17 | Gagal Menumbalkan

1K 73 2
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Didin tiba tak lama kemudian setelah dipanggil oleh salah satu warga. Pria paruh baya itu berlari-lari dari rumahnya, setelah mendengar kabar bahwa ada buruh bangunan yang terjatuh dan kepalanya terluka sangat parah. Perasaan Didin langsung tidak enak. Entah kenapa firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di balik jatuhnya buruh bangunan tersebut. Maka dari itu ia segera datang dan bahkan lupa berpamitan pada Titi maupun Resti.

"Astaghfirullah! Mana ambulansnya? Kenapa belum tiba di sini?" tanya Didin, sambil menatap mandor yang dipercaya oleh Bagja dan Rusna.

Mandor itu tampak gelagapan, saat Didin menatapnya dengan penuh amarah. Marwan mendekat pada Didin dan berdiri tepat di sampingnya.

"Sudah sejak tadi aku menyuruhnya memanggil ambulans. Tapi sepertinya hal itu sama sekali tidak dia lakukan," ujar Marwan.

Setelah mendengar laporan Marwan, Didin pun merasa bahwa firasatnya benar mengenai ada hal yang janggal di balik jatuhnya buruh bangunan itu. Dan bahkan tampaknya mandor yang dipercaya oleh Bagja dan Rusna juga ikut campur tangan di dalamnya.

"Tenang saja, Paman Didin. Ambulansnya sebentar lagi sampai. Aku sudah menghubungi rumah sakit sejak tadi," ujar Septi.

Wajah mandor yang sejak tadi diam-diam saja itu akhirnya berubah pucat. Tampaknya dia memang sengaja menunda-nunda memanggil ambulans, agar buruh bangunan yang jatuh itu bisa segera mati. Aji pun menyadari hal itu. Ia segera menarik Arif dan Septi agar masuk ke dalam rumah, sebelum Bagja dan Rusna muncul di sana.

Pintu rumah ditutup dengan rapat. Aji sesekali mengintip keluar melalui jendela. Gerak-gerik Aji terlihat aneh bagi Arif, sehingga membuat Arif tak bisa menahan diri untuk diam saja.

"Kenapa kamu membawa kami berdua masuk, Ji? Ada apa?" tanya Arif.

Aji pun menatap ke arah Arif, lalu mengajaknya duduk kembali di sofa.

"Si mandor itu sengaja menunda-nunda memanggil ambulans. Sepertinya dia sudah kongkalikong dengan Bibi Rusna dan Paman Bagja, agar membiarkan saja jika ada buruh bangunan yang jatuh. Buruh bangunan itu sepertinya akan menjadi tumbal pesugihan yang selanjutnya, andai saja tidak ada orang yang melihatnya jatuh," jawab Aji.

"Hah? Tumbal pesugihan? Maksudmu apa, Ji? Jangan asal ngomong kamu," kaget Arif.

"Mas Aji enggak asal ngomong, Mas. Itu benar, bahwa Bibi Rusna dan Paman Bagja memang melakukan pesugihan sehingga bisa kaya-raya mendadak. Andai kita berdua bisa melihat makhluk halus seperti Ayahku, Paman Didin, dan Mas Aji, maka kita akan melihat ada banyak sekali pocong pesugihan di sekeliling halaman rumah depan itu. Tumbal pertama yang mereka berikan pada Iblis adalah Amira. Amira saat ini sudah meninggal, Mas. Hanya arwahnya saja yang terlihat oleh Ayahku dan Paman Didin," jelas Septi.

Arif sama sekali tak bisa menyembunyikan ekspresi shock di wajahnya. Ia sama sekali sulit untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh Aji dan Septi. Namun mau tak mau, ia jelas harus memercayai hal itu, karena sudah melihat sendiri bagaimana cara Marwan dan Didin menghadapi makhluk halus.

"Bibi Patmi 'kan kena teror salah satu pocong pesugihannya Paman Bagja. Kamu belum tahu, gitu? Bukannya tadi Ayahku dan Paman Didin sudah membantu Bibi Patmi, ya, agar tidak lagi diganggu oleh pocong pesugihan itu?" kali ini gantian Aji yang merasa heran.

"A--apa, Ji? Pocong yang meneror Mamahku, adalah salah satu pocong pesugihannya Paman Bagja?" lagi-lagi Arif merasa kaget.

Septi dan Aji pun saling menatap satu sama lain.

"Mamahmu memangnya belum bilang apa-apa, gitu? Setahu kami, orang yang mendapat teror makhluk halus kiriman akan selalu tahu siapa yang mengutus makhluk halus itu," ujar Aji.

Arif pun mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tampak frustrasi, namun tak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi rasa frustrasinya. Septi pun meraih gelas jus yang memang disajikan untuk Arif. Ia menyodorkannya pada Arif, agar Arif bisa segera meredakan rasa panas yang sedang menyerang pikirannya.

"Minum dulu, Mas Arif. Tenangkan dulu diri Mas Arif, baru kita kembali bicara soal pocong pesugihan yang meneror Bibi Patmi," saran Septi.

Arif setuju. Ia segera mengambil gelas yang Septi sodorkan, lalu meminum jus mangga buatan Rositi. Aji melihat kalau Bagja dan Rusna sudah datang di luar sana, bertepatan dengan tibanya ambulans yang tadi Septi hubungi.

"Paman Bagja dan Bibi Rusna baru datang," ujar Aji, sengaja mengarahkan Septi dan Arif agar melihat keluar.

Saat keduanya ikut melihat keluar melalui jendela, Rusna dan Bagja baru saja keluar dari mobil mereka. Mereka tampak tidak senang saat buruh bangunan itu mendapatkan pertolongan dari para warga dan juga petugas medis. Baik itu Rusna ataupun Bagja hanya berpura-pura kaget dengan kejadian itu, agar tidak ada yang mencurigai bahwa kecelakaan itu adalah sebuah kesengajaan.

"Wah, mereka terlihat kesal tapi tetap mencoba terlihat khawatir. Ck-ck-ck! Mereka pikir kekhawatiran palsunya itu bisa menipu semua orang atau gimana, sih?" sebal Septi.

"Maklum saja, Dek. Mungkin mereka harus buru-buru memberikan tumbal yang baru, sehingga melakukan kecerobohan dan hendak menumbalkan salah satu buruh bangunan saat hari masih terang. Mereka benar-benar salah langkah, sampai akhirnya terjadi keributan seperti itu," sahut Aji.

"Mereka jelas enggak bisa menutupi kekesalan dengan baik. Wajah kesal mereka sangat kentara dan sulit untuk ditutupi," Arif akhirnya percaya dengan ucapan Aji dan Septi.

Setelah buruh bangunan tadi dibawa ke rumah sakit dan Didin menegur Bagja agar lebih memerhatikan keselamatan para buruh bangunan, semua orang pun bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Bagja dan Rusna juga pergi lagi dari rumah mereka, seakan-akan ingin mengikuti ambulans menuju rumah sakit. Arif pun berpamitan pada Marwan dan Rositi untuk pulang. Aji dan Septi meminta izin pada orangtua mereka, agar diperbolehkan mengantar Arif pulang sampai ke rumahnya.

Mereka berjalan bersama menyusuri jalanan desa. Sesekali Aji menoleh ke belakang, untuk memastikan bahwa Bagja dan Rusna tidak akan kembali.

"Cobalah tanyakan pada Bibi Patmi, Mas. Siapa tahu kalau dicoba lagi, Mas Arif akan mendapat jawaban yang lebih pasti," saran Septi.

"Kami ingin memberi tahu apa duduk masalah sebenarnya. Tapi rasanya tidak akan baik untuk kamu dengar, kalau bukan dari Bibi Patmi sendiri yang mengatakannya," tambah Aji.

Mereka pun tiba di depan pagar rumah Patmi. Ketiganya berhenti di sana dan saling menatap lagi seperti tadi.

"Ya, akan aku coba untuk bertanya lagi pada Mamah. Akan aku kabari, kalau Mamah sudah memberikan jawaban," balas Arif.

"Ya sudah, masuklah ke dalam. Sebentar lagi waktu maghrib akan tiba. Kami pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit Aji.

"Ya. Wa'alaikumsalam," balas Arif.

Setelah Aji dan Septi pergi, Arif pun segera masuk ke dalam rumahnya. Rasa penasaran masih bercokol dalam hatinya, terutama saat ia tahu bahwa Ibunya diteror oleh pocong pesugihan kiriman dari Bagja dan Rusna.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang