Aqeela menghela napas dalam-dalam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang semakin sulit dijawab.
Kenapa dia bisa terjerumus sejauh ini?
Dulu, dia cuma anak biasa yang nggak peduli sama permainan mereka. Tapi sekarang, dia ada di tengah-tengahnya, tanpa tahu bagaimana cara keluar.
"Apa lo bakal diem di situ terus?" suara Harry memecah keheningan.
Aqeela meliriknya tajam. "Gue masih mikir."
Harry menoleh, sudut bibirnya tertarik sedikit. "Tentang apa?"
"Semua ini," Aqeela menggerakkan tangannya ke udara, menunjukkan keseluruhan situasi. "Gue nggak ngerti kenapa gue bisa ikut-ikutan. Harusnya gue nggak pernah tahu apa-apa."
Harry menatapnya lama sebelum akhirnya bicara lagi, suaranya pelan. "Tapi lo udah tahu."
Aqeela menghela napas lagi. "Dan sekarang gue nyesel."
Untuk pertama kalinya sejak tadi, ekspresi Harry berubah sedikit. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit ditebak.
"Gue nggak pernah maksa lo buat masuk ke dalam ini," katanya akhirnya.
Aqeela tertawa kecil, tapi tanpa humor. "Nggak maksa? Lo sama Noel nyeret gue masuk sejak awal."
Harry nggak menjawab. Dia hanya menatap langit malam yang gelap, seolah mencari sesuatu di sana.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya ponsel Aqeela bergetar. Dia mengernyit, mengambilnya dari saku. Ada pesan dari Jolina.
Jolina: Qeel, lo di mana? Asrama kita kena sabotase.
Mata Aqeela membesar. "Gue harus balik."
Harry melirik ponselnya, lalu mengangguk tanpa bertanya lebih jauh.
Begitu Aqeela masuk ke dalam gedung asrama, suasana sudah kacau. Beberapa anak berkumpul di lorong, bisik-bisik panik. Jolina langsung menghampirinya dengan wajah tegang.
"Ada yang ngerusak sistem keamanan asrama," katanya buru-buru. "Beberapa kartu akses nggak bisa dipakai, terus ada suara aneh yang keluar dari speaker ruang pengawas."
Flavio juga muncul dari balik kerumunan, wajahnya nggak kalah serius. "Ini udah dikonfirmasi. Ada seseorang yang masuk ke sistem asrama kita."
Aqeela merasa perutnya menegang.
Apakah ini ulah Noel? Atau ada orang lain yang bermain di balik layar?
Tiba-tiba, alarm berbunyi di seluruh gedung. Anak-anak mulai panik, dan beberapa penjaga asrama muncul untuk menenangkan mereka.
"Semua murid akan dipulangkan sementara sampai masalah ini selesai!" suara kepala asrama terdengar lantang.
Aqeela melirik Jolina dan Flavio, mencari jawaban di wajah mereka.
Ini makin nggak masuk akal.
Dan dia benar-benar nggak mau terjebak lebih dalam lagi.
---
Beberapa jam kemudian, semua anak sudah mulai dikumpulkan di aula sekolah untuk menunggu kepulangan mereka. Aqeela duduk di sudut bersama Jolina dan Flavio, kepalanya masih dipenuhi pikiran yang berantakan.
Lalu, seseorang muncul di depan mereka.
Stephie.
"Aku bisa gabung sama kalian?" suaranya terdengar ragu, tapi ada ketakutan di matanya.
Jolina langsung menjawab sebelum Aqeela sempat berpikir. "Nggak."
Stephie kelihatan kaget. "Tapi aku—"
"Kita nggak butuh tambahan orang di sini," potong Jolina dingin. "Apalagi orang yang suka ikut campur urusan orang lain."
Stephie menggigit bibirnya, lalu menoleh ke Aqeela. "Qeel…"
Aqeela menatapnya lama. Dia bisa melihat ketakutan di wajah cewek itu, tapi dia juga nggak bisa langsung menerima Stephie masuk ke dalam lingkaran mereka.
"Lo takut karena ada yang nyabotase asrama?" tanyanya akhirnya.
Stephie mengangguk pelan. "Aku nggak tahu siapa yang ada di balik ini semua… Tapi aku nggak mau sendirian."
Jolina menghela napas panjang. "Dengar, Stephie. Kita bukan grup penyelamat yang bisa ngelindungin siapa aja. Kalau lo takut, lo bisa cari orang lain. Kita punya urusan sendiri."
Stephie terdiam, lalu akhirnya mundur dengan wajah kecewa.
Begitu dia pergi, Aqeela menatap Jolina. "Gue ngerti kenapa lo nolak, tapi lo nggak merasa kasihan?"
Jolina mendengus. "Gue lebih milih kasihan ke diri kita sendiri dulu. Kita aja masih sibuk ngurusin diri kita sendiri."
Aqeela nggak bisa membantah.
Saat itu juga, dia sadar kalau semuanya sudah berjalan terlalu jauh.
Dia nggak mau terjebak dalam permainan ini lagi.
Dan mungkin, ini saatnya dia benar-benar keluar.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...