12 | Igauan

1.1K 78 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Marwan sengaja mempercepat sarapan paginya kali itu. Ia kini sedang berdiri di ujung ruang tamu sambil menatap keluar melalui jendela. Septi, Aji, dan Rositi masih menikmati nasi goreng teri medan yang tersaji di meja makan. Sesekali mereka melirik ke arah Marwan, karena ingin tahu apa yang sedang Marwan perhatikan.

"Ayah sepertinya ingin sekali melihat orang marah-marah pagi ini," ujar Aji.

"Kalau yang marah-marahnya adalah Paman Bagja dan Bibi Rusna, aku sih bakalan ikutan senang dan akan ikut menyaksikan dengan suka rela, Mas," sahut Septi.

Rositi pun tertawa pelan. Pembicaraan putra sulung dan putri bungsunya selalu saja menarik untuk diperhatikan. Ada saja bahan obrolan dan perdebatan mereka, sehingga rumah itu selalu ramai.

"Kali ini aku setuju sama kamu, Dek. Aku pun akan sangat senang kalau pagi ini bisa melihat mereka marah-marah," ungkap Aji, sambil terkekeh pelan.

Marwan terlihat membuka ponselnya dan merekam voice note yang akan dikirim kepada Didin.

"Pak Bagja dan Bu Rusna baru saja tiba. Para buruh bangunan yang akan kembali bekerja juga baru tiba," lapor Marwan.

Tak berselang lama, Marwan mendapat balasan dari Didin melalui voice note.

"Kasih tahu aku kalau mereka sudah menemukan sesajennya yang hancur. Aku akan ke rumahmu sebentar lagi sambil bawa arit dan karung. Biar mereka pikir kalau kita akan pergi mencari rumput buat kambing."

"Oke."

Rositi mendekat pada Marwan. Piring-piring kotor sudah diurus oleh Septi dan Aji, jadi Rositi tidak perlu lagi ikut ke dapur. Wajah Bagja dan Rusna terlihat memerah, usai memeriksa bagian belakang rumah mereka. Keduanya tampak sedang beradu mulut mengenai sesajen yang hancur lebur itu.

"Mereka terlihat marah, Din."

"Aku sedang berjalan menuju rumahmu. Keluarlah cepat."

Rositi membiarkan Marwan keluar setelah meraih arit dan karung yang tersimpan di lemari bagian bawah. Didin tiba di luar tak lama kemudian, tepat saat Marwan baru saja memakai sandalnya. Aji dan Septi mendekat pada Rositi, setelah selesai mencuci piring dan membereskan meja makan.

"Gimana, Bu? Ada yang meledak?" tanya Septi.

"Iya. Pak Bagja dan Bu Rusna barusan adu mulut," jawab Rositi. "Ayo cepat, ambil tas kerja kalian. Kita keluar juga, biar bisa mendengar pembicaraan dengan mereka."

Aji dan Septi pun bergegas mengambil tas dan sepatu mereka. Keduanya keluar lebih dulu, agar bisa memakai sepatu di kursi teras. Rositi menyusul tak lama kemudian setelah mengambil sapu ijuk. Ia akan membersihkan teras, karena pekerjaan terakhir yang harus ia lakukan pagi itu adalah bersih-bersih.

"... apakah ada struktur bangunannya ada yang salah, Pak Bagja?" tanya Didin.

"Oh ... bukan, Pak RT. Itu ... ada hal lain yang membuat kami kesal pagi ini. Bukan soal bangunan rumah," jawab Bagja, berupaya menampilkan senyum meski sedang kesal.

"Ah, bukan ternyata. Saya pikir Pak Bagja dan Bu Rusna terlihat marah karena ada bagian bangunan rumah yang salah," ujar Didin.

"Kalau ada bagian bangunan yang salah, pastinya kami akan langsung komplain pada yang mengerjakan Pak RT. Oh ya, Pak RT dan Pak Marwan sepertinya akan pergi?" Rusna berbasa-basi.

Aji dan Septi berusaha keras menahan tawa. Mereka tahu persis kalau saat itu Rusna maupun Bagja sebenarnya ingin melanjutkan adu mulut yang tadi mereka lakukan.

"Iya, Bu Rusna. Kami akan mencari rumput untuk memberi makan kambing. Persediaan rumput yang kami cari dua hari lalu sudah hampir habis," jawab Marwan.

"Kalau begitu mari, Pak Bagja ... Bu Rusna ... kami pergi dulu," pamit Didin.

"Iya, Pak RT. Silakan," balas Bagja.

Aji dan Septi pun berpamitan pada Rositi. Septi akan diantar oleh Aji ke toko, sebelum pergi ke kantor. Baru saja Rusna akan menyapa Rositi, Titi mendadak datang dan langsung masuk ke halaman rumah. Rusna pun mengurungkan niatnya, lalu kembali saling menatap dengan Bagja yang masih tampak kesal. Bagja terlihat segera menarik lengan Rusna dan pergi menggunakan mobil mewahnya dari sana. Titi dan Rositi baru berani menatap ke rumah seberang, setelah Rusna dan Bagja tak ada lagi di sana. Keduanya merasa lega untuk beberapa saat, karena tak perlu berbasa-basi sama sekali.

"Ada apa, Mbak Titi? Kenapa Mbak Titi tampaknya pucat sekali?" tanya Rositi.

"Bu Patmi, Dek. Bu Patmi mengalami demam tinggi setelah kemarin dua kali didatangi pocong," jawab Titi, agak memelankan suaranya.

"Ya Allah. Kok bisa? Apakah itu akibat shock, ya?" duga Rositi.

"Aku belum tahu pastinya, Dek. Sebaiknya kita cari tahu saja secara langsung. Ayo, kita ke rumahnya Bu Patmi sekarang juga," ajak Titi.

"Iya. Ayo kita ke sana, Mbak. Aku kunci dulu pintu rumah."

Setelah mengunci pintu rumah, Rositi pun berjalan bersama Titi menuju rumah Patmi. Di sana terlihat sudah ada Arif dan Ita, anak-anak Patmi yang baru tiba dari luar kota. Sakitnya Patmi tentu saja membuat Nugraha harus menghubungi mereka, agar bisa pulang dan membantunya merawat Patmi. Saat Titi dan Rositi tiba di sana, keduanya segera dipersilakan masuk oleh Nugraha. Esih dan Ninis ada di sana untuk bantu-bantu merawat Patmi. Rositi pun duduk di tepi tempat tidur, lalu memeriksa suhu tubuh Patmi.

"Suhunya lebih dari empat puluh derajat, Bu Ros," ujar Esih, menyampaikan.

"Dan sejak semalam Bu Patmi sama sekali tidak membuka matanya. Dia bahkan terus mengigau," tambah Ninis.

"Ampun. Iya, aku akan mengalah. Aku minta maaf. Aku tidak akan lagi melakukan hal itu. Aku tidak akan melawan," lirih Patmi, kembali mengigau.

Rositi dan Titi mendengar igauan tersebut. Keduanya langsung saling menatap secara diam-diam, karena merasa tahu apa arti igauan Patmi saat itu. Mengigaunya Patmi sudah pasti ada hubungannya dengan pertengkaran bersama Rusna, yang terjadi dua minggu lalu. Mereka sudah curiga mengenai hal itu, sejak tahu kalau Patmi didatangi oleh pocong.

"Saya keluar dulu sebentar, ya, Ibu-ibu. Saya coba telepon dulu Ayahnya Aji. Siapa tahu dia bisa memberikan saran, agar Bu Patmi diberi penanganan yang tepat," pamit Rositi.

"Iya, Bu Ros. Silakan," tanggap Esih.

Rositi keluar dari rumah itu dan berdiri di teras. Ia mencoba menghubungi Marwan, untuk memberi tahu soal keadaan Patmi dan igauannya sejak semalam. Nugraha mencoba mendengarkan dari sofa ruang tamu. Ia sengaja duduk di sana saat tahu kalau Rositi berusaha menghubungi Marwan.

"Assalamu'alaikum, Yah. Ibu ada di rumah Bu Patmi. Tadi Mbak Titi mengajak Ibu, karena mendapat kabar bahwa Bu Patmi demam tinggi sejak semalam. Lalu setelah Ibu sampai di sini, ternyata Bu Patmi katanya terus saja mengigau, Yah. Ibu juga mendengar igauannya barusan," lapor Rositi.

Rositi pun terdiam selama beberapa saat. Wanita paruh baya itu sedang mendengarkan tanggapan Marwan dan Nugraha tetap menantikan dengan sabar.

"Bu Patmi mengigau begini, Yah, 'Ampun. Iya, aku akan mengalah. Aku minta maaf. Aku tidak akan lagi melakukan hal itu. Aku tidak akan melawan'. Begitu tadi yang Ibu dengar."

Rositi kembali diam dan mendengarkan.

"Iya. Sebaiknya Ayah ke sini saja bersama Mas Didin. Biar Bu Patmi bisa Ayah tangani langsung. Ibu takut salah kalau mau coba-coba bantu seperti yang sering Ayah lakukan," saran Rositi.

Nugraha pun akhirnya paham, bahwa Rositi sengaja mengabari Marwan agar Patmi bisa kembali dibantu oleh Marwan seperti kemarin.

"Ya sudah, Ibu tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum."

Rositi pun kembali masuk ke dalam  rumah dan langsung ke kamar untuk kembali melihat keadaan Patmi. Nugraha pun pindah duduk di teras, karena ingin menunggu kedatangan Marwan dan Didin.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang