twenty two

514 56 10
                                    

Typo bertebaran



Happy reading...


Setelah dua hari berlalu, barulah Pak Agus akhirnya kembali ke asrama.

Tak mau membuang waktu, delapan remaja itu langsung meminta Pak Agus untuk datang ke asrama mereka. Malam ini, mereka semua duduk lesehan di lantai, beralaskan karpet, ditemani camilan dan kopi hangat untuk menemani obrolan.

Setelah mendengar cerita dari mereka, Pak Agus mengangguk-angguk paham. Wajahnya sedikit serius, tapi tak ada tanda-tanda terkejut—seolah ia memang sudah mengetahui sesuatu sejak lama.

Ia mengambil cangkir kopinya dan menyeruput isinya pelan.

"Kopi ini enak juga," komentarnya dengan nada santai.

"Pastilah! Kan yang bikin Yuan, si tampan!" sahut Yuan dengan bangga, membuat yang lain langsung melayangkan tatapan jengah ke arahnya.

Pak Agus terkekeh kecil sebelum akhirnya meletakkan cangkirnya di meja. Kali ini, ekspresinya jauh lebih serius.

"Oke, bapak akan mulai cerita. Kalian dengarkan baik-baik."

Delapan remaja itu langsung merapat, menahan napas, menunggu dengan penuh penasaran.

"Jadi..."

"Jadi apa, Pak? Kita udah nungguin, loh!" ujar Juna tak sabar ketika Pak Agus menggantung ucapannya.

Laki-laki berumur itu tertawa kecil, mendapati Juna yang terlihat sedikit kesal

"Kalian pernah dengar tentang Lusanggi?" tanyanya dengan suara berat.

Semua saling bertukar pandang, sebagian menggeleng, tapi ekspresi penasaran terpampang jelas di wajah mereka.

"Lusanggi itu bukan makhluk biasa," lanjut Pak Agus. "Dia bukan sekadar arwah penasaran atau jin iseng. Lusanggi lahir dari keserakahan manusia sendiri."

Langit mengernyit. "Maksudnya, Pak?"

Pak Agus menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan kisah yang sudah lama terkubur dalam sejarah asrama itu.

"Puluhan tahun lalu,tepat di tanah asrama ini, dulunya berdiri rumah seorang dukun.Dia haus akan kekayaan dan kekebalan, jadi dia melakukan ritual pemanggilan Lusanggi. Tapi dengan syarat—dia harus menumbalkan manusia setiap tahun, seseorang yang memiliki 'tulang wangi.'"

"Tulang wangi?" Zidan bertanya dengan suara pelan.

"Ya," Pak Agus mengangguk. "Orang-orang tertentu memiliki aroma khas yang bisa menarik makhluk seperti Lusanggi. Biasanya mereka adalah orang yang memiliki darah khusus, seperti anak-anak yang lahir pada malam tertentu atau mereka yang tubuhnya memiliki energi lebih besar dibandingkan manusia biasa."

Mereka semua terdiam, meresapi informasi yang baru saja disampaikan.

"Jadi…"Langit mulai berbicara. "Makhluk itu masih terus berusaha mencelakai Jia, karena dia memiliki tulang wangi, Pak?"

"Betul sekali,jadi… selama bertahun-tahun, dukun itu mengorbankan penduduk desa yang memiliki tulang wangi. Namun, suatu hari dia terlambat menyerahkan tumbal. Lusanggi marah... dan justru dukun itulah yang dimangsanya."

"Kalau dukunnya sudah mati, kenapa Lusanggi masih ada?" Arkan ikut penasaran.

Pak Agus menghela napas berat.
"makhluk yang sudah dibangkitkan seperti Lusanggi sulit dikembalikan ke alamnya. Jadi, dia tetap ada di sini meskipun jarang menunjukkan wujudnya."

Seketika, suasana menjadi lebih mencekam.

"Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat. Lusanggi tidak akan mudah melepaskan targetnya.Setahu bapak, hanya Jiandra yang memiliki tulang wangi di asrama laki-laki ini. Maka dari itu, kalian harus memastikan dia tidak sendirian."

Pak Agus berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam pikiran mereka.

"Karena empat tahun lalu… kejadian serupa terjadi di asrama ini. Ada seorang anak yang tinggal di sini, sendirian, pendiam, dan sering melamun. Dia juga memiliki tulang wangi. Tapi karena tidak ada yang memperhatikannya, Lusanggi perlahan mulai mempengaruhinya. Malam-malam dia sering berjalan sendiri, berbicara pada sesuatu yang tak terlihat. Hingga akhirnya, suatu malam..."

Pak Agus menoleh ke arah jendela lantai tiga asrama. Semua mata mengikuti pandangannya.

"Anak itu lompat dari sana."

Seketika ruangan menjadi lebih dingin.
Jiandra, yang sudah merinding sejak tadi, buru-buru memeluk lengan Langit. "Bisa separah itu, Pak?"

Pak Agus mengangguk. "Ya,karna Makhluk itu bisa membuat seseorang putus asa dan berpikir bahwa satu-satunya cara untuk bebas adalah mengakhiri hidupnya."

"Aku takut…"

"Kamu tidak perlu takut jika selalu bersama mereka,"kata Pak Agus menenangkan.

"Bahkan ke kamar mandi?" Jiandra bertanya dengan polos.

Pak Agus menahan tawa, sementara Langit langsung menyentil dahi adiknya. "Nggak gitu juga konsepnya, Dek."

Jiandra nyengir. "Hehe... siapa tahu, kan? Jadi kalau aku ke kamar mandi juga harus ditemenin"

Yang lain hanya bisa menghela napas panjang, merasa percakapan tadi begitu mencekam, tapi tetap saja Jiandra masih sempat bercanda.

___________________________

"Bubub, njun masak apa?"

Plak!

Juna tanpa ragu mengetok kepala Naufal dengan panci yang sedang ia pegang.

"Bab bub, bab bub, palak lu!" gerutunya kesal.

Naufal mengelus kepalanya yang baru saja mendapat ‘tamparan’ sayang dari panci Juna. "Sakit kepala gue, Jun. Tega bener lu!" rengeknya dramatis.

"Salah lu sendiri! Udah sana, hus hus!" Juna mendorong tubuh Naufal keluar dari dapur, berusaha kembali fokus pada masakannya.



"Jujun!"

Juna menghela napas panjang, merasa frustasi. "Astaga, kelar satu, yang lainnya datang."

Jiandra muncul entah dari mana, matanya berbinar melihat ayam goreng yang baru matang. "Jujun, minta dong," pintanya, menunjuk sepotong ayam yang masih panas.

Dengan malas, Juna mengambil sepotong ayam tersebut, meniupnya terlebih dahulu, lalu menyuapkannya ke mulut Jiandra.

"Twilma kwasih," ujar Jiandra dengan mulut masih penuh, sebelum buru-buru keluar dari dapur dan menuju ruang tengah, tempat Langit masih tertidur pulas di sofa.

Jiandra mendekat dan menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya. "Abang, bangun!"

Namun Alih-alih bangun, Langit justru menarik Jiandra ke dalam pelukannya, membuat si adik langsung berontak.

"Abang, lepas! Aku baru aja mandi!masih wangi!" protesnya, mencoba melepaskan diri.

Namun Langit malah semakin mengeratkan pelukannya, membuat Jiandra semakin frustrasi.

"Bang Arkan! Tolong!" serunya dramatis.

Arkan, yang duduk santai di sofa, hanya tertawa melihat kelakuan mereka. "Udah, Lan. Kasihan Jia, nanti nangis."

Langit hanya terkekeh sebelum akhirnya melepaskan Jiandra yang langsung kabur menjauh dengan wajah kesal.






Mianhee aku jadi jarang banget up book ini🙏🤧


Haunted dormitory [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang