15. HARQEEL

6.7K 351 3
                                        

Malam di SMA Tirta Persada terasa lebih sunyi dari biasanya. Atau mungkin, ini hanya perasaan Aqeela saja.

Setelah apa yang Harry tunjukkan padanya tadi sore—file misterius yang berisi semua detail tentang hidupnya—dadanya masih terasa sesak.

Siapa yang menyimpan informasi sebanyak itu tentang dirinya? Untuk apa?

Aqeela menggigit bibirnya, berusaha menahan kepanikan. Ini sudah lebih dari sekadar hubungan toxic dengan Noel, lebih dari sekadar drama persahabatan yang kacau karena kehadiran Stephie.

Ini nyata.
Ini bahaya.
Dan dia terjebak di dalamnya.

"Aqeela."

Suara itu membuat tubuhnya menegang.

Noel.

Dia berdiri di ambang pintu balkon, wajahnya tertutup bayangan, tapi sorot matanya tajam menembus malam.

"Lo ngapain di sini sendirian?" suaranya tenang, tapi Aqeela mengenalnya cukup lama untuk tahu ada sesuatu di balik ketenangan itu.

Aqeela menarik napas, menutupi kegelisahannya dengan senyum tipis. "Cuma butuh udara segar."

Noel nggak langsung menjawab. Dia hanya melangkah mendekat, posturnya tinggi dan mendominasi ruangan kecil itu.

"Lo takut sama gue?"

Pertanyaan itu menusuk langsung ke pusat kegelisahannya.

"Tentu aja nggak," jawab Aqeela cepat. Terlalu cepat.

Noel menyandarkan tangannya ke pagar balkon, membuat jarak di antara mereka makin sempit. Mata Aqeela melirik ke samping, mencari jalan keluar, tapi Noel sudah lebih dulu menyadarinya.

"Jangan bohong," suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Gue tahu lo panik tiap kali ada di dekat gue."

Jantung Aqeela berdetak lebih cepat. "Lo mikir terlalu jauh."

Noel tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum yang menenangkan.

"Buktikan."

Dia melangkah lebih dekat, menguji batas. Aqeela berusaha tetap berdiri tegak, tapi tubuhnya membeku. Otaknya berteriak untuk lari, tapi kakinya seolah tertanam di lantai.

Lalu—

Sebuah suara terdengar dari belakang.

"Jangan sentuh dia."

Noel mendongak, dan di sana, berdiri seseorang yang sejak awal selalu jadi variabel tak terduga.

Harry.

Matanya menatap Noel tanpa gentar. Bukan dengan amarah, bukan dengan emosi yang meledak-ledak—tapi dengan sesuatu yang lebih berbahaya.

Ketajaman.

Dia tidak hanya membaca situasi ini, dia menganalisisnya.

Noel memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya berubah dari menekan menjadi menilai.

"Gue nggak sentuh dia," ucapnya ringan, seolah menantang. "Atau lo mau bilang kalau sekarang lo yang jadi pelindungnya?"

Harry tidak bereaksi.

Karena dia tahu, dalam permainan ini, yang pertama menunjukkan emosi adalah yang kalah.

Tapi satu hal yang Noel lupa—Harry selalu tiga langkah lebih maju.

"Kalau lo pikir lo bisa main game ini sendiri, lo salah," suara Harry tetap tenang, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat udara terasa lebih berat. "Lo bukan satu-satunya yang tahu cara membaca permainan."

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Noel tersenyum kecil.

Senyum yang bukan milik seorang pemenang.

Tapi seorang pemain yang baru saja menemukan lawan yang seimbang.

Di tempat lain, seseorang menatap layar laptopnya.

Percakapan mereka tadi terekam jelas. Setiap ekspresi, setiap gerakan, setiap kata.

Sebuah jari mengetik cepat di atas keyboard, menginput data baru ke dalam sistem.

VARIABEL TAMBAHAN TERDETEKSI.
PERMAINAN RESMI DIMULAI.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang