"Raka, jawab Ayah. Ayah gak percaya kalo Kay cuma kecapean. Dia pasti dibully, kamu yang bully—" ucapan Bastian dipotong oleh Kay.
"Ayah, bukan Kakak!" sentak anak itu menatap tajam Ayahnya. Aura yang dikeluarkan Kay benar-benar sangat gelap.
Sementara Raka enggan mengeluarkan suaranya, ia hanya menampilkan ekspresi lempeng dan tak peduli. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hatinya berdenyut sakit, siapa yang tidak sakit hati ketika dituduh oleh keluarga sendiri?
Sejak dari dulu keluarganya memang tidak pernah memikirkan perasaannya. Tolong, jangan salahkan dia bahwa dahulu ia sangat jahat. Ia hanya seorang anak kecil yang juga butuh perhatian, hingga perlahan-lahan sikap egois muncul dari dirinya.
Ah, Raka tidak boleh egois lagi. Ia sudah bertekad untuk tidak memikirkan kasih sayang dari keluarganya lagi, bukan? Tidak, ia tidak boleh menangis sekarang. Ia kan laki-laki sekaligus abang, ia tidak boleh terlihat lemah.
"Tadi Kakak yang nyelamatin aku, dia gendong aku dari toilet sampai UKS," ujar Kay.
Mereka semua terdiam. Apakah yang dikatakan si bungsu itu benar? Evan yang mendengarnya justru mematung, jarak toilet dan UKS sangat jauh, bahkan harus berbelok-belok koridor dulu. Sangat sulit dipercaya Raka yang melakukannya.
Raka menggenggam erat tangan abang keduanya. Ivan yang peka lantas membawa Raka keluar dari sana segera.
Bastian menoleh cepat pada Raka. Entah ia salah lihat atau bukan, ada setetes air mata yang jatuh dari mata anak keempatnya itu.
"Sial, aku membuat kesalahan!"
•••
"Ivan, mau pulang," Raka melepas tautan tangannya, ia mendongak melihat wajah abangnya. Shit, abangnya sangat tampan, ia jadi iri, sedikit.
Ivan menatap balik Raka. "Panggil aku Abang, Raka."
Raka memalingkan muka, ia bersidekap dada. Sebagai jawaban Raka hanya mendengus.
"Raka, ayo panggil abang."
"Ivan lebih bagus," jawab anak itu tanpa ekspresi.
"Abang!" paksa Ivan mengernyitkan keningnya.
Tanpa diduga Raka menjentikkan jarinya, ia tersenyum tipis. "Ipan!"
Sementara yang lebih tua menghela napas, adiknya benar-benar kurang ajar. Ia mengacak rambut Raka. "Nakal!"
"Ipan jangan marah-marah, nanti cepet mati."
Lagi, Ivan mengacak rambut anak di depannya ini. Namun sekarang lebih brutal. "Ihh.. kamu ya!"
"Mau permen."
"Beli sendiri sana!" jawab Ivan asal, niatnya sih ingin bercanda. Tapi adiknya itu malah langsung nyelonong pergi tanpa dirinya.
"Raka, tungguin abang!"
Raka menoleh ke belakang. Ia kesal, tadi disuruh beli sendiri, kenapa malah situ ikut juga sih? Dengan langkah lebar Raka berlari.
"Tolong, ada guguk ngejar!"
•••
Malam ini, Ivan dan Raka duduk di bangku taman di depan mansion. Mereka menatap puluhan bintang-bintang yang berkumpul di atas sana.
Ivan melirik adiknya dari samping. Wajah anak itu terlihat lucu seperti sedang memikirkan sesuatu. Ivan jadi bingung + gemas dibuatnya.
"Raka," panggil Ivan.
"Eum?" jawab anak itu masih fokus pada bintang-bintang yang di atas.
"Mikirin apa, sih? Wajahnya serius banget?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!