Aqeela menarik napas panjang. Dalam situasi seperti ini, dia tidak pernah benar-benar tahu siapa yang harus dipercaya-Harry atau Noel. Keduanya punya cara bermain yang berbeda, tapi sama-sama licik.
"Jadi, lo mau kasih 'peringatan' ke Stephie?" Aqeela akhirnya bicara, tatapannya tajam ke Noel. "Lo pikir dia bakal gampang takut?"
Noel tersenyum miring. "Bukan soal takut. Tapi soal tahu tempat."
Harry masih bersandar di pagar balkon, ekspresinya tenang seperti biasa. "Kalau dia cukup pintar, dia bakal ngerti pesan kita."
Aqeela menyilangkan tangan di dada. "Dan kalau nggak?"
Noel meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Harry. "Ya, berarti kita harus bikin dia ngerti."
Aqeela merasakan sesuatu yang tidak nyaman menjalar di dadanya. Noel memang bukan tipe yang main tangan, tapi dia juga bukan orang yang ragu-ragu untuk menekan seseorang sampai orang itu nyaris nggak punya pilihan selain mengikuti permainannya.
"Gue nggak setuju," Aqeela akhirnya berkata.
Harry menatapnya, seakan menimbang sesuatu. "Kenapa?"
"Karena ini bisa jadi lebih rumit dari yang kita kira." Aqeela melirik Noel. "Lo tahu gimana caranya orang-orang kayak Stephie bertahan di lingkungan ini? Mereka nggak bisa diintimidasi, Noel. Mereka cuma butuh satu kesempatan buat berbalik menyerang."
Noel mengangkat alis, seakan tertarik dengan pemikiran itu. "Jadi, lo bilang kita biarin dia aja?"
"Bukan. Gue bilang kita harus pakai cara lain."
Harry akhirnya berdiri tegak, menyelipkan tangan ke saku celananya. "Oke. Lo punya rencana?"
Aqeela menghela napas. "Gue yang bakal urus Stephie. Tanpa ancaman, tanpa peringatan. Kalau lo berdua yang turun tangan, ini bakal kelihatan kayak skema intimidasi klasik."
Noel mendecak, tapi tidak membantah. "Dan lo yakin dia bakal dengerin lo?"
"Dia nggak punya pilihan lain." Aqeela menatap keduanya dengan penuh keyakinan. "Percaya sama gue."
Sejenak, tidak ada yang bicara.
Noel dan Harry saling bertukar pandang sebelum akhirnya Noel mengangkat bahu. "Fine. Gue kasih lo waktu."
Harry mengangguk. "Kita lihat sejauh mana lo bisa nge-handle ini."
Aqeela menghela napas lega, meskipun dalam hatinya, dia tahu ini baru awal dari badai yang lebih besar.
Karena di permainan ini, tidak ada yang benar-benar menang.
Yang ada hanya mereka yang bertahan lebih lama.
------
Malam itu, Aqeela tidak bisa tidur.
Pikirannya masih berputar pada percakapan di balkon, pada cara Noel dan Harry saling mengukur satu sama lain, seolah mereka sedang bermain catur dengan pion yang lebih besar dari sekadar harga diri.
Dan kini, Stephie ada di dalam permainan itu.
Aqeela menatap langit-langit kamar asramanya, lalu beranjak dari tempat tidur. Pikirannya terlalu berisik untuk tetap diam. Dia meraih jaket, menyelinap keluar kamar, dan berjalan ke arah dapur bersama yang berada di lantai bawah.
Tapi saat dia sampai di sana, dia mendapati sesuatu yang tidak dia harapkan.
Atau lebih tepatnya-seseorang.
Stephie.
Cewek itu duduk di salah satu meja, tangannya menggenggam cangkir berisi teh hangat, wajahnya tampak sedikit pucat di bawah cahaya lampu neon.
Aqeela mengerutkan kening, lalu berjalan mendekat. "Lo belum tidur?"
Stephie tersentak, jelas tidak menyangka ada orang lain di dapur. Dia menatap Aqeela dengan ekspresi yang sulit ditebak-antara waspada dan ragu-ragu.
"A-aku..." Stephie menelan ludah. "Aku cuma... nggak bisa tidur."
Aqeela menarik kursi di seberangnya, duduk tanpa meminta izin. "Lo kelihatan panik tadi."
Stephie tidak langsung menjawab. Dia hanya menunduk, menatap isi cangkirnya seakan bisa menemukan jawaban di sana.
"Apa mereka ngancem lo?"
Stephie mendongak cepat, ekspresinya terkejut. "Apa?"
Aqeela menatapnya tajam. "Noel dan Harry. Apa mereka ngancem lo?"
Stephie menggeleng cepat. "Nggak! Nggak, mereka nggak... Mereka nggak bilang apa-apa."
"Tapi lo takut."
Stephie menggigit bibirnya. "Aku cuma... aku nggak ngerti kenapa kalian bertiga ada di balkon tadi."
Aqeela menghela napas. "Dengerin, Stephie. Gue nggak tahu apa yang lo pikirin tentang gue, Noel, atau Harry. Tapi satu hal yang harus lo pahamin..." Aqeela mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap langsung ke mata cewek itu.
"Jangan masuk ke dalam sesuatu yang lo nggak ngerti."
Stephie menegang. "Apa maksud kamu?"
Aqeela mengangkat bahu. "Lo anak baru di sini. Lo belum tahu gimana cara kerja tempat ini. Dan percayalah, semakin lo coba cari tahu, semakin lo bakal nyesel."
Stephie menatapnya lama, seolah mencoba membaca niat Aqeela.
"Jadi... aku harus pura-pura nggak lihat apa-apa?"
Aqeela mengangkat alis. "Terserah lo. Tapi kalau lo masih punya insting bertahan hidup, lo tahu mana yang lebih baik."
Stephie menggigit bibirnya lagi, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Oke... Aku nggak akan ngomong ke siapa-siapa."
Aqeela tersenyum tipis, lalu berdiri. "Pintar."
Tapi saat dia berbalik, suara Stephie menghentikannya.
"Aqeela."
Aqeela menoleh. "Apa?"
Stephie menatapnya dengan ragu. "Aku cuma mau bilang... aku nggak sebodoh itu."
Aqeela menyipitkan mata. "Maksud lo?"
Stephie menghela napas. "Aku tahu ada sesuatu yang kalian sembunyikan. Dan aku tahu ini bukan cuma tentang aturan balkon."
Aqeela diam.
"Jadi, kalau aku diem... bukan karena aku takut." Stephie menatapnya lekat. "Tapi karena aku mau tahu lebih banyak."
Untuk pertama kalinya malam ini, Aqeela merasakan sesuatu yang lebih berat dari sekadar ketegangan.
Rasa tidak nyaman.
Karena Stephie bukan hanya sekadar pion dalam permainan ini.
Dia adalah seseorang yang mungkin akan mengubah cara permainan ini dimainkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...