16 | Mulai Mencari Tumbal

1K 77 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Arif berpamitan pada Nugraha dan Patmi setelah selesai shalat ashar. Ia mengatakan bahwa dirinya ingin bertemu dengan Aji, karena mereka sudah lama tak bertemu sejak Arif bekerja di luar kota. Nugraha dan Patmi mengizinkan. Arif pun segera pergi menuju ke rumah Marwan dengan berjalan kaki. Ia ingin sedikit menikmati suasana sore itu, setelah lama tak pernah pulang.

Marwan ada di halaman depan dan tengah menyiram tanaman bersama Rositi, ketika Arif datang. Keduanya tampak begitu senang mengurus tanaman yang bunganya mulai bermekaran.

"Assalamu'alaikum," ucap Arif.

"Wa'alaikumsalam, Nak Arif," balas Marwan dan Rositi.

Marwan dan Rositi menyambut Arif dengan ramah seperti biasa. Marwan membuka pagar lebar-lebar, agar Arif bisa segera masuk ke halaman. Bagja dan Rusna tampak melirik sinis ketika melihat keberadaan Arif. Marwan menyadari lirikan sinis itu, sehingga dengan cepat merangkul Arif dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dendam Rusna dan Bagja terhadap Patmi jelas masih berkobar dalam hati mereka. Membuat siapa pun anggota keluarga Patmi yang mereka lihat seakan wajib dimusuhi.

Arif duduk di sofa bersama Marwan, sementara Rositi kini pergi ke dapur dan membuat minuman. Sesekali Marwan menatap ke arah seberang jalan melalui jendela, membuat Arif menyadari kalau ada hal yang aneh di seberang jalan sana.

"Maaf kalau kedatangan saya mengganggu kegiatan Paman dan Bibi. Saya datang ke sini karena mau ketemu sama Aji," ujar Arif, mengungkapkan niatnya.

"Kedatanganmu sama sekali enggak mengganggu, Nak Arif. Jangan merasa sungkan begitu," tanggap Marwan. "Tapi sayangnya, Aji belum pulang kerja. Dia akan pulang sekitar jam lima sore. Tunggu saja di sini sama Paman, ya. Jangan pulang dulu."

Marwan sengaja menahan Arif, karena tidak ingin Arif bertemu dengan Rusna dan Bagja. Ia takut akan terjadi hal buruk, apabila membiarkan Arif bertemu mereka.

"Iya, Paman. Sebaiknya memang saya tunggu saja, daripada nanti saya harus kembali lagi ke sini."

Rositi pun keluar membawa dua gelas jus mangga dan dua piring puding. Setelah menyajikannya, Rositi pun kembali ke dapur untuk memasak.

"Bagaimana keadaan Mamah kamu? Apakah sudah ada yang dia ceritakan padamu dan Ita?" tanya Marwan.

Arif menghela nafasnya sepelan mungkin. Marwan tahu, bahwa Arif tidak ingin terlihat lelah setelah menghadapi Patmi sepanjang siang tadi. Namun Arif jelas tidak bisa menyembunyikan rasa lelah itu dengan baik, sehingga Marwan mengetahuinya.

"Papah sudah coba bertanya sama Mamah, soal apa yang Mamah mimpikan ketika sedang tidak sadar di tengah demam tinggi. Tapi Mamah terus saja diam dan memilih menangis. Mamah sama sekali enggak mau cerita, sekalipun itu kepada Ita," jawab Arif, apa adanya.

Marwan pun menepuk-nepuk pundak Arif dengan tegas, agar Arif tidak merasa jenuh menghadapi hal sesulit itu mengenai Ibunya. Bagi Marwan, Arif tidak boleh merasa tak lagi tertarik untuk mengetahui sesuatu tentang orangtuanya. Hal itu jelas akan menjadi awal dari renggangnya hubungan antara anak dan orangtua, jika terus-menerus dibiarkan.

"Lebih sabar lagi, Nak Arif. Pertebal lagi rasa sabarmu ketika menghadapi Papah dan Mamahmu. Orangtua terkadang memilih tidak bicara, karena takut anaknya terseret dalam masalah mereka. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah dan tidak lagi ingin tahu urusan yang mereka rahasiakan, terutama jika urusan itu terkait dengan kesehatan, keamanan, dan ketentraman hidup mereka. Lebih sabar lagi hadapi Mamahmu. Bujuk dengan lebih lembut. Jangan pakai nada memaksa dan jangan tunjukkan kalau kamu menyerah atas diamnya. Paman jamin, jika kamu melakukan semua itu maka Insya Allah Mamahmu akan mulai terbuka dengan sendirinya," saran Marwan.

Arif pun mengangguk-anggukkan kepalanya, setelah mendengar saran yang Marwan berikan. Ia merasa saran itu cukup mudah dan tidak perlu menyeret emosi ke dalamnya. Ia berniat akan melakukannya, jika nanti ia telah tiba di rumah.

Tak lama berselang, suara motor milik Aji pun terdengar oleh mereka. Aji dan Septi akhirnya tiba di rumah sore itu. Keduanya segera masuk ke rumah, karena melihat pintu yang terbuka lebar.

"Assalamu'alaikum," ucap Aji dan Septi, kompak.

"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang--termasuk Rositi yang sedang berada di dapur.

"Eh, ada Mas Arif. Kapan pulang dari Malang, Mas?" tanya Septi.

"Aku baru tiba semalam, Dek. Aku dan Ita pulang karena Papah mengabari kalau Mamah mendadak sakit," jawab Arif.

"Eh? Bibi Patmi sakit?" kaget Aji. "Bukannya kemarin Ayah sudah membantu Bibi Patmi agar lepas dari teror pocong, ya?"

"Iya. Kemarin Ayah sudah membantu. Tapi Bu Patmi kembali kena teror dan mengalami demam tinggi sejak semalam. Jadi tadi Ayah dan Bapaknya Resti kembali datang ke sana bersama Ibumu dan Ibunya Resti, untuk meruqyah sekaligus membentengi rumahnya," jawab Marwan.

Aji pun duduk di samping Arif dan merangkulnya sangat akrab seperti dulu. Septi meletakkan tasnya di atas lemari dan berniat pergi ke dapur.

BRUAKKK!!!

Semua orang terlonjak di tempat masing-masing, saat mendengar suara sesuatu yang terjatuh dari rumah seberang. Betapa kagetnya mereka, saat melihat salah satu buruh bangunan telah terkapar di tanah dengan kepala berdarah begitu banyak dan mulai menggenang ke arah jalanan.

"Astaghfirullah hal 'adzim!!!"

Marwan segera berlari keluar bersama Aji dan Arif. Bagja dan Rusna sudah tidak ada di lokasi, karena mobil mereka pun sudah tidak terlihat keberadaannya.

"Pak! Itu anak buahnya jatuh! Cepat panggil ambulans!" seru Marwan.

"Oh, iya ... iya ... akan saya panggilkan. Sabar dulu," ujar mandor yang mengawasi pembangunan.

Mendengar jawaban itu, Marwan pun langsung merasa curiga bahwa jatuhnya buruh bangunan itu adalah sebuah kesengajaan. Mandor yang ia beri tahu tampak sangat santai dan seakan sengaja menunda-nunda untuk menghubungi ambulans. Aji, Arif, dan Septi juga menyadari hal itu. Namun mereka tak berani mendekat seperti yang Marwan lakukan, karena takut dituding sebagai anak-anak yang suka ikut campur. Beberapa orang warga terdekat mulai berdatangan. Mereka juga mendengar suara sesuatu yang jatuh, sehingga segera keluar dari halaman rumah atau rumah mereka. Terlebih saat mereka mendengar suara Marwan yang meneriaki mandor. Mereka pun berpikir sudah pasti terjadi sesuatu yang buruk dari lokasi rumah milik Bagja.

"ASTAGHFIRULLAH HAL 'ADZIM!!! ADA YANG JATUH!!! KABARI PAK RT!!! CEPAT KABARI!!!" teriak salah satu Bapak-bapak.

Mandor yang tadinya santai-santai saja meski sudah diteriaki oleh Marwan seketika telihat panik. Sepertinya mandor itu tidak menyangka, bahwa warga lain akan berdatangan ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh. Rositi keluar tak lama kemudian dan langsung menatap ngeri ke arah buruh bangunan yang terluka parah itu.

"Ya Allah, Yah! Ada apa? Kenapa orang itu bisa jatuh?" tanya Rositi.

Marwan pun hanya memberi tanda pada Rositi untuk tenang. Dia memilih tidak menjawab, karena sedang menunggu kedatangan Didin sambil menatap tanpa henti ke arah mandor yang bertanggung jawab.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang