Hari berganti. Pagi ini Raka keluar dari kamar dengan seragam sekolah yang sudah lengkap. Menarik napas pelan dan mulai melangkahkan kakinya untuk turun dari tangga.
Tap
Tap
TapBeberapa orang yang sudah berada di meja makan menoleh serentak pada pemuda yang menuruni tangga itu. Raka berjalan ke arah meja makan dan duduk di salah satu kursi dekat dengan Ivan.
Sedikit kerutan di dahi tampak pada kepala keluarga, biasanya anak keempatnya itu akan duduk dekat dengan dirinya atau sang istri supaya minta disuapi atau semacamnya.
Namun, sekarang tidak. Bahkan seolah enggan meliriknya. Rutinitas pagi yaitu menyapa dengan riang yang ia lakukan setiap hari pun tak Bastian dengar sama sekali. Mana senyuman dan gerakan aktif itu?
"Raka, kenapa di sana?" Memberanikan diri, Bastian bertanya. Sejak dari sore kemarin tingkah anaknya itu sedikit aneh.
Raka memalingkan muka, ia enggan menatap kepala keluarga Alandra itu. Jantungnya berdebar kencang, wajah Bastian yang menatapnya hina dan yang paling keras mengusirnya terbayang-bayang di pikiran Raka.
Darah Bastian berdesir. Ia semakin mengerutkan kening bingung. "Raka?"
"Apa?"
Bastian mencoba untuk sedikit sabar. "Kenapa denganmu? Ada masalah?" tanyanya yang dijawab gelengan oleh si empu. "Lalu, kenapa pindah ke sana?"
"Karena pindah," jawab Raka acuh.
Benar juga.
"Berikan alasannya."
"Karena pengen pindah."
Oke, Bastian memilih diam.
Raka mendengus. Dia melihat makanan yang sudah tersaji rapi di atas meja, kemudian memundurkan kursinya dan melangkah pergi dari sana.
Ivan menahan tangannya, ia mengernyit heran dengan tingkah adiknya pagi ini. "Raka, kamu belum makan, loh. Kenapa langsung pergi?"
Raka melepaskan cekalan tangan Ivan, ia hanya menampilkan ekspresi datar tanpa emosi. Lantas, kembali melangkah.
Kay melihat makanan di atas meja, kemudian membelalakkan matanya. "Kak Raka, kan, alergi seafood!" pekiknya cukup keras, karena makanan pagi ini hanya aneka seafood.
Semua terkejut. Bahkan Gisel langsung berdiri dari duduknya. Sungguh ia lupa bahwa si putra keempat mempunyai alergi terhadap masakannya kali ini. "Raka, maafkan Bunda.." Wajahnya penuh rasa sesal, dengan nada bicaranya yang terdengar lirih.
Raka yang masih berdiri sambil membelakangi keluarganya, tersenyum tipis. Ia masih ingat, kejadian ini sama persis di masa lalu. Namun, dulu Raka marah dan tidak terima bahwa keluarganya melupakan alerginya.
Kemudian Raka menghela napas. Gisel hanya meminta maaf tanpa berniat membuatkan makanan lain yang mungkin bisa dimakan oleh Raka saat ini.
Apakah Bundanya punya otak untuk berpikir?
Raka pun langsung pergi dari sana.
•••
Entah dapat darimana benda yang dipakai Raka saat ini. Yang pasti Raka tengah menggunakan skateboard menuju ke sekolahnya.
Beberapa menit lalu, dia berjalan hendak pergi ke sekolah karena pas di rumah tadi ia tidak mau diantar supir. Raka berhenti saat dirinya melihat skateboard yang terletak di depan sebuah minimarket yang tak sengaja ia lewati.
Raka mengambilnya, sebelum itu menggumamkan beberapa kata. "Pinjam sebentar, nanti dibalikin."
Dan yah, sekarang dia sedang melakukan gaya memutar dengan benda itu. Saat sudah sampai tepat di depan gerbang sekolah, Raka membawa papan seluncurnya dengan diapit oleh siku.
Ia memasuki halaman sekolah dengan langkah santai, seraya mengemut permen tangkai yang ia temukan di dalam saku celananya. Entah datang darimana permen itu.
Selama perjalanan menuju ke kelas, banyak pasang mata yang melirik bahkan melihatnya secara terang-terangan.
"Itu ... Raka?"
"Loh, dia gak dianter? Apa jangan-jangan keluarganya udah buang dia?"
"Wkwk."
"Gemoy banget anjay! Gemes ih!"
"Adekk, Kakak punya permen nih."
Raka berhenti, dia berbalik ke belakang. Matanya meliar mencari sumber suara yang tadi menarik atensinya.
Kemudian menghampiri seorang pemuda yang berdiri sambil melambai ke arahnya. "Mana?" Raka menengadahkan tangan kanannya sembari mendongak menatap pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya itu.
Pemuda itu mengernyit tak mengerti. Ah, apakah anak di depannya ini merespon ucapannya barusan? Haha, lucu sekali. Padahal dia tadi hanya menggoda saja. Tersenyum gemas, pemuda itu bertanya. "Mau permen?" tanyanya dibalas anggukan pelan oleh Raka.
"Nih." Dia memberikan satu tangkai lolipop dan diletakkan pada telapak tangan Raka.
Raka menarik tangannya yang sudah diisi oleh gula-gula sesuai kemauannya. Ia tersenyum tipis. "Makasih." Raka hendak pergi, tapi kemudian berbalik kembali.
"Nanti minta lagi, boleh?" Ngelunjak juga nih anak. Namun Kairo hanya tertawa kecil. Pagi ini sungguh pagi yang menyenangkan untuknya. Ah, manisnya~
"Boleh, syaratnya kita harus temanan dulu. Baru Kakak kasih permen."
Raka berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Banyak-banyak tapi."
Kairo tertawa lagi. "Iyaaa."
•••
Raka menopang dagunya bosan. Kelas sudah sepi, bel istirahat juga sudah berbunyi dua menit yang lalu. Namun, anak itu masih betah duduk di bangkunya sambil memandang papan tulis di depan.
Mau istirahat, malas.
Mau ngomong, juga malas.
Mau tidur, gak ngantuk.
Hah, Raka gak tau maunya apa sekarang.
Puk!
Bahunya di tepuk dari samping kanan. Dia menoleh, menegakkan tubuhnya, dan menatap orang yang berdiri di sampingnya dari atas sampai bawah.
"Cicak?"
Orang itu melotot, enak saja memanggilnya cicak! Namanya itu Ichak tau! Ichak Windrakara, anaknya pak kepala sekolah di sini.
Jangan maen-maen!
"Heh, lo ngejek gue?" tanya Ichak bersidekap dada. Dia menatap Raka dengan mata masih melotot.
Raka menyipitkan matanya, mencoba membaca lebih jelas nickname yang tertera di baju orang sok kenal di depannya ini. "Oh, Ichak.." Dia mengangguk, baru ingat kalo dulu dia memang sekelas dengan orang ini. Raka sempat lupa, karena ia tak terlalu peduli dengan kelas dulunya.
"Aneh.." gumam Raka, tapi Ichak masih bisa mendengarnya.
"Apa lo bilang? Nama gue aneh? Maksud lo apaan ngomong gitu? Tapi nama gue emang aneh sih," kata Ichak, dan tentu saja enam kata yang dicetak miring itu ia katakan dalam hati.
Detik berikutnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada perhatian, ea. Ivan datang ke kelas Raka, ia mendekati adiknya itu dan memanggilnya.
"Raka lagi sama siapa?"
Ichak tak tahu kalau di belakangnya ada orang lain. "Lo tanya sendiri aja dah sama bapak gue, dia yang namain gue kaya gini. Dan lo, jangan lagi-lagi manggil gue cicak ya! Atau—"
"Sama cicak."
Kemudian Raka keluar bersama Ivan setelah memotong ucapan teman kelasnya itu
Sementara yang ditinggal mencak-mencak tidak jelas.
Poor Ichak.
Votenya, beb

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!