- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Didin dan Marwan pun langsung keluar dari rumah, setelah mendengar soal Patmi dari Wardin. Resti mengekori langkah Bapaknya, karena penasaran dengan apa yang terjadi pada Patmi. Mereka berempat berlari menuju rumah Patmi dan langsung disambut oleh kepanikan Esih, Arin, dan Ninis yang hanya berani berdiri di dekat pagar.
"Langsung masuk, Pak RT. Pak Nugraha sudah kewalahan di dalam sana," saran Ninis.
Marwan dan Didin tiba di dalam rumah lebih dulu. Wardin menyusul tak lama kemudian. Resti ditahan oleh Ibu-ibu di pagar depan, agar tidak masuk ke dalam dan melihat hal-hal yang tadi sempat mereka lihat pada diri Patmi. Patmi sedang mengalami kejang-kejang. Mulutnya menganga dengan kedua bola mata yang hanya terlihat bagian putihnya saja. Sesosok pocong terlihat oleh Marwan dan Didin sedang melompat-lompat di pintu belakang rumah itu. Pocong itu terlihat menyeringai sepanjang waktu, seakan sedang merasa senang atas keadaan yang Patmi alami.
"Mundur, Pak Nugraha. Mundur dulu," paksa Didin, dibantu oleh Wardin.
"Saya enggak mau ke mana-mana! Istri saya butuh didampingi!" Nugraha menolak.
"Ini juga demi kebaikan Bu Patmi, Pak. Ayo, mundur dulu," bujuk Wardin.
Didin dan Wardin pun menahan tubuh Nugraha sekuat tenaga, agar tidak lagi mendekat pada Patmi. Marwan segera meraih gelas besar dari atas meja makan dan mengisinya dengan air. Ia segera berdoa, sambil terus menatap tajam ke arah pocong yang masih saja melompat-lompat di dekat pintu belakang.
"A'udzubillah himinasy syaitonnirojim. Bismillahirrahmanirrahim. A'udzu bi wajhillahil kariim wa bi kalimatillahit tammati lati la yujawizuhunna barrun wala faajirun min syarri maa yanzilu minas sama'i, wa min syarri ma ya'ruju fiha, wa min syarri ma dzara'a fil ardhi, wa min syarri ma yakhruju minha, wa min fitanil laili wan nahari, wa min thoriqil laili wannahari, illa thariqan yanthiqu bi khairin, ya rahman. Robbi a'uudzubika min hamazaatisy syayaathiin wa a'udzubika robbi ayyahdhuruun."
Marwan segera meniup air di dalam gelas besar yang dipegangnya, lalu segera mengguyurkan air tersebut dari atas kepala Patmi agar menyebar ke seluruh tubuhnya. Pocong yang tadi dilihat oleh Didin dan Marwan pun langsung menghilang, setelah Patmi berhasil terbebas dari kekangannya.
Didin dan Wardin melepaskan Nugraha, agar bisa kembali mendekat pada Patmi. Patmi pun akhirnya kembali tenang, setelah diguyur oleh Marwan menggunakan air yang tadi ia doakan. Nafasnya jauh lebih tenang, meski tubuhnya terlihat sangat lelah setelah mengalami kejang-kejang yang cukup lama. Nugraha pun tampak begitu lega ketika merangkul istrinya. Kini pria paruh baya itu kembali menatap ke arah Marwan dan Didin.
"Terima kasih banyak, Pak Marwan ... Pak RT ... terima kasih banyak," ucapnya, sambil berusaha menahan tangis.
"Sama-sama, Pak Nugraha. Sekarang sebaiknya Bu Patmi dibiarkan istirahat. Jangan lupa gantikan pakaiannya biar tidak masuk angin," saran Didin.
Sepulangnya dari rumah Patmi, Didin dan Resti pun berpisah dengan Marwan di persimpangan jalan. Marwan segera kembali ke rumah untuk memeriksa keadaan Septi dan Rositi. Sesampainya di rumah, Rositi memberi tanda pada Marwan agar tidak mengganggu Septi sementara waktu. Hal itu membuat Marwan mengurungkan niat mengetuk pintu kamar putri bungsunya.
"Septi sejak tadi memilih diam di kamar. Mungkin dia sedang ingin menenangkan diri," ujar Rositi.
Marwan pun menghela nafasnya yang terasa begitu berat.
"Ya sudah, kalau begitu mari kita biarkan Septi tenang dulu. Nanti kita akan ajak dia bicara setelah cukup tenang. Ayah mau mandi dulu. Sebentar lagi waktu maghrib akan tiba."
"Oh ya, Aji akan pulang ba'da isya, Yah. Adakah yang mau Ayah titip agar dibeli oleh Aji, biar nanti Aji mampir ke minimarket?" tanya Rositi.
"Enggak usah, Bu. Biar saja Aji pulang seperti biasa dan tidak perlu mampir-mampir. Nanti Ayah akan tunggu dia pulang di halaman depan," jawab Marwan.
Ketika waktu isya telah berlalu, Aji akhirnya akan segera tiba di rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Motor yang dikemudikan pria itu melaju santai seperti biasanya. Ia bahkan sempat mampir membeli gorengan kesukaan Septi, sebelum berbelok menuju jalan masuk ke desanya.
Kening Aji mengerenyit, ketika ia melihat keberadaan Marwan yang sedang berjalan mondar-mandir di halaman depan rumah. Ia merasa heran, karena tak biasanya Marwan berada di luar rumah setelah waktu isya berlalu. Aji segera memarkirkan motornya ketika memasuki halaman. Marwan menatapnya dan tampak sengaja menunggui Aji yang sedang membuka helm.
"Assalamu'alaikum, Yah," ucap Aji, seraya mencium punggung tangan Marwan.
"Wa'alaikumsalam," balas Marwan.
"Tumben Ayah ada di luar malam-malam. Ada apa?" tanya Aji.
Marwan segera merangkul putra sulungnya, setelah Aji menyimpan helm dengan benar. Aji semakin bingung dengan sikap Marwan malam itu. Marwan benar-benar tidak biasanya bersikap seperti itu terhadapnya, meski mereka sangat dekat satu sama lain. Aji terus menatap Marwan, hingga akhirnya Marwan meletakkan telunjuknya di bibir sebagai tanda bahwa sebaiknya Aji tidak bicara selama mereka masih berada di luar.
"Ayo kita segera masuk. Jangan menoleh ke belakang," ajak Marwan, berbisik.
Aji pun mematuhi hal itu. Ia mulai yakin kalau tindak-tanduk Marwan malam itu ada kaitannya dengan pocong di sekitar rumah milik Bagja. Aji benar-benar hanya menatap ke depan dan segera masuk ke rumah ketika pintu terbuka lebar. Rositi terlihat sedang menyiapkan makanan di meja makan. Septi belum terlihat oleh Aji, sehingga Aji berpikir bahwa Septi pasti masih berada di kamarnya.
"Segeralah ganti baju, Nak. Baru setelah itu kita bicara," titah Marwan.
"Iya, Yah," tanggap Aji.
Aji baru saja akan melangkah menuju kamarnya, ketika Septi keluar dari kamar dan langsung menatapnya. Kedua matanya sembab dan basah. Aji pun menyadari kalau Septi sepertinya sudah menangis sejak tadi.
"Dek? Kamu kenapa? Ada apa?" tanya Aji, sambil menyerahkan satu kantong gorengan yang tadi dibelinya.
Septi menggenggam kantong plastik berisi gorengan itu tanpa semangat. Aji semakin bingung dengan sikap Septi. Padahal biasanya Septi selalu ceria dan selalu saja mengomel jika sudah berhadapan dengannya.
"Amira sudah enggak ada, Mas," jawab Septi.
Aji mencoba mencerna jawaban itu sambil mengerenyitkan keningnya. Marwan dan Rositi kembali saling menatap satu sama lain. Kedua mata Septi kembali tergenang oleh airmata.
"Maksudnya apa, Dek? Amira sudah enggak ada, tuh, maksudnya apa?"
"Amira sudah meninggal, Mas. Amira meninggal karena dijadikan tumbal oleh kedua orangtuanya yang melakukan pesugihan," jelas Septi.
Aji tentu saja kaget mendengar hal itu. Ia menatap ke arah Marwan, namun Marwan tidak mengatakan apa-apa dan justru memberinya tanda untuk menenangkan Septi. Aji segera meraih Septi dan memeluknya sangat erat. Tidak ada yang mencoba menghentikan tangisan Septi, karena tahu bahwa itu adalah hal yang percuma.
Rositi pun mendekat. Ia segera mengambil Septi dari pelukan Aji dan merangkulnya dengan lembut.
"Gantilah bajumu, Nak. Baru setelah itu makan malam bersama kami," titah Rositi.
Aji pun mengangguk. Ia telah membuka tuas pintu kamarnya, ketika tatapnya tertuju pada jendela kamar yang terarah langsung pada bagian samping rumah milik Bagja. Tangan Aji pun mengepal begitu erat, saat akhirnya menyadari bahwa pocong yang dilihatnya tadi pagi adalah pocong pesugihan.
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...