2 | Menyampaikan Yang Terlihat

1.6K 109 31
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Didin membereskan berkas beberapa orang warga yang sedang ia tinjau. Titi--istrinya--masuk ke rumah melalui pintu belakang, karena tampaknya baru saja selesai mengambil daun singkong muda. Titi menyimpan baskom yang dibawanya, lalu mendekat dan duduk di samping Didin. Didin berhenti membereslan berkas, kemudian tersenyum ke arah Titi.

"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu terlihat kesal?" tanyanya, lembut seperti biasa.

"Itu loh, Pak, Bu Patmi," jawab Titi.

"Kenapa lagi Bu Patmi? Omongan apa lagi yang kali ini keluar dari mulut durjananya?" Didin ingin segera tahu.

Titi pun tersenyum. Ia selalu merasa senang ketika Didin menyatakan sesuatu dengan jujur seperti itu. Sejak dulu Didin tidak pernah berpura-pura tidak tahu, jika ada seseorang yang suka menyebar fitnah ataupun menjelek-jelekan orang lain. Didin akan menyebutkan keburukan orang itu secara blak-blakan, karena merasa tidak suka dengan apa yang orang tersebut lakukan kepada orang lain. Patmi kini menjadi salah satunya.

"Bu Rusna dan Pak Bagja sudah kembali ke desa kita. Mereka sekarang sedang membangun ulang rumahnya, dan ada banyak buruh bangunan yang mereka pekerjakan. Tapi Bu Patmi lagi-lagi berusaha menjelek-jelekan mereka. Dia bilang di depan Bu Fitri, Ibu, dan Bu Lisna, kalau Pak Bagja dan Bu Rusna mungkin baru saja menyuruh Nak Amira melakukan hal yang tidak-tidak, sehingga mereka kini bisa punya banyak uang. Untung saja tadi Ibunya Aji sudah lebih dulu menyampaikan di grup WhatsApp mengenai kepulangan Bu Rusna dan Pak Bagja serta keberadaan Nak Amira yang ternyata masih berlibur di kampung halaman mereka. Bahkan, Bu Rusna juga mengatakan pada Ibunya Aji soal asal-usul dana yang dipakai membangun rumah oleh Pak Bagja dan Bu Rusna, yang ternyata dana itu asalnya dari penjualan tanah milik mereka di kampung. Andai Ibunya Aji tidak mengirim pesan ke grup WhatsApp, mungkin Bu Rusna dan Pak Bagja sudah kembali menjadi bahan omongan warga gara-gara mulut kurang ajarnya Bu Patmi," tutur Titi.

Didin pun langsung menggeleng-gelengkan kepala. Ia benar-benar lelah menghadapi kelakuan Patmi. Patmi tidak pernah merasa bersalah setelah akhirnya ribut besar dengan Rusna dua minggu lalu. Patmi merasa senang jika bisa menjelek-jelekan Rusna di depan orang banyak, meski hanya beberapa warga saja yang percaya dengan ucapannya. Patmi tidak mau berhenti dan mungkin baru akan berhenti, apabila Rusna sekeluarga tidak lagi tinggal di desa itu.

"Sepertinya Bapak harus menegur Bu Patmi secara langsung. Omongannya sudah sangat keterlaluan dan harus segera kita hentikan. Kalau dia menolak untuk dihentikan, maka Bapak tidak punya pilihan lain selain melaporkannya pada pihak berwajib. Biar dia tahu, bahwa setiap perbuatan jahat itu ada akibat yang harus dia terima," ujar Didin.

"Setuju, Pak. Kita harus buat Bu Patmi jera, biar dia mulai berhenti memfitnah dan menyebar berita bohong soal Bu Rusna. Karena kalau terus dibiarkan, takutnya nanti akan ada warga lain yang mendapat perlakuan sama seperti Bu Rusna. Itu jelas bukan contoh yang baik untuk dilihat anak-anak di desa kita," dukung Titi.

"Ya sudah, kalau begitu nanti sore Bapak akan datang ke rumah Bu Patmi dan bicara langsung di depan Pak Nugraha. Biar suaminya juga tahu soal kelakuan istrinya sehari-hari. Selama ini Pak Nugraha 'kan sama sekali enggak tahu apa-apa, karena terlalu sibuk bekerja."

Ba'da dzuhur, Marwan benar-benar datang ke rumah Didin seperti yang sudah ia rencanakan. Didin tentu saja menyambutnya dengan senang hati, begitu pula dengan Titi dan Resti--anak tunggal Didin dan Titi. Marwan adalah sahabat dekat Didin sejak kecil dan satu-satunya yang selalu terbuka pada Didin ketika ada perkara berat ataupun tak masuk akal. Marwan tak pernah menyembunyikan apa pun. Dia selalu jujur, meskipun kejujurannya terkadang bisa saja membuat orang lain sedikit merasa tidak nyaman.

"Ayo duduk, Wan. Istriku lagi buat kopi di dapur," ajak Didin.

Marwan duduk di sofa ruang tamu rumah Didin. Wajahnya sama sekali tidak terlihat tenang bagi Didin. Tampaknya ada yang sedang Marwan pikirkan saat itu. Didin sangat mengenalnya, sehingga hafal dengan gerak-gerik Marwan.

"Ada hal yang harus aku katakan padamu, Din," ujar Marwan, tanpa basa-basi.

"Soal apa, Wan? Katakan saja. Insya Allah aku pasti akan mendengarkan."

Marwan terdiam sejenak. Titi keluar dari dapur dan menyajikan dua cangkir kopi ke meja ruang tamu. Setelah Titi kembali berjalan menuju dapur, barulah Marwan menatap ke arah Didin.

"Soal rumah Pak Bagja yang saat ini sedang dibangun ulang, Din."

"Rumah Pak Bagja? Memangnya ada apa dengan rumah Pak Bagja, Wan? Apakah ada yang aneh?" Didin mulai penasaran.

Titi dan Resti mendengarkan pembicaraan itu dari dapur, saat nama Bagja disebut-sebut oleh Marwan.

"Bukan lagi aneh, Din. Aku melihat dengan jelas adanya pocong yang duduk di atap rumah Pak Bagja, padahal atapnya sudah dibongkar dan hanya menyisakan kerangka. Demi Allah, Din, wajah pocong yang kulihat tadi itu hancur total dan hangus. Keberadaannya di atap itu akhirnya hilang, saat ada beberapa buruh bangunan yang kembali naik ke sana," jelas Marwan.

"Astaghfirullah hal 'adzim! Kenapa bisa ada pocong yang muncul siang hari seperti itu? Hal itu pastinya pertanda buruk, Wan. Entah pertanda buruk bagi Pak Bagja dan keluarganya, atau pertanda buruk bagi warga lain di desa kita," tanggap Didin.

"Maka dari itulah aku mau mengajakmu ke rumahku. Mari kita perhatikan sama-sama rumah Pak Bagja. Kamu dan aku sama-sama bisa melihat keberadaan makhluk halus, jadi sudah pasti kamu pun akan melihat pocong yang tadi aku lihat," ajak Marwan.

"Ya. Tentu saja aku akan ikut ke rumahmu. Sekarang, habiskan dulu kopi yang sudah Istriku buat. Jangan sisakan. Mubadzir."

Seseorang datang ke rumah Didin tak lama kemudian. Orang itu tampak berlari-lari dengan wajah cukup panik, ketika Didin dan Marwan menatapnya.

"Assalamu'alaikum, Pak RT!"

"Wa'alaikumsalam, Pak Wardin. Ada apa, Pak? Kenapa Bapak berlari-lari ke sini?" tanya Didin, setelah bangkit dari sofa yang didudukinya.

Titi dan Resti keluar dari dapur untuk melihat siapa yang baru saja datang.

"Anu, Pak RT. Itu ... tolong dulu, Pak."

"Iya, Pak Wardin. Iya. Saya akan mencoba menolong. Tapi katakan dulu siapa yang harus ditolong?" tanya Didin.

Marwan ikut memerhatikan wajah Wardin yang panik.

"Bu Patmi, Pak RT. Bu Patmi. Dia mendadak pingsan saat sedang menimba air di sumur samping rumahnya," jelas Wardin.

"Innalillahi! Bu! Cepat ikut Bapak, Bu!" panggil Didin.

Titi dan Resti pun bergegas lari dari ambang pintu dapur untuk mendekat pada Didin. Titi segera pergi bersama Didin, sementara Marwan segera merangkul Wardin karena mereka akan menyusul ke rumah Patmi.

"Nak Resti, jaga rumah dulu, ya. Paman dan Pak Wardin juga akan ke rumah Bu Patmi," pesan Marwan.

"Iya, Paman Marwan. Insya Allah aku akan tetap di rumah sampai Bapak dan Ibuku kembali," janji Resti.

"Jangan lupa kunci pintunya," tambah Marwan, sebelum keluar dari pagar.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang