16. HARQEEL

6.2K 329 3
                                        

Angin malam menghembus pelan di balkon asrama SMA Tirta Persada, membawa hawa dingin yang tidak hanya menyentuh kulit, tapi juga menembus jauh ke dalam pikiran Aqeela.

Harry dan Noel masih saling berhadapan, seperti dua ekor serigala yang mengukur kekuatan lawannya sebelum menerkam.

Aqeela tahu, ini lebih dari sekadar pertarungan ego. Ini bukan hanya tentang siapa yang lebih dominan.

Ini tentang siapa yang lebih mengerti permainan.

Dan dalam permainan ini, yang kalah bukan hanya kehilangan harga diri—tapi juga kendali atas hidupnya.

"Apa yang lo mau, Noel?" suara Aqeela akhirnya pecah di antara ketegangan itu.

Noel menoleh padanya, sorot matanya lebih dalam dari biasanya. "Gue cuma ngobrol sama lo. Seperti yang biasa kita lakuin dulu."

Dulu.

Kata itu menamparnya lebih keras daripada seharusnya.

Dulu, ketika Aqeela masih percaya bahwa Noel hanyalah sekadar pria misterius yang sedikit posesif.
Dulu, sebelum dia tahu bahwa dia bukan hanya cowok biasa, tapi seseorang yang selalu selangkah lebih maju, yang tidak pernah kehilangan kendali—kecuali ketika berhadapan dengan satu orang:

Harry.

"Apa lo selalu pakai alasan nostalgia buat bikin orang merasa nyaman sebelum lo hancurin mereka?" suara Harry terdengar tenang, tapi tajam.

Noel tertawa kecil, langkahnya mundur satu kali sebelum akhirnya memasukkan tangannya ke saku celana. "Lo selalu berasumsi, Har. Gue cuma bicara. Lo yang terlalu reaktif."

Tatapan Harry tetap dingin. "Gue tahu lo, Noel. Lo nggak pernah bicara tanpa tujuan."

Noel tersenyum miring, lalu mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi bukan berarti gue satu-satunya yang bermain dalam game ini."

Sebuah peringatan terselubung.

Sesuatu dalam perut Aqeela menegang.

Apa yang Noel tahu?
Apa yang Harry sembunyikan darinya?
Dan yang lebih penting—apa yang mereka berdua sembunyikan darinya?

Tapi sebelum Aqeela bisa bertanya lebih jauh, suara lain menginterupsi.

Tok. Tok. Tok.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintu terdengar tegas, hampir seperti ancaman. Aqeela, Noel, dan Harry saling berpandangan sebelum akhirnya Harry berjalan ke pintu dan membukanya dengan ekspresi tenang, seolah tidak ada yang mencurigakan terjadi di balkon beberapa detik lalu.

Di depan pintu berdiri seorang cewek dengan ekspresi panik. Seragamnya rapi, rok lipatannya sempurna, rambutnya dikuncir dua dengan pita kecil yang terlihat terlalu imut untuk seseorang yang wajahnya penuh kecemasan.

Stephanie.

Atau lebih dikenal sebagai Stephie, murid baru yang belakangan ini mulai menarik perhatian lebih banyak orang—terutama akun Lambe Cetar yang hobi memanaskan keadaan.

"Astaga, kalian semua di sini?" suara Stephie agak bergetar, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya berhenti di Harry, lalu ke Noel, dan terakhir ke Aqeela.

Aqeela bisa melihat dengan jelas bagaimana cewek itu berusaha keras menelan ludah sebelum berbicara lagi.

"A-aku denger ada suara di balkon," katanya dengan nada canggung. "Kalian… sadar kan kalau kita dilarang berdiri di balkon, apalagi kalau bareng cowok?"

Aqeela ingin memutar mata. Tentu saja dia tahu. Semua penghuni asrama tahu aturan ketat ini.

Tapi bukan itu yang membuatnya kesal.

Yang bikin dia hampir kehilangan kesabaran adalah cara Stephie bicara—seperti seseorang yang baru aja menangkap basah mereka berbuat kesalahan besar, padahal dia sendiri yang tiba-tiba muncul tanpa aba-aba.

Harry menutup pintu di belakangnya dan menyandarkan bahu ke kusen pintu. "Kita nggak ngelakuin apa-apa."

Stephie mengerutkan kening. "Tapi aku jelas-jelas lihat kalian bertiga ada di balkon bareng. Kalau sampai ada yang tahu—"

"Terus, Lo mau lapor?" potong Aqeela dingin.

Stephie terdiam. Kedua tangannya saling meremas, jelas menunjukkan kebiasaannya yang gampang panik.

"A-aku nggak bilang gitu…" gumamnya pelan, suaranya makin kecil.

"Kalau gitu, lupakan aja," Harry menyahut sebelum Aqeela bisa membalas.

Stephie masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. "Yaudah… Tapi hati-hati. Aku nggak mau kita kena masalah gara-gara hal kayak gini."

Aqeela menatapnya dengan ekspresi datar, tapi tetap mengangguk singkat.

Begitu Stephie pergi, suasana kamar terasa lebih berat dari sebelumnya.

Noel menyeringai kecil. "Badai baru aja mulai datang."

Harry tidak menanggapi. Dia hanya menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup, lalu berbisik pelan.

"Permainan ini semakin menarik."

-----

Stephie mungkin sudah pergi, tapi suasana di balkon tetap terasa tegang.

Aqeela berdiri diam, matanya masih menatap pintu yang baru saja tertutup, sementara Harry menyandarkan bahunya ke pagar balkon, tatapannya penuh perhitungan. Noel, di sisi lain, terlihat santai seperti biasa—tapi Aqeela tahu lebih baik dari siapa pun kalau cowok itu nggak pernah benar-benar santai.

"Apa menurut lo dia bakal beneran diem?" suara Noel akhirnya memecah keheningan.

Harry mengangkat bahu, "Kalau dia cerdas, iya."

Aqeela mendengus. "Sayangnya, dia lebih sering panik daripada mikir."

Noel tertawa kecil, tapi tatapannya tetap tajam. "Kalau gitu, kita harus siap buat segala kemungkinan."

Aqeela memutar bola matanya. "Gue udah cukup sibuk sama masalah ini. Jangan bilang kita harus nambahin Stephie ke dalam daftar masalah juga?"

Harry meliriknya sekilas. "Dia udah ada di dalam daftar sejak awal."

Aqeela mengernyit. "Apa maksud lo?"

Noel melipat tangan di depan dada, ekspresinya berubah lebih serius. "Lo pikir dia masuk ke sini secara kebetulan?"

Aqeela merasa sesuatu di dalam perutnya menegang.

"Jadi, lo bilang—"

"Dia bukan variabel acak," potong Harry. "Dia bagian dari permainan ini."

Aqeela menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya.

"Jadi, sekarang apa? Kita duduk diam dan nunggu dia ngelapor ke pihak asrama?"

Noel tersenyum miring. "Atau kita bikin dia nggak punya alasan buat ngelapor."

Harry menatap Noel dengan ekspresi menilai. "Gimana caranya?"

Noel tidak langsung menjawab. Dia hanya berjalan mendekat ke Aqeela, menyisakan sedikit jarak di antara mereka, lalu berbisik pelan—cukup pelan untuk membuat Aqeela merasakan desiran dingin di tengkuknya.

"Kita bikin dia takut."

Aqeela menegang. "Noel, jangan main kasar."

Noel tertawa kecil. "Siapa bilang gue bakal main kasar? Gue cuma bilang… kita kasih dia sedikit 'peringatan'."

Aqeela menatap Harry, mencari tanda-tanda kalau cowok itu akan menghentikan ide gila ini. Tapi, seperti yang bisa ditebak, Harry hanya diam, membiarkan pikirannya bekerja lebih cepat dari kata-kata.

Dan itu justru lebih mengkhawatirkan.

Karena ketika Noel dan Harry ada di satu halaman yang sama…

Seseorang akan kalah.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang