- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Marwan dan Didin turun kembali ke lantai bawah. Rositi--yang baru saja selesai menyajikan cemilan dan kopi di meja ruang tamu--menatap keduanya dengan cermat. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang akhirnya diketahui oleh Marwan dan Didin, setelah mereka mengawasi rumah milik Bagja dari jendela lantai atas.
"Sudah selesai mengawasi rumah Pak Bagja?" tanya Rositi.
"Sudah, Dek Ros. Maka dari itulah kami segera turun," jawab Didin.
"Ada hal yang kalian temukan? Apakah benar-benar ada kaitannya pembangunan rumah itu dengan kemunculan pocong?" Rositi terus mencecar.
Marwan segera merangkulnya, lalu kembali mengajaknya duduk di sofa. Marwan ingin Rositi tetap tenang, meski dirinya akan menyampaikan hal yang sangat buruk. Rositi langsung merasakan sesuatu ketika Marwan merangkulnya. Ia sudah sering merasakan rangkulan itu, ketika ada hal buruk yang akan Marwan sampaikan kepadanya. Seketika Rositi sadar, bahwa hal buruk itu mungkin saja terkait dengan Rusna dan Bagja.
"Dengar, Bu. Tenangkan hatimu dan tidak perlu kaget. Anggap saja yang akan kamu dengar ini adalah hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Dengan begitu, Insya Allah keluarga kita akan tetap aman. Aku dan Didin akan mencoba mencari jalan keluar agar hal-hal buruk tidak terjadi pada warga di desa kita," ujar Marwan, sepelan dan selembut mungkin.
Kedua tangan Rositi gemetar. Ia menggenggam tangan Marwan dengan erat, sehingga Marwan bisa merasakan kalau kini tangan Rositi terasa sangat dingin.
"Yah, sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah bicara seperti ini?"
"Tenang dulu, Dek Ros. Istighfar agar bisa tenang," saran Didin, sambil sesekali menatap ke rumah milik Bagja melalui jendela.
Rositi pun mengikuti saran itu. Ia beristighfar tanpa henti, sambil menunggu Marwan menyampaikan hal yang harus Rositi ketahui.
"Pocong-pocong yang mendadak muncul itu memang ada kaitannya dengan pembangunan rumah yang dilakukan oleh Pak Bagja dan Bu Rusna. Jadi sudah dapat dipastikan, bahwa Pak Bagja dan Bu Rusna melakukan pesugihan agar bisa cepat kaya. Pocong-pocong yang muncul itu adalah pembantu dalam proses pesugihan yang mereka lakukan. Jadi apabila pocong itu mendatangi rumah seseorang, tandanya rumah orang tersebut sedang diincar agar hartanya terkuras sampai habis," jelas Marwan.
Rositi pun seketika teringat dengan Patmi yang tadi didatangi oleh pocong.
"Berarti Bu Patmi ...."
Rositi tidak mampu melanjutkan ucapannya. Namun Marwan segera mengangguk, pertanda apa yang dipikirkan oleh Rositi saat itu sangatlah tepat.
"Ya Allah, astaghfirullah. Lalu, apa lagi yang sudah Ayah ketahui selain fakta bahwa Pak Bagja dan Bu Rusna melakukan pesugihan?" lanjut Rositi.
Marwan kembali menatap Didin, membuat Didin memberi tanda agar Marwan segera memberi tahu Rositi fakta terburuknya.
"Bu, setiap orang yang melakukan pesugihan itu harus memberikan tumbal untuk Iblis yang disembahnya. Begitu pula Pak Bagja dan Bu Rusna. Mereka juga memberikan tumbal kepada Iblis, sehingga mereka kini menjadi kaya-raya dalam waktu singkat."
"Ya, Ibu tahu mengenai hal itu. Sudah pasti ada yang ditumbalkan oleh mereka, sehingga menjadi kaya-raya dalam sekejap mata. Hanya saja, apa kira-kira yang mereka tumbalkan?" Rositi bertanya-tanya.
"Itulah yang ingin Ayah sampaikan," sahut Marwan.
Rositi mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat. Ia mencoba mencerna sekaligus menduga-duga, soal apa yang ingin Marwan sampaikan terkait dengan tumbal pesugihan yang Bagja dan Rusna berikan pada Iblis.
"Mereka menumbalkan yang paling berharga dalam hidup mereka, Bu. Tadi saat aku dan Didin melihat keberadaan pocong-pocong di belakang rumah Pak Bagja, kami juga melihat ada sosok lain yang berdiam di sana."
"Sosok lain? Sosok apa, Yah? Maksudnya ... arwah?" tebak Rositi.
Marwan pun mengangguk, membuat Rositi semakin penasaran.
"Arwah siapa yang Ayah lihat? Apakah Ayah mengenalnya?"
"Kita bertiga mengenalnya, Dek Ros," jawab Didin.
"Kita bertiga? Kita bertiga mengenalnya, Mas Didin?"
Rositi pun terdiam. Pikirannya langsung tertuju pada seseorang yang belum dilihatnya lagi sejak dua minggu lalu. Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua mata membola. Airmatanya mengalir tanpa disadari. Jantungnya berpacu begitu cepat, membuat dadanya bergemuruh tak terarah.
"Enggak! Enggak mungkin kalau mereka sampai menumbalkan Amira! Itu sudah kelewatan! Mereka orangtuanya dan mereka sayang pada Amira! Enggak mungkin!" Rositi menolak percaya.
"Tapi itulah faktanya, Bu. Aku dan Didin melihat arwah Amira dengan jelas ketika sedang mengawasi rumah Pak Bagja. Amira sudah tiada, Bu. Mereka sudah menumbalkannya," Marwan berusaha meyakinkan Rositi.
Kedua kaki Rositi mendadak lemas. Ia tidak bisa menerima fakta itu dengan cepat. Amira sudah sangat ia kenal sejak masih kecil. Amira bahkan tumbuh besar bersama Septi dan Resti selama ini. Jadi ketika tahu bahwa Amira telah meninggal akibat dijadikan tumbal, tentu saja Rositi merasa sangat terpukul.
Ponsel milik Didin mendadak berdering. Sebuah pesan dari Titi baru saja masuk, sehingga membuat Didin segera membukanya.
ISTRIKU
Pak, Resti pergi dari rumah barusan. Dia sudah janjian dengan Septi, dan katanya mereka berdua mau coba bertanya pada Bu Rusna dan Pak Bagja soal keberadaan Amira."Astaghfirullah!" seru Didin, mengagetkan Marwan dan Rositi.
"Ada apa, Din?" tanya Marwan.
"Istriku baru saja mengirim pesan, katanya Resti pergi dari rumah dan hendak bertemu Septi. Mereka sudah janjian akan bertanya pada Bu Rusna atau Pak Bagja soal keberadaan Amira," jawab Didin, sambil memakai jaketnya.
Rositi pun langsung mengguncang pundak Marwan.
"Yah, cepat cegah mereka! Cegah mereka!" paksa Rositi.
"Iya, Bu. Iya. Kamu tunggu saja di sini, ya," balas Marwan.
Resti melambaikan tangannya ke arah Septi, saat akhirnya melihat keberadaan wanita itu. Septi juga balas melambaikan tangannya seraya tersenyum. Ketika mereka bertemu di tengah jalan antara rumah Septi dan rumah Amira, keduanya langsung menatap ke arah Rusna yang terlihat sedang bicara dengan Bagja.
"Mau langsung saja temui Paman Bagja dan Bibi Rusna?" tanya Resti.
"Iya. Sebaiknya begitu. Aku penasaran sekali soal keberadaan Amira, jadi sebaiknya kita enggak menunda-nunda untuk menanyakannya," jawab Septi.
"Oke. Kalau begitu, ayo, kita langsung saja mendekat ke sana," ajak Resti.
Belum sempat mereka melangkah, tangan kedua wanita itu sudah ditarik lebih dulu oleh Marwan dan Didin. Hal itu tentu saja membuat keduanya kaget, sehingga menarik perhatian Rusna dan Bagja setelah mendengar jeritan kecil Septi dan Resti.
"Ayah? Kenapa lenganku ditarik kuat sekali?" tanya Septi.
"Sakit, Pak. Lenganku bisa keseleo kalau ditarik kuat-kuat seperti barusan," keluh Resti.
"Nanti kami jelaskan. Sekarang masuk dan tetap di dalam. Jangan keluar, apa pun yang terjadi," bisik Marwan.
Septi dan Resti pun mematuhi perintah itu. Keduanya segera masuk ke alamat rumah dan disambut oleh Rositi yang wajahnya masih berlinang airmata. Marwan dan Didin kini harus menghadapi Rusna dan Bagja, yang baru saja mendekat pada mereka akibat mendengar jeritan Septi dan Resti.
"Pak Marwan ... Pak RT ... anak-anak kenapa? Sepertinya kami lihat mereka sedang dilarang pergi," tanya Bagja, dengan wajah penuh senyuman.
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...