8 | Mencoba Untuk Tetap Tenang

1K 76 10
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Setelah memastikan kalau Septi dan Resti benar-benar masuk ke rumah, Marwan dan Didin pun balas tersenyum seperti yang Bagja dan Rusna lakukan. Mereka tetap berusaha bersikap seramah biasanya, meski dalam hati merasa geram atas apa yang kedua orang tersebut lakukan kepada Amira.

"Biasa, Pak Bagja. Septi dan Resti mau pergi jalan-jalan, padahal Septi baru saja pulang kerja. Mereka kalau enggak dilarang sesekali jadi semakin sering menghabiskan waktu di luar daripada di rumah," jawab Marwan.

"Iya, Pak Bagja. Namanya anak gadis, kadang-kadang suka ada saja tingkahnya. Jadi kami sebisa mungkin tetap mengawasi dan melarang sesekali, biar enggak ada yang lupa waktu," tambah Didin.

Rusna dan Bagja pun tertawa, usai mendengar jawaban-jawaban yang diberikan oleh Marwan dan Didin.

"Ya, begitulah anak-anak, Pak Marwan ... Pak Didin ... kadang memang agak gampang-gampang susah memberi tahu mereka. Terutama anak gadis," ujar Rusna.

"Tapi meskipun begitu, sebaiknya mereka jangan terlalu dikekang. Mereka pastinya ingin menikmati masa muda. Terutama kalau mereka sedang merasa lelah setelah selesai bekerja," saran Bagja.

Marwan dan Didin pun kembali tertawa santai untuk menanggapi saran tersebut.

"Tentu saja sesekali pastinya kami akan membiarkan, Pak Bagja. Hanya saja, kami tidak mau kalau terlalu keseringan. Kadang juga tidak baik dilihat orang, kalau anak gadis terlalu sering keluar rumah terutama menjelang malam," tanggap Didin.

Setelah berbasa-basi cukup lama, Bagja dan Rusna pun berpamitan pada Marwan dan Didin. Mereka mengatakan bahwa akan kembali ke hotel dan menginap di sana selama pembangunan rumah belum selesai. Didin dan Marwan tentu saja menanggapi seperti biasa, tanpa membahas soal betapa cepatnya pembangunan rumah milik Bagja yang terlihat sudah hampir setengah rampung. Mereka merasa bahwa sebaiknya obrolan mengenai pembangunan rumah itu harus dihindari sebisa mungkin.

Di dalam rumah Marwan, Septi dan Resti sedang menangis sambil berpelukan. Rositi telah memberi tahu keduanya mengenai Amira, yang sudah ditumbalkan oleh Bagja dan Rusna demi mendapat kekayaan melalui pesugihan. Baik itu Septi maupun Resti sama-sama merasakan kesedihan yang sulit dijabarkan. Mereka begitu dekat dengan Amira selama ini dan tidak pernah terpikirkan oleh mereka, bahwa akhir hidup Amira akan menjadi setragis itu.

"Maka dari itulah Ayah dan Paman Didin langsung menarik kalian. Kalian berdua tidak boleh menanyakan soal Amira pada Pak Bagja ataupun Bu Rusna. Kalau kalian terus menanyakan, takutnya mereka akan menjadikan kalian sasaran selanjutnya. Ibu enggak mau ada yang celaka di antara kalian. Meskipun Ibu enggak bisa bohong, bahwa kehilangan Amira juga membuat Ibu merasa terpukul."

Rositi kembali menyeka airmatanya. Ia benar-benar sulit membendung kesedihan yang dirasakannya kali itu.

"Amira selalu ada di sini sejak masih kecil. Ibu selalu mengurusnya bersama kalian berdua, jika Bu Rusna sedang menitipkannya. Ibu juga merasa kehilangan, tapi kita jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Semua itu terjadi karena kebodohan dan gelap mata kedua orangtuanya."

Septi melepaskan pelukannya dari Resti, lalu menatap ke arah Rositi. Rositi bisa melihat di wajah putri bungsunya tersebut tersirat sebuah penyesalan. Entah apa yang sedang Septi sesali. Namun tentunya sesal itu terkait dengan kepergian Amira.

"Tapi kita pasti bisa menemukan jasadnya, 'kan, Bu? Setidaknya kita harus menemukan jasadnya, agar Amira bisa dimakamkan dengan layak," harap Septi, di tengah tangisnya.

"Benar, Bibi. Setidaknya kami bisa mengunjungi makamnya, kalau jasadnya bisa kita temukan dan dimakamkan dengan layak," Resti setuju dengan apa yang Septi harapkan.

"Andai saja bisa begitu, Nak, Ibu pun inginnya demikian. Tapi kita sama sekali enggak tahu, ke mana Amira dibawa oleh Pak Bagja dan Bu Rusna dua minggu lalu. Andai kita tahu, pastinya Ayahmu dan Paman Didin akan segera mencari jasadnya agar bisa dimakamkan dengan layak."

"Tapi Bu, seenggaknya kita bisa berusaha untuk ...."

Pintu depan terbuka. Marwan dan Didin masuk kembali ke rumah itu setelah Bagja dan Rusna pergi. Keduanya melihat bahwa Septi dan Resti sedang menangis di depan Rositi. Mereka paham, bahwa kabar soal Amira yang telah tiada jelas menjadi pukulan menyakitkan bagi Resti ataupun Septi. Amira sangat dekat dengan mereka sejak kecil, jadi ketika terjadi sesuatu yang buruk pada Amira tentunya Septi dan Resti tidak bisa menerima hal tersebut begitu saja.

Marwan pun mendekat dan duduk di samping Septi. Septi tahu kalau Ayahnya akan membujuknya. Marwan selalu membujuknya ketika ia sedang kehilangan sesuatu. Namun Septi yakin, kalau kali ini bujukan Marwan tidak akan bisa membuatnya tenang seperti biasa. Kehilangan yang kali ini ia rasakan bukanlah kehilangan biasa.

"Sudah, Nak. Ikhlaskan. Kepergian Amira bukanlah kepergian yang diiringi rasa tenang. Dan kalau kalian menangisinya seperti ini, maka dia akan semakin tidak tenang," saran Marwan, sambil mendekap Septi dengan lembut.

Didin merangkul Resti seperti biasanya, berusaha membuatnya tenang meski belum tentu berhasil.

"Doakan saja Amira sesering mungkin. Bapak dan Paman Marwan akan mencoba mencari cara agar kita bisa menemukan jasadnya. Bagaimana pun, Amira tetap harus dimakamkan dengan layak agar arwahnya tidak terus gentayangan seperti yang tadi kami lihat," ujar Didin.

Septi pun melepaskan diri dari dekapan Ayahnya. Ia menyeka airmatanya dan mencoba berhenti menangis.

"Yah, tadi aku memberi tahu Mas Aji soal Ayah yang melihat pocong di atap rumah Paman Bagja. Aku memberi tahu Mas Aji setelah mendapat kabar itu dari Resti," ujar Septi.

"Iya, enggak apa-apa. Kakakmu memang harus tahu, jadi itu bukan masalah besar kalau kamu memberi tahunya," tanggap Marwan, seraya mengusap lembut rambut panjang Septi.

"Aku tahu kalau itu bukan masalah, Yah. Maksudku, Mas Aji akhirnya bilang padaku kalau dia juga melihat pocong di samping rumah Paman Bagja dari jendela kamarnya. Mas Aji pikir dia salah lihat, makanya dia tidak bilang apa-apa sama Ibu. Tapi setelah dia dengar kabar soal pocong yang Ayah lihat, dia akhirnya yakin kalau dirinya enggak salah lihat," jelas Septi.

Marwan, Didin, dan Rositi pun kini saling menatap satu sama lain, usai mendengar hal tersebut. Baru saja Didin akan menanggapi soal pocong yang dilihat oleh Aji, Wardin mendadak datang ke rumah Marwan dan mengetuk-ngetuk pintu dengan sangat terburu-buru.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam," balas semua orang yang ada di dalam rumah.

Rositi pun segera membukakan pintu, sehingga Wardin kini bisa menatap ke arah Didin yang sedang duduk di sofa.

"Ada apa, Pak Wardin? Apakah ada masalah lagi?" tanya Didin.

"Maaf, Pak RT. Tolong Pak RT kembali lagi ke rumah Bu Patmi. Bu Patmi didatangi pocong lagi, Pak. Dia sedang teriak-teriak seperti orang kesurupan sekarang. Pak Nugraha sudah berusaha menenangkannya tapi gagal, Pak," jawab Wardin.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang