1. Tidak Didengar, Tidak Mendengar

48 27 37
                                    

Kirana berdecak sebal ketika pintu kamarnya dibuka paksa. Baru saja ia mematikan alarm dan berniat tidur lagi, tetapi harus batal karena serangan yang sebentar lagi akan menembus gendang telinganya.

“Dasar, Anak Cewek! Mau bangun jam berapa? Apa masih kurang tidurmu, hm?”

Benar, kan? Kirana tidak merasa perlu membalas. Ia malah mengambil selimutnya dan menutup keseluruhan tubuhnya dengan benda berbulu itu. Lembut. Membuatnya enggan beranjak dari kenyamanan yang tidak bisa ia rasakan beberapa hari terakhir.

“Masih enggak mau bangun juga?”

Omelan masih berlanjut. Selimutnya ditarik paksa, Kirana mengerang tertahan, tidak terima. Lantas berbalik memunggungi sang ibu, menghadap jendela. Namun, kesalahan besar bagi Kirana karena omelan ibunya tidak hanya sampai situ. Sang ibu bergerak membuka gorden dengan gerakan cepat dan kasar. Sinar matahari seketika masuk tanpa permisi. Sebagian cahayanya mengenai wajah Kirana. Refleks, ia menutupi wajahnya dengan satu tangan.

“Silau, Ma!”

“Ini sudah jam sembilan pagi, astaga! Kamu mau tidur sampai jam berapa?”

Lagi, suaranya tidak didengar. Keluhannya diabaikan. Perasaannya tidak dianggap penting jika masih tidak sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh sang ibu. Kirana mendesah pelan. Bukannya Ranti—ibunya tahu jika ia baru pulang ke rumah pukul sebelas malam? Kirana yakin jika Ranti pasti tahu alasan di balik kepulangannya yang terlambat kemarin. Meskipun tahu, tidak bisakah ia mendapatkan toleransi kali ini saja?

“Bangun! Ayah sama adik-adikmu sudah nunggu di meja makan!” Ranti lagi-lagi menarik selimut Kirana lalu melipatnya asal. “Anak cewek itu enggak boleh bangun kesiangan. Berapa kali dibilangin? Kamu enggak malu sama mereka?”

“Enggak! Buat apa malu? Kirana masih pakai baju,” celetuk Kirana. Ia mengucek matanya. Alisnya berkerut, tanda bahwa ia kesal. Waktu tidurnya yang berharga sirna begitu saja karena omelan yang tiada habisnya.

Alih-alih membalas ucapan Kirana, Ranti hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengerjakan beberapa hal yang sebenarnya tidak perlu. Selimut dilipat asal, sampah tisu di atas meja dibuang seenaknya, begitu pun tetap berhasil masuk ke tempat sampah. Ranti pasti sengaja. Tentu tidak dengan mulut terkunci rapat, melainkan dengan omelan.

Sejenis rutinitas yang harus ada di pagi hari. Entah berapa kali lagi ia harus mendengarkan segala macam aturan yang membuatnya muak.

“Sampah itu dibuang kalau malam, biar pagi gini enggak numpuk. Lihat itu meja kerjamu, berantakan! Mau jadi apa kamu padahal udah 25 tahun? Contohlah Mama, enggak pernah bikin repot nenekmu.”

Kirana melengos malas. Mulutnya bungkam, enggan menjawab. Buat apa dijawab, memangnya?

“Kirana, kamu enggak dengar Mama?”

“Iya, Mamaku sayang.” Kirana menunjukkan deretan giginya lucu. Rambut ikalnya bergoyang pelan seiring pandangannya mengikuti langkah sang ibu.

Ranti melembut. “Kalau dengar, cepat bangun bisa, kan? Mandi yang bersih. Katanya mau berangkat kerja.”

“Kerjanya nanti, Ma. Masih tiga jam lagi.” Kirana sudah hendak rebah lagi, tetapi urung karena suara sang ibu kembali meninggi.

“Ini sudah siang, astaga!”

Mau diomeli berapa kali pun, nyawa Kirana belum terkumpul sepenuhnya. Tentu saja, ia baru bangun dari tidur yang tidak begitu nyenyak.

Kedua matanya melihat langit-langit kamar yang pucat. Pikirannya berkelana. Masalah di toko di mana terdapat barang yang hilang lagi hingga mengakibatkan dirinya pulang kerja sangat larut. Sampai rumah pun, masih harus kena semprot karena ia ketahuan melanggar jam malam yang ditetapkan oleh ibunya. Sudah begitu, ia harus membilas pakaian yang lupa masih ia rendam sebelum berangkat kerja kemarin. Alhasil, ia baru bisa merebahkan diri di atas kasurnya ketika jam menunjukkan pukul satu dini hari.

Mengejar Cinta si Biang Kerok Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang