─ .✦ Bab 13 : Préparation

53 12 19
                                        

🎻🎻🎻

Di dalam ruang kelas musik yang tenang, suara gesekan senar biola mengalun indah. Menciptakan ritme khas dari musik klasik Diamas. Tempo naik turunnya benar-benar pas, seolah dapat menghipnotis siapapun yang mendengarkannya. Jari-jari ramping bergerak lihai di atas busur biola, mengendalikan instrumen lagunya.

Seorang gadis berperawakan tinggi dan cantik, dengan rambut hitam panjang yang dikepang rapi bersandar di bahunya. Lengan seragamnya-blus putih dengan potongan bishop yang mengembang di pergelangan-berayun lembut seiring gerakannya. Ujung lengan itu dihiasi renda halus, memberi kesan klasik yang seolah melengkapi suasana musik yang tengah ia mainkan.

Meskipun sorot matanya tampak tenang, pikirannya berputar dengan cepat, mengacak-acak ketenangan yang tampak di luar. Aneh, pikirnya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Tapi... kenapa? Kenapa perasaannya berbeda? Ada yang terasa tidak pada tempatnya-terutama setelah benda itu... kenapa bisa-

"Yumee." Suara tegas dari Madame Aleinn memecah lamunan Yumee. "Fokus, gesekan biolamu melenceng," tegur guru musik itu, suaranya menggetarkan udara.

Yumee menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang liar. Dengan lembut, ia memposisikan jarinya kembali di atas senar, matanya terpaku pada biola. Perlahan, ia menggesekkan busur dengan hati-hati, memastikan setiap nada keluar dengan sempurna. Namun, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Ia terus mengukur gelombang kecurigaan yang menggerogoti, berusaha menenangkan suara di kepalanya.

Waktu berlalu, hingga sampailah nada terakhir mengalun dan akhirnya berhenti. Sisa gesekan biola masih menggantung di udara, menciptakan keheningan sementara sebelum kemudian suara tepukan tangan terdengar. Madame Aleinn bertepuk tangan pelan, mengapresiasi permainan Yumee, dan beberapa murid lain pun ikut bertepuk tangan, meski tak seramai saat mendengar konser sungguhan.

Yumee menurunkan busurnya perlahan, jemarinya bertumpu di atas senar. Seharusnya, ia merasa lega-musik selalu menjadi tempatnya bernaung, tempat di mana ia bisa menenangkan pikirannya, baik dari materi sekolah, ataupun hal lainnya. Tapi, kali ini tidak. Alunan musik yang ia mainkan justru membawanya menuju buah pikiran penuh tanda tanya. Dan itu, mengkhianati prinsip logisnya.

🌲🌲🌲

Langkah kaki pelan di halaman Akademi Staraa menciptakan suara srek, srek yang halus-hampir tak terdengar. Rumput di bawahnya terasa lembut dan sedikit lembap, seakan membuai setiap pijakan. Rambut panjang yang dikuncir kuda bergelombang tertiup oleh napas langit, bersamaan dengan kelopak bunga yang berlarian mengejar arah angin.

Fiuuna melangkah menyusuri karpet alam Akademi Staraa tanpa alas kaki, hanya kaus kaki tipis yang membatasi telapak kakinya dari kelembutan rumput. Larangan menginjak rumput dengan sepatu membuatnya terpaksa melangkah seperti ini-meski sebenarnya, ia tak keberatan. Sesekali, ia mendongak ke atap semesta, membiarkan matanya menelusuri birunya langit yang kini kembali bersih. Hujan telah reda, dan sang surya mengambil alih, memeluk bumi dengan sinarnya yang hangat.

Tiba-tiba, dari belakang ada sebuah benda besar yang melesat ke arahnya. Spontan, Fiuuna berbalik dan menghantam benda tersebut dengan pedang kecilnya yang ia bawa diam-diam-masih tersegel sarung pedangnya. Tapi, bukan sebuah benda ataupun hal berbahaya yang ia hantam, melainkan... sebuah perisai yang terbuat dari sihir.

Eh?

"Fiuuna! Kenapa kau ingin menyerangku!" Protes seseorang dari dalam perisai itu, Neo. Sang Wizard Fairy yang berambut coklat muda dengan mata emerald.

"Neo?"

-
-
-

Sebelumnya...

Di halaman akademi yang luas, berdiri sebuah pohon oak besar dengan cabang-cabang kokoh yang cocok untuk bertengger. Namun, bukan sekawanan burung yang mengisi dahan itu, melainkan seorang peri berukuran manusia yang tertidur karena bosan.

Diamas : The Clandestine of Millgrien Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang