nggak mau Mas, aku masih mau di sini," tangis Zeze memohon menatap kakaknya.
Sebenarnya kakaknya pun tak kalah berantakan. Baju hitamnya begitu kotor oleh tanah liat sejak ikut menurunkan jenazah mamanya bersama Gavin serta seorang pria dari kampungnya. Semua basah, payung-payung itu seolah tak berguna.
"Udah mau maghrib! Ayo pulang!" ucapnya lebih tegas.
Kondisi pemakaman memang sudah sepi. Para warga pengantar jenazah sudah kembali ke rumah masing-masing. Keluarga besarnya termasuk Ayahnya juga sudah pulang lebih dulu. Menyisakan dirinya, Mama Tati, Mas Aby, Mbak Hanif dan teman-teman dari kakaknya.
"Nggak, Mas pulang aja kalau mau pulang. Aku masih mau di sini." Zeze melepas rangkulan Aby.
"Mau sampai kapan?!" tanya Aby galak. "Sampai Mama hidup lagi?!"
"Aby!" tegur Mama Tati.
"Keras kepala dia!"
Mendengar itu Zeze semakin tak terkendali. Ia memukul pipi kakaknya dan mendorongnya hingga lelaki itu terjengkang ke belakang. Lalu Zeze meraih tanah-tanah yang ada di sana untuk dilemparkan ke kakaknya secara brutal. Sementara Aby berusaha menghindar dengan meraih dan mencekal kasar tangan adiknya.
"Nduk, he... uwis tha... Ya Allah, Zeze... istighfar!" Mama Tati melerai keduanya. “Kalian nggak kasihan sama mamamu lihat kelakuan anaknya begini?! Makin sedih lho mamamu kalau kalian bertengkar gini. Udah!”
Hanif lah yang membawa Aby untuk menyingkir dari Zeze dan meminta Melky serta Haldan menenangkannya. Ia kemudian mendekati Zeze.
"Zeze masih mau di sini?" tanya Hanif dengan lembut.
Zeze mengangguk.
"Sambil berdoa ya? Ayo sama Mbak." Hanif mengarahkan kedua tangan Zeze untuk menengadah. “Kita baca al-fatihah bareng-bareng biar jalan Mama jadi terang. Yuk.”
Zeze kemudian memejam. Berdoa dengan begitu khusuk. Air matanya mengalir tanpa henti. Jatuh tertahan oleh tangan yang menengadah. Setiap ayat yang terlantun, terselip harapan untuk kebaikan Mama di alam sana.
Tuhan itu Maha Baik. Apa pun yang terjadi, itu bukan sekadar takdir, melainkan jalan yang telah Tuhan pilihkan dari segala kemungkinan terbaik.
Kalimat itu terngiang. Satu dari sekian petuah yang pernah Mama sampaikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE NIGHT BETWEEN US
HorrorBagaimana seandainya tahun ini adalah giliranmu menjadi tumbal pesugihan ayah kandungmu sendiri? "Sudah tiba waktunya sang iblis menagih darah perawan keturunan bapakmu. Satu-satunya cara agar adikmu bisa selamat, nikahkan dia." -Hartati Mayangkusum...