3. Indigo: Lusi dan Pakan

52 5 2
                                        

"Dua benang yang berjalan ke tujuan berlawanan, bertemu dan dijalin bersama dalam pola saling terikat hingga menciptakan kain kokoh."

---Lusi dan Pakan.

***

Tebak bagaimana Taruna akhirnya bisa memantapkan diri, (sementara) melupakan ambisi kemarin demi Cempakatex Group dan kota Semarang?

Setiba di Depok pekan lalu, tentunya dalam kondisi mengerikan---sepatu bermulut lebar sepaket lidah-lidah telapak kakinya, koper dekil berkerak lumpur, dompet serta debit yang babak belur, dan parahnya, handuknya tertinggal menginap di penginapan Sulawesi. Orang tua waras luar sana pasti mulai mempertanyakan kebenaran maksud anak mereka berkeliaran di pulau orang nan jauh, benarkah perihal kepentingan seleksi kerja? Atau jangan-jangan sempat terjerumus ke hutan-hutan dan rawa-rawa karena aksi petakilannya?

Yang jelas, karena ini Taruna, mereka tak tercengang. Anak minim kemandirian itu disyukuri kepulangannya, dimaklumi keteledorannya, karena yang hilang bukan badannya, hanyalah sepasang kaos kaki dan handuk yang sialnya masih baru.

Kembali pada pertanyaan paragraf pertama, sesampainya Taruna di rumah, saat itu malam sudah terlampau larut. Kabar kegagalannya mutlak diketahui sejuru penghuni rumah yang jumlahnya hanya tiga orang---yakali gak ya guys ya. Bocah itu patut menyiapkan mental. Bak debt collector, ayahnya mesti menagih janji yang berbunyi: jika gagal lagi, kamu wajib mengambil tawaran kerja di tekstil itu.

Dan perlu ditekankan, bahwa Taruna adalah anak yang komitmen dengan janjinya. Se-tidak suka apapun itu. Motto bekerjanya: tuntas habis meski disertai tangis.

Permasalahannya, tak ada yang gratis di dunia ini. Biar dikata tak ada hatinya pada Cempakatex, meski ia memastikan dirinya hanya akan bekerja mengatasnamakan janji juga perut, dan ia akan makan demi kenyang, bukan kenikmatan. Taruna tetap harus membayar mahal untuk hidup di Semarang.

"Tak perlu kamu jual kameramu itu."

Taruna melirik ibunya yang telah berdiri di perbatasan pintu, kamera di genggamannya urung dimasukkan ke dalam kardus. "Tabungan Taruna habis. Lagian Taruna berencana berhenti jadi content creator."

"Tapi tabungan Ibu masih ada." Wanita paruh baya itu mendekat, menyelipkan helaian uang berlipat-lipat di tangan anak bujangnya yang terbelalak. "Waktu kamu kuliah dulu, kamu jadi giat belajar karena motivasi membuat konten-konten itu."

"Kalian lebih butuh uang ini ...." Taruna menjeda, helaan napasnya tercekat lagi. "Bu, Taruna bukan kerja di tempat bergaji besar. Mungkin nanti Taruna gak bisa mengirim uang banyak---"

Ibunya menggeleng. "Cukuplah gajimu nanti untuk keperluanmu sendiri. Jangan pikirkan orang rumah. Lagian, semakin tua, semakin harus banyak gerak. Ibu lupa kapan terakhir kali bikin kue yang banyak sekali."

Taruna tersenyum getir. Selaras pepatahnya---pergerakan bawah tanah---diam-diam anak itu tahu, darimana uang di tangannya berasal. Hasil gadai cincin perkawinan yang biasa disematkan di telunjuk ibunya. Bukan lagi jari manis, karena kulitnya menyusut kurus.

Semua orang mengorbankan segalanya hanya agar Taruna berangkat. Balasannya tidak bolehlah kekecewaan.

***

Depok memang panas, tapi Semarang jauh lebih menyengat. Tak terhitung bulir keringat menyapu kulit putih Taruna yang memerah. Tak terkira pula berapa banyak bocah itu menyesali pilihannya mengambil indekos tanpa air conditioner.

Anak itu menatap penampilan rapi nan niatnya di pantulan cermin: potongan rambut two-blocks, celana katun hitam membalut kaki-kaki panjangnya, sepatu lari, tambahan pewangi sitrus, dan kemeja batik bermotif parang kancing ceplok kupu yang kombinasi warnanya dimainkan dengan ciamik. Gue keren!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Iridescent Trainee Where stories live. Discover now