11 | Menghancurkan

1.1K 80 17
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Pintu kamar Aji kembali terbuka. Marwan dan Rositi yang masih duduk di ruang tengah langsung menatap ke arah pintu tersebut, sampai Aji benar-benar keluar dan mendekat pada mereka. Aji menyodorkan ponselnya tanpa basa-basi ke hadapan Marwan. Marwan pun menerimanya, meski masih merasa bingung dengan gerak-gerik Aji malam itu.

"Apa ini, Nak? Kenapa kamu memberikan ponselmu pada Ayah?" tanya Marwan.

Aji berusaha melihat ke jendela depan yang gordennya sedikit terbuka. Ia ingin  memastikan kalau Bagja dan Rusna masih ada di luar sana. Septi keluar dari dapur saat mendengar Ayahnya bertanya-tanya pada Aji. Ia mendekat dan berdiri tepat di samping Aji.

"Paman Bagja dan Bibi Rusna baru saja datang ke rumah mereka, Yah. Mereka membawa sesajen yang sepertinya akan diletakkan di bagian belakang rumah. Aku tadi sempat rekam video pakai ponselku itu. Ayah lihat saja. Aku mau lihat dulu ke depan, siapa tahu mereka masih melakukan hal yang lain selain menyimpan sesajen," jawab Aji, yang kemudian segera beranjak menuju jendela depan.

"Eh ... Mas Aji, aku ikut," ujar Septi.

Septi benar-benar mengekori langkah Aji dan ikut mengintip dari balik gorden jendela depan. Marwan kini sedang melihat rekaman video dari ponsel Aji, mengenai apa yang dilakukan oleh Bagja dan Rusna. Setelah melihat semuanya, Marwan pun langsung mengirim rekaman video itu ke ponselnya, agar ia bisa mengirimnya kembali pada Didin.

"Apa yang mereka lakukan tidak boleh dibiarkan terlalu lama, Yah. Bisa jadi nantinya keadaan akan semakin memburuk, jika mereka dibiarkan begitu saja," ujar Rositi.

"Iya, Bu. Ayah paham. Makanya sekarang Ayah akan kirimkan video yang Aji rekam kepada Didin. Biar kami bisa berembuk dan memutuskan akan melakukan apa kepada Pak Bagja dan Bu Rusna. Bagaimana pun kita tetap tidak boleh gegabah, karena kita harus menemukan jasad Amira," tanggap Marwan.

Septi dan Aji terus memantau gerak-gerik Bagja dan Rusna. Kedua orang tersebut terlihat terus saja menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan tidak ingin ada satu orang pun yang tahu bahwa mereka datang kembali ke rumah yang belum jadi saat hari sudah malam.

"Mereka jadi kelihatan kayak maling," bisik Septi.

"Maklum saja, Dek. Namanya juga enggak mau ketahuan orang lain. Makanya mereka mengendap-endap seperti maling," balas Aji, ikut berbisik.

"Geram rasanya aku, Mas. Ingin sekali kucabik-cabik wajah mereka sekarang juga. Mereka benar-benar tidak peduli pada Amira dan tetap tertawa-tawa senang saat Amira sudah meninggal. Busuk sekali hati mereka ternyata," ungkap Septi, sambil mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

"Sabar, Dek. Ingatlah selalu kalau kita harus berpura-pura tidak tahu apa-apa. Ayah dan Paman Didin akan mencari keberadaan jasad Amira. Jadi kita harus membantu dengan cara bersandiwara jika bertemu mereka. Kamu paham, 'kan?" tanya Aji.

Septi pun mengangguk. Mobil yang Bagja kemudikan akhirnya pergi lagi dari desa. Tampaknya mereka memang datang ke sana hanya untuk menyimpan sesajen saja, bukan untuk melakukan hal lain. Marwan menyusul Aji dan Septi ke ruang depan. Keduanya segera berhenti mengintip ketika Rusna dan Bagja telah pergi.

"Mereka sudah pergi, Yah," lapor Aji.

"Bagus. Paman Didin sebentar lagi akan ke sini. Ayah dan Paman Didin akan ke rumah seberang untuk menghancurkan sesajen yang mereka simpan di belakang rumahnya," ujar Marwan.

"Aku ikut, ya, Yah," pinta Aji.

"Aku juga mau ikut," Septi ikut meminta.

Marwan pun tersenyum, kemudian merangkul keduanya dengan penuh kasih sayang seperti biasanya.

"Terus siapa yang mau jaga Ibu di rumah, kalau kalian ikut semua bersama Ayah?" tanya Marwan.

Septi langsung memajukan bibirnya beberapa senti, usai mendengar pertanyaan itu. Aji pun terkekeh senang, karena tahu kalau Septi akan mengalah dan membiarkannya pergi bersama Marwan dan Didin.

"Oke, aku akan mengalah. Tapi dengan satu syarat," pinta Septi.

"Syarat apa, Dek? Malam-malam begini kamu mau minta dibelikan apa?" Aji langsung stress.

"Aku enggak minta dibelikan apa-apa, Mas. Aku cuma mau minta Mas Aji video call kalau sudah sampai di halaman rumah itu. Aku mau lihat Ayah dan Paman Didin menghancurkan sesajen yang dibawa Paman Bagja dan Bibi Rusna," jelas Septi.

"Cuma itu? Enggak ada permintaan lain?" tanya Marwan.

"Eh? Memangnya Ayah pikir aku akan minta apa gitu?"

"Ya ... siapa tahu kamu mau minta Ayah menangkap satu pocong yang ada di sana, agar bisa kamu jadikan samsak," jawab Marwan.

"Ayah, enggak usah aneh-aneh ngomongnya," tegur Rositi, yang baru saja tiba di belakang Marwan.

Septi terkikik geli, saat Ayahnya kena tegur oleh Ibunya. Marwan pun terkekeh pelan, lalu mengecup kening Rositi dengan lembut sebelum keluar rumah bersama Aji. Didin tiba di depan pagar rumah Marwan ketika Aji baru saja akan membuka pagar tersebut. Marwan langsung mengarahkan Didin agar berjalan dengannya, sementara Aji akan berjalan di belakang mereka. Pocong-pocong pesugihan yang sejak tadi memenuhi halaman rumah milik Bagja diacuhkan begitu saja oleh ketiga pria itu. Mereka sama sekali tidak peduli, bahkan ketika salah satu pocong itu mengikuti Aji dari belakang.

Aji memenuhi janjinya pada Septi. Kini ponselnya membuka sambungan video call dengan Septi, sehingga Septi bisa melihat keadaan sekitar.

"Mas, pakai kamera belakang, dong. Aku enggak butuh melihat wajah Mas Aji sepanjang video call ini berlangsung," protes Septi.

"Eh, iya ... iya ... Dek. Maaf, ya. Aku lupa ganti kamera, he-he-he!"

Setelah Aji mengganti kamera, Septi pun akhirnya bisa melihat sesajen yang akan segera dihancurkan oleh Marwan dan Didin. Aji menoleh ke arah samping, saat sesosok pocong mencoba mendekatkan wajahnya ke wajah Aji.

"Minggir, Cong. Jangan sampai kulibas kamu malam ini," ancam Aji, sangat tenang.

Didin seketika menoleh ke arah Aji, usai mendengar bagaimana caranya mengancam. Pocong yang diancam oleh Aji pun segera melompat-lompat menjauh, karena sudah merasakan aliran tenaga dalam yang hendak Aji keluarkan melalui tangan kirinya. Didin pun akhirnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, saat sadar kalau Aji dan Marwan sama sekali tidak ada bedanya saat berhadapan dengan makhluk halus.

"Aji kayaknya akrab banget, ya, sama makhluk halus jenis apa pun? Main cang-cong cang-cong saja panggilnya," ujar Didin.

"Enggak usah pikirkan Aji. Fokus saja dengan sesajen yang harus kita hancurkan ini," sahut Marwan.

Didin tak lagi mengatakan apa-apa. Ia dan Marwan segera mengeluarkan aliran tenaga dalam, sambil membaca doa penghancur sihir.

"A'udzubillah himinasy syaitonnirojim. Bismillahirrahmanirrahim. Audzu bi kalimaatillahit tammati min kulli syaithonin wa haammatin wa min kulli 'ainin laammatin. Bismillaahil ladzii laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi walaa fis-samaa'i, wa huwas-samii'ul 'aliim."

BLAMMM!!!

Sesajen itu pun berhamburan di tanah, setelah terkena serangan tenaga dalam milik Didin dan Marwan. Aji tetap terlihat sangat tenang, terutama saat pocong-pocong pesugihan yang ada di sekitar mereka mulai terlihat melompat-lompat cepat tak tentu arah.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang