Janji Gavin untuk pura-pura tidak mengenal Zeze benar-benar ditepati dengan baik. Selama dua minggu pasca kepulangan Aby dan kembalinya Zeze ke rumah, membuat mereka tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengobrol secara langsung. Zeze hanya berani menunduk sopan jika mereka tak sengaja berpapasan di kantin, lift, studio, ataupun ruang meeting.
Tapi ia pernah nekat menemui pria itu langsung di sela-sela makan siangnya hanya untuk mengucapkan terima kasih karena telah menampungnya selama beberapa hari. Waktu itu, tepat di hari kepulangan Aby.
Dan di hari itu pula, Aby menceritakan bahwa Pak Gavin bukan hanya menampung dirinya, tapi juga menjaganya dari kehadiran makhluk itu. Di saat itulah ia baru benar-benar mengetahui bahwa… pria itu seorang indigo.
Semuanya tersusun seperti puzzle di kepalanya.
Pantas saja ia merasa aman di dekat Gavin. Pantas saja apartemen pria itu berpagar. Dan… pantas saja pria itu melakukan grounding saat bersamanya.
Dari cerita Aby tentang apa yang dilakukan Pak Gavin kepadanya sempat membuatnya merenung. Ada satu titik di sudut hati Zeze yang terasa menghangat. Ternyata… ada orang lain yang rela menguras energinya untuk mengusir makhluk itu supaya dirinya aman. Tak hanya sekali dua kali, ia sering merasakan kehadiran sosok itu terpental menjauh darinya. Seperti pada saat ia ketakutan di basement, ataupun di petromax cafe.
Padahal yang ia tahu, makhluk itu begitu kuat dan gelap. Ia tidak bisa membayangkan secapek apa Pak Gavin mengusirnya setiap sosok itu kembali menerornya. Ia merasa… memiliki hutang budi pada pria itu.
Dan sekarang, yang menjadi pertanyaan Zeze, kenapa semakin hari sosok itu semakin berani menampakkan dirinya sekalipun ia berada di kerumunan? Selama dua minggu ini, ia kerap hampir tak sadarkan diri. Merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya, pusing, sesak dan dada yang menekan.
Hal ini selalu ditandai dengan tangan yang mulai bergetar dan jantung yang berdegup kencang. Sesekali ia memijat telapak tangannya untuk mengurangi kecemasan. Tapi sayangnya itu tak banyak membantu. Sampai terkadang ia sulit memegang piring kompartemennya sendiri.
Seperti saat ini, Zeze berusaha kuat melangkah kembali ke bangkunya. Kepalanya terasa begitu nyeri di bagian tertentu.
“Zerina? Lo kenapa?” Fiyu lebih dulu menyadari keterdiaman Zeze.
“Lo pucat, Ze,” ucap Kelly memberitahu. Ia juga memegang kening Zeze untuk mengukur suhunya. Badannya sedikit hangat.
“Ze, ke ruang kesehatan aja,” Didi memberi saran.
Ia memejam. Suara-suara mereka tak bisa ia cerna akibat telinganya yang berdenging cukup hebat. Membuat kepalanya semakin nyeri hingga mengeluarkan air di matanya.
“Ze…,” panggil Rico menggoyang-goyangkan tangan Zeze agar sadar dan membuka mata.
Tepat ketika ia membuka matanya, Gavin berada di sana. Di pintu kantin. Melangkah perlahan sembari menatapnya. Lurus dan serius.
“Sebentar lagi gue baikan, kok,” ucap Zeze dengan senyum penuh keyakinan.
Pria itu kemudian berbelok menuju satu meja kosong di salah satu sudut ruangan. Duduk di sana dengan menggenggam ponselnya di atas meja. Tapi Zeze bisa melihat fokus Gavin tidak pada layar ponselnya. Karena setelah beberapa menit berselang… napasnya kembali normal. Pundaknya kembali ringan. Dan perlahan ia bisa tersenyum lepas.
Senyum itu… ia tujukan untuk Gavin—pria yang kini sudah kembali menatap lurus padanya.
“Udah enakan, Ze?” tanya Didi memastikan ketika melihat badan Zeze mulai rileks.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE NIGHT BETWEEN US
HorrorBagaimana seandainya tahun ini adalah giliranmu menjadi tumbal pesugihan ayah kandungmu sendiri? "Sudah tiba waktunya sang iblis menagih darah perawan keturunan bapakmu. Satu-satunya cara agar adikmu bisa selamat, nikahkan dia." -Hartati Mayangkusum...