- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Rositi bergegas membuka pintu, ketika mendengar suara ketukan. Dari jendela ia bisa melihat bahwa Marwan datang bersama Didin. Wajah mereka tampak begitu gusar, seakan sedang memikirkan sesuatu yang sulit untuk dijabarkan.
"Assalamu'alaikum," ujar Marwan dan Didin.
"Wa'alaikumsalam," jawab Rositi, tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah kedua pria paruh baya tersebut. "Ada apa? Kenapa kalian berdua kelihatan tidak seperti biasanya?"
Marwan pun segera mengajak Rositi duduk di sofa. Didin segera menutup pintu sambil mengamati rumah milik Bagja sekilas. Rositi semakin yakin bahwa ada apa-apa yang terjadi, namun belum ia ketahui. Jadi sebisa mungkin Rositi berusaha tenang dan siap mendengar apa pun yang akan Marwan sampaikan kepadanya.
"Dengarkan Ayah baik-baik, ya, Bu. Jangan menyela dulu, kalau Ayah belum selesai cerita," pinta Marwan.
Rositi pun mengangguk.
"Iya, Yah. Cerita saja. Insya Allah Ibu pasti akan dengarkan dan berusaha tidak menyela," janjinya.
Marwan melihat ke arah Didin selama beberapa saat, sementara Didin saat ini sedang menatap ke rumah milik Bagja melalui jendela. Didin jelas sedang mencoba mencari keberadaan Bagja dan Rusna. Marwan sudah tahu akan hal itu. Karena jika Didin tahu keberadaan Bagja dan Rusna, maka nanti mereka akan mudah menemukan keberadaan pocong yang tadi dilihat oleh Marwan--jika firasat mereka mengenai pocong itu benar dan terbukti.
"Tadi sebelum waktu dzuhur, Ayah melihat ada pocong di atas atap rumah Pak Bagja. Pocong itu duduk berayun-ayun di atap dan menghilang saat beberapa orang buruh bangunan naik ke sana," ujar Marwan.
Rositi langsung menutup mulutnya seraya beristighfar. Ia merasa kaget, ketika mendengar soal pocong yang dilihat oleh suaminya di atap rumah milik Bagja.
"Ayah memutuskan langsung menyampaikan hal itu pada Didin, karena takut kalau kemunculan pocong itu akan berakibat buruk bagi warga desa, jika tidak dicari tahu asal-usulnya. Tapi belum berapa lama setelah Ayah menyampaikan soal pocong itu pada Didin, Pak Wardin datang dan mengabarkan bahwa Bu Patmi pingsan mendadak saat sedang menimba air di sumur yang ada di samping rumahnya. Kami segera ke sana untuk menolong sekaligus mencari tahu soal apa penyebab pingsannya Bu Patmi. Dan ketika akhirnya Bu Patmi sadar, dia mengatakan bahwa dirinya didatangi oleh pocong bermata bolong yang tersenyum menyeramkan ke arahnya."
"Ya Allah, astaghfirullah," lirih Rositi. "Lalu, bagaimana keadaan Bu Patmi sekarang, Yah? Apakah Bu Patmi baik-baik saja?" tanya Rositi.
"Keadaan Bu Patmi masih terguncang, Bu. Tapi sekarang ada Pak Nugraha yang mendampinginya di rumah. Pak Nugraha tadi langsung ditelepon oleh Didin, agar segera pulang ke rumah."
Rositi pun merasa lega sesaat, usai mendengar jawaban Marwan. Namun rasa lega itu tidak bertahan lama, karena setelahnya Rositi kembali ingat soal pocong yang terlihat oleh Marwan di atap rumah milik Bagja.
"Lalu, apakah menurut Ayah pocong yang mendatangi Bu Patmi ada kaitannya dengan pocong yang terlihat di atap rumah Pak Bagja?"
"Itulah yang akan kami cari tahu, Dek Ros. Makanya aku sengaja ikut ke sini bersama Marwan, agar kami bisa mengawasi rumah Pak Bagja dengan leluasa," jawab Didin, mewakili Marwan.
Setelah mendengar jawaban itu, Rositi pun segera mengusap dadanya. Istighfar masih belum berhenti ia lafalkan, demi mencari rasa tenang bagi perasaannya yang mendadak gelisah. Marwan segera merangkulnya dengan lembut, mencoba membuatnya tenang meski tahu kalau nanti mereka akan menghadapi hal-hal tidak biasa.
"Bersikaplah seperti biasanya, Bu. Terutama saat Ibu bertemu dengan Pak Bagja dan Bu Rusna. Usahakan jangan memperlihatkan bahwa Ibu sudah tahu ada yang ganjil tentang mereka," saran Marwan.
Rositi lagi-lagi menganggukkan kepala.
"Iya, Yah. Insya Allah sebisa mungkin Ibu akan berusaha bersikap seperti biasanya, jika bertemu Bu Rusna ataupun Pak Bagja. Tapi sebisa mungkin, Ibu akan berusaha menghindar agar tidak perlu bertatap muka secara langsung."
Marwan pun tersenyum.
"Kalau begitu, Ayah dan Bapaknya Resti naik dulu ke atas, ya. Kami akan mengawasi rumah Pak Bagja dari balik jendela di atas."
"Iya. Naiklah, Yah. Ibu akan siapkan kopi beserta cemilan di meja sini untuk Ayah dan Mas Didin."
Marwan pun segera memberi tanda pada Didin untuk ikut dengannya ke lantai atas. Rositi kembali beranjak menuju dapur, karena akan menyiapkan kopi dan cemilan. Di jendela lantai atas, Marwan segera membuka lebar gorden sampai ke ujung. Kaca riben yang dipasangnya bertahun-tahun lalu akhirnya sangat berguna, ketika dibutuhkan untuk memantau tanpa ketahuan ataupun dicurigai. Keberadaan Bagja dan Rusna langsung terlihat oleh mereka, setelah mengawasi dari jendela lantai dua tersebut.
"Mereka sepertinya sedang memberi gambaran soal bentuk rumah yang mereka inginkan," ujar Didin.
"Ya, dan coba perhatikan rumah yang sedang dibangun ulang itu, Din. Sangat aneh."
Didin pun menatap ke arah rumah itu. Kedua matanya membola, ketika menyadari bahwa hal aneh yang Marwan maksud terlihat sangat jelas.
"Astaghfirullah! Bagaimana bisa, rumah yang baru dibangun ulang itu sekarang kelihatan sudah hampir rampung? Bukannya rumah itu baru dibongkar tadi pagi, ya?" kaget Didin.
"Seharusnya paling maksimal yang baru terbangun di rumah itu adalah fondasi. Itu pun seharusnya fondasi memerlukan waktu beberapa hari agar bisa kering sempurna. Kalau hal janggal seperti itu terjadi, berarti ada campur tangan makhluk halus yang membantu pembangunannya agar cepat selesai," pikir Marwan.
Baru saja Didin hendak menanggapi yang Marwan utarakan, matanya seketika tertuju pada bagian belakang rumah yang ditinggalkan oleh para buruh bangunan. Didin menunjuk ke arah bagian belakang itu, membuat Marwan ikut menatap ke arah yang sama.
"Pocong, Wan!" seru Didin.
"Ya, pocong. Pocong itu jelas berbeda dengan yang tadi aku lihat di bagian atap. Yang itu bagian wajahnya tidak terlalu kentara," balas Marwan.
Didin menepuk-nepuk pundak Marwan untuk menunjukkan pocong lainnya yang ia lihat.
"Di sana juga, Wan. Ada dua pocong di arah sana."
"Berarti firasat kita benar, Din. Pembangunan rumah Pak Bagja dibantu oleh makhluk halus. Yang artinya, Pak Bagja dan Bu Rusna telah melakukan pesugihan untuk mendapatkan semua kekayaan yang mereka pegang saat ini."
"Tapi ... bukankah harus ada yang ditumbalkan, kalau benar mereka melakukan pesugihan?" tanya Didin.
Tatap mata Marwan pun tertuju pada sesosok wanita muda yang sangat mereka kenal selama ini. Marwan pun segera menunjuk ke arah wanita muda itu, sehingga Didin ikut menatap ke arah yang sama.
"Amira? Ada apa dengan Amira? Kenapa kamu menunjuknya?" Didin merasa heran.
"Amira adalah tumbalnya," jawab Marwan.
"Hah? Bagaimana mungkin, Wan? Kalau Amira adalah tumbalnya, maka seharusnya saat ini ...."
"Lihat kakinya, Din," potong Marwan.
Didin pun melihat ke arah kaki seperti yang Marwan sarankan. Seketika kedua lutut Didin pun lemas, saat menyadari bahwa Amira yang tengah mereka lihat sedang melayang-layang dan tak lagi menapak pada tanah.
"Itu hanya arwahnya," tambah Marwan.
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...