guys, ngasi tau dulu kalo perhitungan aku untuk cerita ini sama cerita meysi ternyata beda wkwk. di sana meysi sama adeknya beda 10 tahun, tp di sini beda 14 tahun wkwkwk maapiiinnn atas kurangnya ingatan ak ini, mau aku ganti tp kagok jd y yaudah kita baca aja ya😭
o0o
Suasana di ruangan bercat putih itu sangat mengharukan, Izora terbaring lemah tak sadarkan diri, sedangkan Azra duduk di sebelahnya dengan air mata yang terus menerus ke luar dari matanya.
"Mas, ayo bayinya harus diadzani dulu." Suara Ibu terdengar membuat Azra buru-buru menghapus air matanya.
Azra berjalan ke sisi lain, di mana dua bayi berjenis kelamin laki-laki itu sedang berusaha membuka matanya.
"Ayah, kok wajah mereka terlihat seperti monyet, ya?"
Azra yang masih menangis itu terkekeh. Orang yang mengatakan kalimat tadi adalah remaja berusia 14 tahun yang kini sedang berdiri di sebelah incubator karena berat badan adiknya yang kurang, dia adalah Meysi.
"Itu karena baru lahir, Mey. Nanti juga berubah jadi ganteng kayak Ayah," jelas Azra sambil membawa satu anak yang lahir lebih dulu ke gendongannya. Air mata kembali tidak terbendung ketika kalimat adzan mulai dikumandangkan dari bibirnya, akhirnya, Azra bisa mengadzani anaknya ...
Akhirnya juga, Azra bisa menemani dan melihat bagaimana perjuangan Izora ketika melahirkan anak-anaknya ke dunia. Mengingat hal itu, Azra malah semakin menangis.
Meysi yang berdiri di sebelah Azra mengusap-usap punggungnya sambil sesekali menghapus air mata di pipinya yang juga keluar karena sedih melihat ayahnya yang menangis sejak tadi.
Setelah selesai mengadzani, Azra kembali menyimpan manusia-manusia yang belum memilki nama itu. Dia melirik Meysi dan tersenyum. Membawa anak gadisnya ke pelukan. Azra tiba-tiba membayangkan bagaimana Meysi yang dulu masih sekecil ini hanya hidup dengan Izora dan yang mengadzaninya adalah kakeknya.
"Ayah jangan nangis gitu, aku jadi ikutan sedih." Meysi mendongak memperhatikan wajah ayahnya.
Azra tersenyum dan tiba-tiba mengecup dahi Meyi lama. "Love you, Meyyy."
"Love you to, Ayah."
Interaksi kedua orang itu membuat Ibu dan Mama yang ada di sana tersenyum. "Oma, Bunda kapan sadarnya?"
Mama Izora melirik jam tangan. "Kata dokter sih setengah jam dari sekarang tapi bisa lebih cepet atau lebih lama. Mey mau ke luar dulu?"
Meysi menggeleng. "Gak mau, Oma. Aku mau nunggu Bunda sadar dulu," jawab Meysi sambil mendekat dan duduk di pangkuan Azra yang sedang menggengam tangan Izora karena di sana hanya ada satu kursi saja sedangkan nenek-neneknya tengah duduk di sofa yang ada di ruangan vip itu.
"Aduh berat banget kamu, Mey," canda Azra membuat Meysi mendengus kesal.
"Aku cuma tiga puluh sembilan kilo loh, Ayah. Ayah ngatain aku gendut? Aku bilangin Bunda loh kalau Ayah ngehina aku." Meysi menatap Azra kesal tapi tak juga turun dari pangkuannya.
Azra terkekeh. "Iya, bohong. Mey gak gendut kok. Mey, adeknya mau dinamain siapa?"
"Siapa, ya?" Meysi berpikir sebentar. "Wowo sama Wiwi aja, Ayah."
"Jangan dong, nanti hukum kita ditabrak-tabrak."
Meysi tertawa mendengarnya. "Yaudah Ayah namain aja sendiri. Ayah, Ayah, Tante Hawa kapan ke sini?"
"Nanti ketemu di rumah aja, katanya." Meysi yang mendengar itu mencebik langsung dan Azra langsung paham maksudnya. "Kalau mau ketemu Iyo, kamu ke sana aja. Nginep di kamar Cici."

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...