"Tiba-tiba pulang? Apa terjadi masalah disana?"
Vinscho menatap papinya yang bertanya, dalam sekian detik, bola matanya melirik tepat pada adiknya yang sedang duduk dimeja makan diruangan sana. Terlihat juga disampingnya terdapat sang mami yang sedang menata makanan dengan sesekali mengajak berbicara sang adik, Zeylan.
"Yahh tidak ada. Hanya merindukan suasana di negeri ini saja."
"Apa kamu berbicara seperti itu dengan yakin, heh?" Tanya Luzinors mencela. Wajahnya yang masih terlihat tegas walau sudah termakan usia itu tersenyum miring. Rokok yang masih setengah itu dihisapnya. Sisanya ia letakkan pada cetakkan yang ada pada pinggiran asbak. Sang istri tercinta sudah memanggilnya. Mengatakan bahwa makan malam sudah selesai disajikan dan siap disantap.
Luzinors juga Vinscho berjalan berdampingan, menuju keruangan makan. "Papi tau maksud kedatanganmu kemari. Tidak usah berbuat macam-macam jika tidak mau dibenci oleh adikmu."
"Cepatlah duduk. Zey anakku tersayang sudah kelaparan."
Kalyan terkejut. Merasa sedari tadi dia diam saja. Bahkan dia hanya berbicara ketika maminya itu mengajaknya bicara duluan. Tadi juga niatnya ia ingin membantu maminya itu, ya setidaknya mengangkat makanan untuk diletakkan dimeja makan. Tapi bahkan dirinya sangat dilarang menyentuh. Bukan karena takut dia merusuh, tetapi memang keinginan Rosetta membuat Zeylan itu duduk manis saja dengan baik.
"Hey dik," Kalyan menoleh pada Vinscho, kakaknya. "Makanlah sayur ini yang banyak agar tubuhmu tetap sehat. Kamu tau kan, kakak sangat tidak menyukai jika mendengar kabar bahwa kamu jatuh sakit." Lanjutnya dengan menyendokkan beragam sayur pada piringnya.
"Kakakmu benar. Lagipula sejak kapan kamu menghindari sayur?" Tanya Luzinors disaat melihat anak terakhirnya yang hanya mengambil nasi dengan ayam saja. Padahal sedari anak itu kecil selalu meminta pada istrinya untuk dimasakkan sayur kesukaannya. Apa karena sudah tidak tinggal bareng maka kebiasaan anak itu berubah?
Raut wajah Kalyan berubah. Terlihat tatapan tidak suka saat melihat makanan hijau itu di piringnya. Ia memundurkan piring miliknya sedikit kebelakang. "Ahh aku tidak mau memakannya."
Rosetta mengkerut kan dahinya heran. Diletakkannya kembali piring itu mendekat pada pemiliknya, "Kok tidak mau, Zey? Ini kan sayur kesukaan kamu sayang. Dimakan ya."
Lagi-lagi ia menggelengkan kepalanya. Dimundurkan nya kembali piring itu. Tetapi sebuah tangan besar menahannya, ditariknya piring itu kembali mendekat padanya. Kalyan menoleh kesamping. Menatap tepat pada kakaknya, Vinscho, yang juga ikut menatapnya tajam.
"Dimakan, Zeylan. Mami sudah memasak nya susah payah." Ucapnya dengan nada yang terdengar menekan.
"Ck, sudah kubilang aku tidak mau. Bukannya aku tidak menghargai mami, tapi aku tidak suka say– uhmrghh!"
Vinscho tersenyum manis. Tangan kanannya yang memegang sendok baru saja menyuapkan sesuap nasi dengan sayur itu dengan paksa pada mulut kecil adiknya pun diletakkan kembali diatas piring. Lalu diusapnya pucuk kepala Zeylan dengan sayang. Wajahnya yang masih tersenyum itu menatap tepat pada raut wajah adiknya yang kentara sekali tidak begitu menyukainya.
Sedangkan Kalyan rasanya ingin menangis. Betapa tidak menyukai nya ia pada makanan hijau yang sekarang ini berada didalam mulutnya.
"Telanlah, jangan dimuntahkan." Ucap Vinscho masih dengan tersenyum. Menyiratkan rasa akan perintah yang tidak suka ditolak.
Mau tidak mau Kalyan menelannya dengan susah payah. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin pulang saja kerumahnya. Kenapa sih om Zeylan nih harus suka sayur?! Kenapa sangat bertolak belakang dengan dirinya yang sangat teramat tidak menyukai sayur ini.
"Adik pintar."
•—•
Nio mendorong pintu masuk pada rumahnya, lalu menutupnya kembali. Ia baru saja pulang pada jam segini dikarenakan sepulang sekolah ia langsung pergi bermain bersama teman-temannya. Bermain pada salah satu rumah mereka sampai dirinya lupa waktu. Saat kakinya melangkah yang dirasakannya hanyalah kesunyian. Sudah biasa. Sedari dia kecil pun memang sudah begini. Tidak perlu ada yang diherankan.
Tapi entah kenapa, rasanya hatinya menginginkan sesuatu. Dalam lubuk hatinya yang terdalam ia menginginkan sosok pria yang dibencinya itu menungguinya disofa ruangan sana sembari menyetel tv dengan tontonan yang kekanakan, sama seperti pada satu malam disaat itu.
"Cepatlah bersihkan badanmu."
Nio melongok pada meja makan yang sudah terisi oleh kedua abangnya. Pada kursi yang biasa diduduki oleh ayahnya kosong. Apa pria itu makan dikamarnya lagi? Ah sudahlah, apa pedulinya memang.
"Hmm."
Kakinya membawanya melangkah menaiki undakan tangga satu persatu. Memasuki kamarnya dan membersihkan seluruh tubuhnya. Setelah selesai dengan pakaian santainya, Nio lekas keluar kamar. Langkahnya yang ingin membawanya turun kebawah itu terhenti. Ia terdiam sesaat dan berbalik arah. Berjalan dengan pelan menuju pada pintu kamar yang tak jauh darinya. Pintu itu tertutup rapat. Tangannya menyentuh handle pintu, menariknya kebawah perlahan tetapi tidak jadi.
"Apa tuan muda mencari tuan Zeylan?"
Dengan terkejut Nio berbalik badan. Dilihatnya Bima yang berdiri dihadapannya. Ia menjadi gugup, bingung mau menjawab apa.
Bima yang melihat keterdiaman tuan terakhirnya itu pun paham. Lekas ia memberitahukan nya. "Saat ini ayah anda sedang tidak berada dirumah tuan muda."
"Kemana?" Tanyanya secara reflek. Tangannya menepuk mulutnya karena baru saja mengeluarkan kata yang tak seharusnya ia pertanyakan.
"Tuan Zeylan mengatakan kepada saya, bahwa ia sedang ada urusan dimansion utama."
Tanpa perlu bertanya pun Nio paham. Dimana mansion utama itu. Tanpa merespon, Nio lekas pergi meninggalkan asisten ayahnya.
"Oh ya tuan."
Berhenti.
"Sepertinya besok kita akan kedatangan tamu. Maaf saya lupa mengatakan kepada tuan-tuan sekalian, bahwasanya tuan Vinscho sekarang sudah kembali berada dinegara ini. Kemungkinan tuan Zeylan kembali pulang akan bersama tuan Vinscho."
Ah, sialan. Pria menyebalkan itu kenapa bisa ada disini.
—a y a h—

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah?
FantasyMenjadi seorang ayah? Tiba-tiba banget nih? Cover by pinterest. + ke perpustakaan Jangan lupa ☆ and 💬