- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Trak-trak-trak-trak!!! Trak-trak-trak-trak!!! Trak-trak-trak-trak!!!
Aji yang masih mengantuk langsung terbangun, ketika telinganya menangkap suara palu beradu dengan kayu. Ia berjalan menuju jendela ruang tamu setelah keluar dari kamar. Saat itu waktu baru saja menunjukkan pukul tujuh pagi, namun keadaan di seberang sudah begitu ramai dengan keberadaan para tukang yang akan merenovasi rumah kecil itu.
Rositi--Ibu Aji--keluar dari dapur dan meletakkan semangkuk sup ayam di meja makan. Aji berbalik dan menatapnya, setelah beberapa lama memerhatikan ke arah rumah di seberang.
"Bu, itu rumahnya Paman Bagja kok mendadak direnovasi, ya?" tanya Aji.
Rositi menatap sesaat ke arah Aji, lalu kembali menata isi meja makan.
"Ibu juga enggak tahu, Nak. Enggak ada pemberitahuan apa-apa dari kemarin untuk warga sekitar, meski Bapaknya Resti kemarin bicara banyak sama Ayahmu. Menurut Ibu, bahkan Bapaknya Resti pun sepertinya enggak tahu kalau rumah Pak Bagja akan direnovasi hari ini," jawab Rositi.
Septi--Adik Aji--keluar dari kamarnya setelah selesai berpakaian. Aji mendekat ke arah gadis itu, namun Septi segera menghindar sambil menekuk wajahnya.
"Jangan coba-coba rangkul aku, Mas Aji! Mas Aji belum mandi! Bau!" tegas Septi.
"Kamu tahu dari mana kalau aku bau? Memangnya kamu sudah mengendus aroma tubuhku pagi ini? Pastikan dulu, Dek, sebelum kamu menyebutku bau," saran Aji, sengaja menjahili Adik kesayangannya.
"Ogah! Mas Aji baru banget bangun tidur. Belum mandi, belum sikat gigi. Sudah pastilah masih bau. Makanya, Mas, setelah shalat subuh tuh jangan tidur lagi. Langsung mandi, biar wangi dan segar," saran Septi.
Aji pun terkekeh sambil mengacak puncak kepala Adik kesayangannya tersebut. Septi mendekat ke arah cermin yang ada di ruang tengah, untuk memastikan kalau bedak dan liptint yang dipakainya tidak terlalu tebal. Aji kini sudah berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi.
"Aku semalam begadang mengerjakan tugas kantor, Dek. Maklumlah kalau akhirnya aku tidur lagi setelah shalat subuh. Ngantuk berat aku," jelas Aji.
Trak-trak-trak-trak!!! Trak-trak-trak-trak!!! Trak-trak-trak-trak!!!
Septi tidak menanggapi penjelasan Aji. Ia lebih memilih menatap ke arah jendela depan, ketika telinganya kembali menangkap suara palu yang beradu dengan kayu. Ia segera duduk di meja makan bersama Aji, setelah pria itu keluar dari kamar mandi. Rositi bergabung dengan kedua anaknya, disusul oleh Marwan--Ayah mereka--yang baru selesai memberi makan ayam di belakang rumah. Mereka sudah siap untuk sarapan pagi itu, karena semua akan segera melakukan aktivitas pekerjaan masing-masing.
"Kamu enggak ada dengar-dengar kabar sebelumnya, Dek, dari Amira? Kok rumahnya mendadak direnovasi tanpa ada pemberitahuan pada warga sekitar?" tanya Aji.
Septi langsung menggeleng. Ia meletakkan mangkuk berisi ayam suwir sambal kemangi, setelah mengambil sedikit ke piringnya.
"Aku sudah dua minggu enggak pernah ketemu Amira, Mas. Terakhir kali aku bertemu Amira adalah ketika Ibunya bertengkar hebat dengan Bibi Patmi akibat mulut Bibi Patmi yang lost control. Entah ke mana Amira dan kedua orangtuanya pergi sejak hari itu. Ketika kembali, mendadak rumahnya langsung direnovasi," jawab Septi.
Marwan dan Rositi menatap anak-anak mereka, sambil menikmati sarapan pagi.
"Mungkin mereka sekeluarga pergi menenangkan diri ke kampung halaman. Hinaan yang diucapkan oleh Bu Patmi dua minggu lalu soal kemiskinan keluarga Pak Bagja pastinya melukai hati mereka. Maka dari itu mereka pergi selama dua minggu, agar perasaan mereka kembali tenang," ujar Rositi.
"Jangan pernah kelakuan seperti itu kalian tiru. Bu Patmi itu memang kalau bicara tidak pernah dipikir-pikir dulu. Seenaknya saja menghina orang. Padahal dia 'kan tidak tahu apa-apa soal keadaan keluarga Pak Bagja yang sesungguhnya. Siapa tahu Pak Bagja sebenarnya tidak semiskin yang terlihat. Siapa tahu dia hanya ingin menjalani hidup yang biasa-biasa saja, padahal di kampung halamannya dia punya banyak tanah yang bisa dijual kapan pun. Jahat sekali itu mulutnya Bu Patmi," ungkap Marwan, diiringi rasa kesal yang sama sekali tidak berusaha dia tutupi.
"Makanya Ibu langsung memeluk Bu Rusna, waktu Bu Patmi mengata-ngatai keluarga mereka miskin. Ibu ikutan sakit hati waktu mendengar dia bicara begitu. Sayangnya, Ibu cuma bisa menenangkan Bu Rusna sambil menangis. Ibu enggak bisa membuat Bu Patmi berhenti bicara kasar," sesal Rositi.
Septi langsung mengusap lembut pundak Ibunya untuk menenangkan. Aji sesekali kembali menatap jendela depan, untuk melihat para buruh bangunan yang sepertinya sangat sibuk di seberang jalan sana.
"Banyak sekali buruh bangunan yang bekerja di rumah Pak Bagja. Biasanya kalau hanya renovasi, seharusnya tidak perlu memakai buruh bangunan sebanyak itu, 'kan?" heran Aji.
"Mungkin Pak Bagja ingin renovasi rumahnya cepat selesai, Nak. Kalau terlalu lama renovasinya selesai, maka mereka akan membuang lebih banyak uang untuk biaya tak terduga. Kalau lebih cepat selesai renovasinya, maka mereka bisa menghemat pengeluaran," ujar Marwan.
Setelah selesai sarapan, Septi langsung berpamitan untuk berangkat kerja. Aji sendiri baru akan mandi, karena hari itu ia mendapat jam kerja siang. Marwan kembali ke kebun di belakang rumah untuk mengurus sayur-mayur yang tak lama lagi akan panen. Rositi kembali mengurus dapur, karena masih banyak alat masak yang belum ia cuci.
Aji mematut dirinya di depan cermin, setelah selesai mandi. Ia memakai kemeja berwarna biru turquoise dan memadukannya dengan celana kain berwarna abu-abu tua. Sesekali netranya melirik ke arah jendela kamar yang terbuka, karena dari jendela itu ia bisa melihat bagian samping rumah orangtua Amira yang sedang direnovasi. Entah kenapa pandangannya sulit sekali diajak bekerja sama pagi itu, sehingga berulang kali terus saja melirik ke arah sana.
Setelah selesai berpakaian dan menyisir rambut agar rapi, Aji pun berbalik untuk meraih tas kerjanya yang tergantung di tembok dekat jendela. Sekilas, ia tak sengaja melihat sesosok pocong yang sedang melompat-lompat di samping rumah orangtua Amira. Namun ketika ia akan meyakinkan kembali penglihatannya, pocong yang ia lihat tadi sudah tidak ada di sana dan melintaslah beberapa orang buruh bangunan sambil membawa kayu.
Aji merasa yakin kalau dirinya tadi tidak salah lihat. Ia sudah terbiasa melihat hal-hal tak biasa, sehingga tahu bedanya antara ilusi dan keberadaan nyata makhluk-makhluk halus di sekitarnya.
"Tadi itu benar-benar ada pocong di samping rumah Pak Bagja. Enggak mungkin aku salah lihat. Hanya saja ... kenapa mendadak ada pocong yang muncul di sana? Kenapa munculnya bertepatan dengan renovasi rumah Pak Bagja?" tanya Aji, bergumam sendiri.
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...