- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Didin dan Titi akhirnya tiba di rumah Patmi. Keduanya segera berlari menuju bagian samping rumah, ke tempat sumur berada. Saat itu sudah ada Esih dan Arin di sisi Patmi. Namun keduanya tidak bisa melakukan apa-apa selain mencoba menyadarkan Patmi dari pingsan. Mereka tidak kuat mengangkat tubuh Patmi yang lumayan berisi, sehingga tidak segera membawa Patmi ke dalam rumah. Ninis--yang tinggal di seberang rumah Patmi--segera datang usai mendengar suara-suara orang panik. Marwan dan Wardin langsung mendekat saat tiba di rumah itu. Titi terlihat sedang mencoba menyadarkan Patmi sambil menepuk-nepuk pipinya.
"Bu Patmi. Bu ... bangun, Bu. Bu Patmi," panggil Titi, di dekat telinga Patmi.
"Belum sadar, Din?" tanya Marwan.
"Belum, Wan," jawab Didin. "Mungkin sebaiknya kita bawa saja dulu ke dalam rumah. Biar Bu Patmi bisa berbaring di tempat yang lebih nyaman."
"Ya, itu ide yang bagus. Tapi laki-laki di sini hanya ada aku, kamu, dan Pak Wardin," tanggap Marwan.
"Aku rasa bisa, Wan, kita mengangkat Bu Patmi sampai ke dalam rumahnya. Kita bertiga pasti bisa mengangkatnya," yakin Didin.
Wardin pun segera mendekat pada istrinya, Esih. Dia terlihat meminta pada Esih untuk memberi tahu Ibu-ibu lain agar segera menyingkir dari sisi Patmi.
"Ibu-ibu, sebaiknya kita mundur sebentar. Biar Bu Patmi dibawa ke dalam rumahnya, baru kita kembali mencoba menyadarkannya," ujar Esih.
Arin, Ninis, dan Titi segera menyingkir dari sisi Patmi. Tubuh Patmi segera dibungkus dengan handuk berukuran besar yang ada di jemuran samping rumah, agar tubuhnya tidak perlu tersentuh secara langsung oleh ketiga pria paruh baya yang akan mengangkatnya. Didin, Marwan, dan Wardin pun segera mengangkat tubuhnya, setelah yakin bahwa tubuh Patmi benar-benar sudah terlindungi dengan handuk. Mereka membawanya ke dalam rumah dan membaringkannya pada salah satu sofa panjang yang ada di ruang tamu. Setelah Patmi berhasil dipindahkan ke dalam rumah, Titi segera kembali mencoba menyadarkannya bersama Ibu-ibu lain. Arin mengambilkan minyak telon yang terlihat di atas lemari dan mencoba membaui ke arah hidung Patmi. Esih dan Ninis memijat kedua kaki Patmi, agar Patmi bisa merasakan sesuatu dan segera sadar.
Didin segera keluar kembali untuk menelepon Nugraha. Nugraha jelas harus tahu soal keadaan istrinya dan segera pulang ke rumah. Marwan dan Wardin menunggu di teras. Mereka juga cemas dengan keadaan Patmi, karena belum diketahui apa penyebab sebenarnya sampai Patmi pingsan mendadak di samping sumur.
"Bu Patmi ... Bu. Ayo bangun, Bu. Bu Patmi. Bu, ayo bangun, Bu," Titi terus berusaha.
"Ya Allah, Bu Patmi kenapa sebenarnya? Kenapa susah sekali kita sadarkan dari pingsan?" tanya Arin, gelisah.
"Mungkin kecapekan, Bu Arin. Tadi Bu Patmi baru selesai mencuci. Dia tidak istirahat dulu dan langsung menimba air di sumur," jawab Esih, yang sejak tadi memang melihat semua kegiatan Patmi dari teras rumahnya.
"Kalau kecapekan, kenapa bisa langsung pingsan? Di dekat sumur 'kan ada balai bambu. Bu Patmi padahal bisa duduk-duduk dulu di situ kalau memang merasa capek," pikir Ninis.
"Nah, itu juga yang saya enggak tahu, Bu Ninis. Entah Bu Patmi memang enggak sadar kalau dirinya capek atau dia enggak sempat mau duduk di balai bambu, sampai akhirnya pingsan mendadak," balas Esih.
Arin terus membaui minyak telon pada hidung Patmi. Titi kini sedang menggosok perut dan dadanya agar hangat, setelah tadi Arin menumpahkan minyak telon di telapak tangannya.
"Bu Patmi, Bu. Ayo, Bu, bangun. Bu Patmi," panggil Titi, sambil menepuk-nepuk pipi Patmi lagi seperti tadi.
"Bu Patmi. Ayo bangun, Bu. Kami semua resah ini, Bu, kalau Bu Patmi enggak bangun-bangun," Arin ikut membantu Titi.
Kedua mata Patmi pun mengerejap perlahan tak lama kemudian. Titi, Arin, Ninis, dan Esih merasa lega ketika Patmi akhirnya sadar.
"Alhamdulillah, Ya Allah," ungkap Titi. "Pak! Bu Patmi sadar, Pak!" serunya.
Didin--yang baru saja selesai menghubungi Nugraha--segera berlari masuk ke dalam. Marwan dan Wardin pun mengikutinya, sehingga kini ketiga pria paruh baya itu ikut melihat keadaan Patmi.
"Bu Patmi. Bu Patmi kenapa? Apakah Bu Patmi kecapekan?" tanya Titi, mencoba mencari tahu.
Wajah Patmi pun mendadak kembali pucat. Ketakutan tercetak jelas di wajah itu, sehingga membuat Didin dan Marwan merasa heran.
"Bu Titi ... tolong, Bu. Jangan tinggalkan saya sendirian, Bu. Saya takut," mohon Patmi, sambil memeluk Titi dengan erat.
"Ya Allah. Istighfar, Bu Patmi. Istighfar dulu biar tenang," tuntun Titi.
"A--astagh-firullah hal 'adzim. A--astaghfirullah," lirih Patmi.
Esih memberikan air pada Patmi. Patmi pun segera meminum air tersebut hingga tandas, seakan dia sama sekali belum minum sejak pagi tadi. Setelah agak tenang, Patmi kembali menatap ke arah Titi yang masih menetap di sisinya.
"Bu Patmi kenapa? Kenapa bisa sampai pingsan?" tanya Titi lagi.
"Ta--tadi itu, sa--saya ...."
Patmi kembali terdiam.
"Tarik nafas dulu, Bu Patmi. Pelan-pelan saja ceritanya. Jangan terburu-buru," saran Marwan.
Patmi pun menarik nafasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sampai perasaannya benar-benar tenang.
"Tadi waktu saya sedang menimba air di sumur, saya sesekali melihat ke arah Bu Esih yang sedang duduk-duduk di terasnya. Kami juga saling menyapa seperti biasa, lalu saya kembali fokus menimba air. Tapi setelah saya mengalihkan tatapan dari Bu Esih ke arah seberang sumur, di situ saya melihat ada pocong yang sedang melompat-lompat mendekat ke arah saya. Pocong itu berwajah hancur dan kedua matanya bolong. Pocong itu juga senyum sangat lebar ke arah saya, sehingga saya ketakutan dan tidak bisa ke mana-mana. Terakhir yang saya ingat, pocong itu akhirnya sampai di depan saya dan hanya terpisah dengan sumur. Setelah itu saya enggak ingat apa-apa lagi," tutur Patmi.
Semua orang mendadak merasa merinding, usai mendengar cerita Patmi. Raut wajah ketakutan yang tercetak di wajah Patmi sama sekali belum hilang. Mendengar cerita Patmi mengenai pocong yang mendadak muncul di hadapannya, membuat Didin dan Marwan saling pandang satu sama lain. Keduanya merasa hal itu ada kaitannya dengan pocong yang Marwan lihat di atap rumah milik Bagja. Titi pun menoleh ke arah Didin dan Marwan, karena tahu bahwa kedua pria paruh baya itu akan segera pergi memantau rumah milik Bagja. Nugraha tiba tak lama kemudian, sehingga Patmi kini tak perlu lagi ditemani oleh para tetangga.
Titi berjalan di samping suaminya, setelah keluar dari rumah Patmi. Didin tampak sedang berpikir keras atas suatu hal, sehingga ia enggan mengusiknya.
"Ibu pulang duluan, ya. Bapak ke rumah Ayahnya Aji dulu. Kami harus memastikan sesuatu," ujar Didin.
"Iya, Pak. Ibu akan pulang dan tetap di rumah bersama Resti," tanggap Titi.
Mereka pun berpisah di persimpangan jalan. Pikiran mereka dipenuhi tanda tanya dan juga rasa penasaran.
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...