20

14K 1.2K 55
                                        

"Dimana dia."

"Guys liat! Tamu utama kita udah dateng nih."

Nio berdecih. Mencoba melihat-lihat situasinya. Ia sendiri. Dan didepannya ada sekitar 18, 19, 21... 24 orang. Dan mungkin masih ada beberapa lagi yang berada ditempat lain.

Orang yang paling menonjol berjalan mendekati Nio. Mungkin pemimpinnya. Dia menepuk kedua bahu Nio seolah sedang menyingkirkan sebuah debu yang menempel.

"Gimana kalau kita selesain dulu masalah kita? Ahhh iya iya gua paham. Lo pasti khawatir sama bokap lo kan? Tenang aja. Bokap lo baik-baik aja kok. Dan mungkin... Dia lagi mendesah kuat dibawah temen gua?"

Bugh!

"Anjing! Apa maksud lo sialan?!"

Bugh- buaghh!

Dugh

Nio terdorong kebelakang. Ia memegang sisi pinggangnya yang baru saja ditendang. Ia menoleh kesamping. Melihat Bumi yang datang membantu berdiri nya.

"Baru juga gue nyampe udah gelut aja lo," ucap Bumi. "Ayo. Kebetulan udah lama juga gue gak latihan fisik. Lumayan kan ada samsak gratis disini?"

•-•

Vinscho menunduk. Kepalanya tertumpu pada lengan yang berada diatas stir. Ken kehilangan jejak Zeylan. Otomatis dia pun ikut kehilangan. Matanya yang sayu akibat tidak tidur semalaman dikarenakan pekerjaan itu menatap jalanan kosong didepan.

"Bajingan mana yang berani menyentuh milik saya, maka harus habis dia ditangan ini." Gumamnya.

"Kenapa saya bodoh?!" Vinscho mengeluarkan handphonenya.

Ia mengotak-atik hingga membuat tampilan dalam itu berbeda. Ada sebuah titik merah yang terlihat. Itu keberadaan adiknya. Kenapa ia sangat bodoh. Dirinya baru mengingat sebuah kalung yang ia berikan pada Zeylan. Dan dengan kalung itu, Vinscho dapat mengetahui dimana Zeylan selalu berada.

Baru saja ia merasa senang dan bersiap melakukan mobilnya, titik merah itu menjadi samar-samar. Beberapa detik kemudian titik merah itu hilang.

"Apa..."

•-•

"Hah... Hahahah lo liat ini?"

Walau jarak jauh, Nio dapat melihatnya. Matanya bergetar. Beberapa wajahnya terdapat lebam. Begitupun juga Bumi dan lainnya yang tidak lama datang. Jumlah mereka memang berkurang, tapi kian bertambah setiap kekurangan itu terjadi.

Itu tak mengubah sebuah kenyataan. Bagaimanapun mereka adalah remaja dalam masa pertumbuhan. Terkecuali Martin. Anak itu sudah mengikuti kegiatan Boxing sejak kecil. Fisiknya sudah terlatih kuat. Bukan berarti yang lainnya tidak kuat. Tapi jika musuh mereka terus bertambah, bisa-bisa mereka juga akan kalah.

Disana. Didalam layar itu, ayahnya... Ayahnya terbaring meringkuk dilantai masih dengan ikatan ditangan juga kaki.

"Setiap lo hajar gua, maka dia juga bakal dihajar." Ia tersenyum sinis, "Tendang dia."

Setelah dia berucap, layar itu menampilkan tubuh ayahnya yang ditendang berkali-kali. Rasa amarah kian semakin menggerogoti hatinya. Ia tak terima. Ingatannya memutar kedekatan dengan ayahnya beberapa hari yang lalu. Senyum diwajah itu... Tergantikan dengan erangan yang menyakiti telinganya.

"Pengecut cara lo!" Martin mengumpat. Ia meludah membuang darah dalam mulutnya.

Sakya memegang pundak Nio yang tampak terdiam. Seolah jiwanya masih terpaku. "Sadar, Nio."

Srett buagh-!

Drax lari menyusul Nio yang sudah menghajar dengan membabi buta. Handphone yang dipegang orang itu terlempar. Saat ia akan mendekati temannya, tiga orang menghadangnya. Drax tersenyum culas dan saling menghajar tinju antar tinju.

Dibelakang sana Bumi mundur beberapa langkah karena tendangan mendadak. Ia menyugar rambutnya, lalu melayangkan tendangan memutar.

Sakya menahan tinjuan yang sedikit lagi mengenai wajahnya. Tangannya memutar lengan itu membuat lawannya berteriak kesakitan. Lalu ia melayangkan tinjuan balik mengenai pipi itu.

Dengan tubuh yang bongsor Martin mampu membalikkan tubuh lawan. Membuat bunyi yang menyakitkan dari tubuh tersebut. Merasa tak puas, Martin mendudukinya dan melayang tinjuan. Kerahnya tertarik kebelakang. Kepalanya memutar menatap beberapa orang. Sekilas ia kembali melihat orang tadi, ternyata sudah pingsan. Dasar lemah.

Bugh

Bugh

Ayo datang padanya. Martin dengan sukarela memberikan mereka pukulan kasih sayang.

•-•

"Akhh."

Sakit. Perutnya sakit. Tubuhnya sakit. Kepalanya mengeluarkan darah akibat hantaman keras karena terjatuh pada lantai. Lantai ini berdebu. Kalyan tak suka. Tubuhnya terasa sakit. Kalyan semakin tak menyukai.

Seolah memori lamanya mengusak kedalam ingatannya. Kalyan mengingat bagaimana dulu tubuhnya terluka. Ditendang karena melawan juga diseret karena berusaha kabur. Ingatan sial macam apa ini. Bisa-bisanya ia harus mengingat kenangan menyakitkan. Kenangan tentang terakhir kali ia melihat kedua orang tuanya.

Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa melawan. Kalyan merasakan titik terendahnya kembali. Saat dimana ia tak bisa melakukan sesuatu untuk menolong dirinya sendiri. Jangankan dirinya, orang tuanya pun tak bisa ia selamatkan.

Matanya dipaksa terbuka. Rambutnya ditarik dengan kuat membuatnya bertatap mata dengan orang-orang sialan ini. Rasa-rasanya rambutnya bisa copot kapan saja.

"Shh... Brengsek."

Dughh

"Arghh!"

Kalyan terbatuk dengan kuat. Mulutnya mengeluarkan darah. Aneh. Kalyan tak menyukai rasa ini.

"Hmm kasian. Tapi mau gimana lagi? Ini udah tugas gua." Ia menendang kecil tubuh dibawahnya. "Kalau aja anak lo gak buat masalah sama kita, mungkin lo gak bakal begini."

"Lemah. Baru gitu aja udah mau pingsan. Buka mata Lo."

Bugh

"Kuping lo tuli? Jangan pingsan."

Bugh

Bugh

Kalyan membuka matanya. Rasa sakit begitu kuat menghantam dirinya. Matanya berbayang. Wajah orang itu terlihat ada banyak? Ahh apa ini. Gelap...

-a y a h-

Ayah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang