Bab 3

51.8K 4.1K 91
                                        

Raka tidak tahu Ivan akan mengajaknya kemana. Selama perjalanan, dia hanya diam tanpa berniat bertanya pada Kakaknya, sementara Ivan juga diam, kadang melirik-lirik Raka yang berjalan di sampingnya. Tadi ia tidak sadar bahwa berjalan di lorong kelas adiknya, karena penasaran Ivan mengintip kelas Raka dan menemukan anak itu sedang bersama seorang.

Menuruti kata hatinya, Ivan masuk dan mengajak sang adik untuk ke kantin bersama. Mungkin biasanya adiknya itu yang akan lebih dulu ke kelasnya atau menghampiri Ivan dengan teman-teman di kantin. Namun, sejak dua menit setelah bel istirahat berbunyi barang sedikit pun adiknya tak keliatan.

Raka berhenti saat mereka sudah sampai di mulut kantin. Matanya memandang ramainya manusia di sana, Raka jadi sedikit sesak. Ingin sekali ia mengenyahkan semuanya, tapi Raka malas melakukannya. Dan ini juga salahnya sendiri kenapa mau-mau saja di ajak ke sini.

Ivan menggenggam tangan adiknya, membuat Raka mengernyit heran. "Lepas," kata anak itu tak mau disentuh.

"Nanti ilang," jawab asal Ivan dan langsung mendudukkan Raka di salah satu kursi, teman-temannya juga sudah berkumpul di sana.

Fito-cowok bertindik itu mengangkat alisnya. "Van, lo sama dia ke sini?" tanyanya, tak biasanya Ivan mengajak adik keduanya itu. Sebagai jawaban, Ivan hanya mengangguk.

Evan yang tadi sibuk bermain handphone kini menatap Ivan. Namun, saat dirinya beralih pada Raka tatapannya terkunci. Evan diam memandangi anak yang nakal dan manja itu. Ia teringat soal kejadian tadi pagi, di mana Raka yang langsung pergi saat sumber penyebab alerginya tersaji di meja makan.

Tanpa sadar Evan menyodorkan sepiring nasi goreng yang baru datang pada Raka. "Makan," katanya.

Raka menatap Kakak ketiganya itu. Kemudian menduduk melihat nasi goreng yang belum disentuh sama sekali. "Nanti dapat apa?"

"Dapat kenyang lah!" balas Fito sewot, masa begitu saja tidak tahu?

"Gak lapar," kata Raka menjauhkan nasi gorengnya.

Evan terlihat linglung sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Dapat uang," tawarnya asal. Tidak mungkin bukan Raka langsung tertarik dengan iming-iming uang? Dia tahu adiknya tidak terlalu memperdulikan soal uang-

Raka menarik nasi gorengnya kembali. Eh?

Evan diam saat melihat Raka hanya memakan sebutir nasi. "Udah," Anak itu kembali menjauhkannya.

Lantas, Evan tertawa dalam hati. Ia tahu maksudnya sekarang. "Satu butir nasi, seratus ribu," katanya membuat teman-temannya cengo di tempat.

Raka tersenyum tipis. Kakaknya peka juga.

Sekarang Raka tahu yang diinginkannya apa. Uang!

Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Raka menatap Ivan yang di sampingnya. Tidak, tidak. Ia bukan menatap Ivan tapi makanannya.

Ivan menoleh. "Mau?" tawarnya menyodorkan semangkuk bakso yang diterima baik oleh Raka.

"Raka, kenapa Ivan gak dimintai uang juga kaya si Evan?" tanya salah satu temannya si kembar, Elon namanya.

"Karena dia Ivan."

•••

Raka berjalan sendirian di koridor, sebenarnya dia hanya ingin ke toilet. Namun, langkahnya harus terhenti saat mendengar suara keributan dari dalam toilet.

Ia mendekatkan telinganya pada pintu kamar mandi yang tertutup itu.

"Lemah!"

"Dasar penyakitan, pantes aja Raka gak suka sama lo!"

"Coba kita ajak Raka tadi, pasti lebih seru."

Raka mengernyitkan dahinya. Kenapa namanya disebut-sebut? Dia semakin kebingungan saat mendengar suara ringisan dan pukulan dari dalam kamar mandi.

Kay. Nama itu terlintas dipikiran Raka. Apa jangan-jangan adiknya itu yang di dalam? Tidak, Raka tidak bisa membiarkannya. Ia harus menyelamatkan Kay!

Membuka kasar pintu kamar mandi, Raka langsung menerobos masuk. Ia membelalak saat melihat tiga orang di sana. Satu berdiri dengan tatapan tajam, dan satu memegangi tangan anak yang terduduk seolah korban di sini. Apalagi wajah anak yang terduduk itu sudah lebam dengan napas terengah-engah.

"Kay!" seru Raka membuat ketiganya menoleh serentak padanya.

"Wow, Raka. Kebetulan nih kita lagi ngasih dia pelajaran, lo mau ikut?" Andi berkata dengan nada sombong.

Raka terdiam sejenak, kemudian berucap. "Kalian tadi dicari ketos."

Andi dan Pian memandang Raka bingung. "Loh kok bisa? Dia tahu soal ini?"

"Ada yang lihat kalian, terus lapor," jawab Raka sedikit melirik pada adiknya yang sudah lemah tak berdaya. Ingin sekali dia menghajar dua orang di depannya ini. Namun, untuk sekarang tidak dulu.

"Cepet kabur, soal Kay biar aku yang urus," kata Raka.

Andi dan Pian saling lirik sejenak, kemudian mengangguk. Mereka menepuk pundak Raka pelan. "Oke, lo urus dia." Setelah itu mereka langsung keluar.

Setelah Andi dan Pian tidak ada lagi, segera Raka mendekati Kay. Kay berpikir, apakah Kakaknya akan memukulnya juga? Dia menutup matanya menunggu apa yang dilakukan Raka padanya.

Namun saat sebuah sentuhan pada ujung bibirnya, Kay membuka kembali matanya. Ia tersentak ketika Raka tepat di hadapannya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Ini berdarah," celetuk Raka menatap wajah Adiknya. Adiknya pasti kesakitan, Raka harus membawanya ke UKS sekarang juga.

Kay loading sebentar saat Raka berjongkok dan menyuruhnya naik ke punggung kecil itu. Dia tidak yakin kalau itu kuat untuk menampung berat badannya.

"Kak—" Kay terdiam saat Raka memotong ucapannya.

"Kamu berdarah, nanti darahnya habis. Cepet naik." Ia keukeuh untuk sang adik naik ke punggungnya. Padahal darah yang keluar dari Kay hanya dari bibir dan telapak tangannya. Itupun sangat sedikit.

Mau tidak mau Kay naik ke punggung Raka, ia mengalungkan tangannya pada leher Kakaknya itu.

Sekuat tenaga Raka membawa Kay keluar, bisa dilihat bahwa anak itu cukup kesusahan saat berjalan di koridor. Kemungkinan ada dua, karena Kay yang berat atau badan Raka yang kecil. Bahkan mungkin lebih tinggi Kay daripada Raka.

Sementara Kay mencoba mengatur napasnya yang sedikit tak teratur. Meskipun ia tak menyangka bahwa Kakaknya dengan suka rela menyumbang punggung untuk dirinya mendapatkan perawatan.

•••

"Astaga, Nak. Kenapa kamu jadi kaya gini?" Gisel masuk ke ruangan UKS di mana anak bungsunya berada. Dia dan suami tadi ditelpon pihak sekolah bahwa anaknya tengah sakit dan hampir pingsan. Tanpa berlama-lama lagi, Gisel, suami dan sulung langsung ke sekolah untuk menjemput bungsu mereka.

Di ruangan UKS saat ini sudah ada si kembar ditambah Raka yang berdiri dekat dengan Ivan.

Kay menoleh pada orangtuanya, ia tersenyum tipis. "Gak papa, aku cuma kecapean doang," katanya berbohong, padahal dengan lebam dan ujung bibir yang sobek orang bodoh mana yang mempercayainya?

Bastian menoleh pada Raka, ia menyipitkan matanya curiga pada anak keempatnya itu.

"Raka, bukan kamu yang bully Kay, kan?"

Mendengar itu, Raka tersenyum tipis.














Stss.. jangan lupa vote sama komennya!

Raka Alandra (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang