Selamat Membaca ♡
Cerita "Moon Goddess" bergenre fantasy romance.
Buat kalian yang rajin vote dan komen 🫰🏻
• • • • • • •
"Kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana, mengerti?" Aiden memandangi Selené yang duduk di sampingnya, memberikan arahan agar gadis itu tetap menunggu dirinya di dalam rumah pohon yang terletak di halaman belakang rumahnya--- yang menjadi jalan penghubung dengan bukit tadi--- sementara dirinya akan masuk ke dalam rumah untuk mengambil .... mungkin apa saja yang akan dibutuhkan Selené nanti.
Arah tatap Selené yang tadinya berpendar ke mana-mana, begitu takjub pada setiap benda yang berada di dalam rumah pohon ini, seperti beberapa origami berbentuk burung bangau warna-warni yang bergantungan, banyaknya gambar karya Aiden menempel di dinding dan masih banyak hiasan lainnya--- lantas kini beralih memandangi Aiden. Sembari tersenyum manis, Selené menganggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Kalau begitu ... " Aiden meraih sebuah buku gambar anak-anak miliknya saat kecil dulu beserta pensil warna dari laci kecil yang terdapat di rumah pohon, memberikannya pada Selené agar gadis itu tak merasa bosan menunggunya. "Kamu bisa mewarnai sambil nungguin saya. Seperti ini caranya." Ia meraih satu pensil warna berwarna hijau, mewarnai gambar pohon, mempraktekkan caranya pada Selené yang berbinar-binar takjub.
"Wah, Aiden bisa sihir," ujar Selené takjub, menganggap bahwa warna yang dihasilkan itu adalah sebuah sihir yang dilakukan Aiden.
Kekehan kecil keluar dari mulut Aiden saat mendengar ucapan polos Selené layaknya anak kecil yang baru mengenal dunia mewarnai. "Ini bukan sihir, Selené. Melainkan mewarnai. Yang saya pegang ini." Ia mengangkat pensil warna dalam genggamannya. "Namanya pensil warna, terbuat dari kayu dan ujungnya ini yang menghasilkan warna, berasal dari bubuk berbahan kimia dan mineral."
Selené memiringkan kepalanya tampak bingung, membuat Aiden menghela napas berat. "Intinya ini bukan sihir. Hanya hal-hal biasa yang diciptakan manusia melalui teknologi."
"Teknologi?" ulang Selené tak paham.
"Akh sudahlah." Aiden sudah menyerah untuk menjelaskannya pada Selené. "Kamu mewarnai saja. Saya mau masuk ke dalam rumah dulu. Ingat, jangan ke mana-mana." Ia beranjak dari duduknya.
"Ingat." Selené tersenyum cerah memandangi Aiden yang telah melangkah turun dari rumah pohon. Lalu dirinya beralih menatap berbagai pensil warna yang menciptakan binar-binar indah di manik biru safirnya. "Wah, seperti pelangi." Pensil-pensil warna itu terlihat seperti pelangi baginya.
Selené mengambil pensil berwarna biru, lalu mengaplikasikannya pada gambar langit di buku. "Langit," ujarnya girang, sembari bertepuk tangan, lalu mencoba semua warna yang selalu membuatnya takjub.
• • • • • • •
"Eh, Aiden? Baru pulang?"
Gerakan Aiden yang hendak membuka pintu kamarnya seketika terhenti saat mendengar suara Mamanya yang baru saja keluar dari kamar di sampingnya--- kamar Mamanya.
Aiden mengangguk kikuk. "Iya, Mah," jawabnya. "Mama mau ke mana?" tanyanya melihat penampilan Mamanya yang tampak rapi dan tak lagi mengenakan daster rumahan.
"Karena Gerhana Mataharinya udah selesai. Pemerintah juga udah cabut larangannya untuk keluar rumah. Jadi ini Mama mau keluar beli bahan-bahan makanan. Soalnya stok makanan udah menipis. Kamu jaga rumah, ya, jangan ke mana-mana lagi," jawab wanita itu. "Kamu bersih-bersih badan dulu. Kan kamu habis dari luar. Jangan langsung tidur."
