BAB 9 – KEBENARAN YANG MENDESAK
Di koridor SMA Tirta Persada yang mulai sepi setelah jam pelajaran terakhir, Aqeela berjalan cepat, langkahnya sedikit gelisah. Pikirannya masih penuh dengan berbagai kemungkinan, tapi satu nama terus mengganggu pikirannya.
Raditya Aditama.
Semakin dia mencoba mencari tahu, semakin dia merasa ada yang nggak beres.
Dan sekarang, dia harus bicara dengan seseorang yang mungkin punya jawabannya.
Harry.
Cowok itu sedang duduk sendirian di bangku dekat ruang komputer, tampak santai seperti biasa. Tapi Aqeela tahu, di balik ekspresi tenangnya, Harry bukan orang biasa.
Aqeela berhenti di depannya, menarik napas dalam.
“gue mau tanya sesuatu,” katanya langsung.
Harry mengangkat alis, menutup bukunya. “Soal Raditya Aditama?”
Aqeela mengangguk. “Lo tahu lebih banyak dari yang lo kasih tahu ke gue, kan?”
Harry menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tertawa kecil. “Gue pikir lo bakal mundur.”
“Gue nggak suka pertanyaan tanpa jawaban,” balas Aqeela.
Harry menyandarkan punggung ke kursi, ekspresinya masih santai. “Fine. Gue bakal jawab, tapi lo harus siap denger jawabannya.”
Aqeela mengangguk. “Gue siap.”
Harry menatapnya dalam sebelum akhirnya berkata, “Raditya Aditama itu bukan orang lain.”
Jantung Aqeela berdegup kencang. “Maksud lo?”
Harry tersenyum tipis, tapi matanya tajam. “Dia ada di sekitar lo. Lebih dekat dari yang lo kira.”
Aqeela menggigit bibirnya, mencoba meredam rasa gugupnya. “Lo tahu siapa dia?”
Harry menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata pelan.
“Lo tahu siapa dia.”
Aqeela menegang.
Jari-jarinya mengepal di sisi roknya. “Noel?”
Harry nggak menjawab.
Tapi tatapannya cukup untuk membuat tubuh Aqeela terasa dingin.
Seolah dia baru menyadari sesuatu yang seharusnya dia sadari sejak lama.
Aqeela merasa dadanya sesak. Noel?
Nggak. Itu nggak mungkin. Noel adalah sahabatnya. Orang yang selalu ada buat dia. Orang yang dia percaya.
Tapi kenapa Harry nggak membantah?
Kenapa cowok itu malah menatapnya dengan ekspresi yang seolah berkata "Lo udah tahu jawabannya."
Aqeela menggeleng. “Nggak. Itu nggak masuk akal. Noel bukan hacker, dia bahkan…”
“Bahkan apa?” Harry menyela, suaranya tetap tenang.
Aqeela terdiam. Bahkan dia nggak pernah cerita soal teknologi atau sistem atau apa pun yang berhubungan dengan hacking?
Harry menatapnya tajam. “Noel lebih dari yang lo kira, Aqeela.”
Aqeela mengepalkan tangannya. “Lo cuma nebak atau lo punya bukti?”
Harry menyeringai tipis. “Gue nggak pernah ngomong tanpa bukti.”
Dia menarik ponselnya, membuka sesuatu, lalu menyerahkannya ke Aqeela.
Aqeela menatap layar itu.
Dan saat dia melihat apa yang ada di sana, darahnya seperti berhenti mengalir.
Sebuah program masih berjalan di latar belakang.
Sebuah kode yang terhubung ke database sekolah.
Sebuah nama yang ada di sistem.
Raditya Aditama
Dan di bawahnya…
ID login: no.el.pvt
Tangan Aqeela bergetar. “Noel…”
Harry mengangguk pelan. “Gue udah ngelacak ini cukup lama. Gue cuma nunggu waktu buat memastikan semuanya.”
Aqeela merasa kepalanya pening. “Kenapa… Noel?”
Harry menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya mengunci Aqeela. “Lo pikir Noel selama ini ada di sekitar lo cuma kebetulan?”
Aqeela menggigit bibirnya. “Dia sahabat gue.”
Harry menghela napas. “Dia nggak cuma sahabat lo, Aqeela. Dia lebih dari itu.”
Aqeela mengangkat wajahnya, menatap Harry dengan mata yang mulai dipenuhi kecemasan.
“Noel…”
Harry mengangguk. “Dia obsesi sama lo.”
----
Aqeela duduk diam di bangkunya, mencoba menata pikirannya.
Harry nggak bohong. Semua bukti yang dia tunjukin jelas. Noel adalah Raditya Aditama.
Tapi… itu nggak mengubah kenyataan kalau Noel adalah sahabatnya.
Aqeela menarik napas dalam. Dia nggak bisa langsung bereaksi. Noel pasti tahu kalau dia udah tahu. Tapi dia nggak bisa membiarkan Noel tahu kalau dia mulai curiga.
Jadi, dia memutuskan satu hal.
Bersikap biasa aja.
Saat bel pulang berbunyi, Aqeela melangkah keluar kelas seperti biasa. Dan seperti yang sudah dia duga, Noel sudah berdiri di depan pintu, menunggunya dengan senyum khasnya.
“Lama banget,” keluh Noel. “Gue udah hampir tumbuh akar di sini.”
Aqeela tertawa kecil. “Lebay.”
Mereka berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah. Langkah Aqeela tetap santai, senyumnya tetap sama. Seolah dia nggak tahu apa pun.
Tapi dalam kepalanya, dia terus mengingat apa yang Harry bilang.
"Lo pikir Noel selama ini ada di sekitar lo cuma kebetulan?"
Aqeela melirik Noel sekilas. Cowok itu terlihat biasa aja. Seolah nggak ada yang berubah. Seolah dia bukan hacker yang selama ini mereka cari.
Mereka sampai di kantin dekat sekolah, tempat mereka biasa nongkrong sebelum pulang. Noel, seperti biasa, langsung pesan dua minuman tanpa bertanya dulu ke Aqeela.
“Lo tetep suka matcha, kan?” tanyanya santai.
Aqeela mengangguk, menerima minumannya dengan senyum kecil. “Tentu.”
Noel menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menyandarkan tubuh ke kursi. “Lo baik-baik aja?”
Aqeela mengangkat alis. “Kenapa nanya gitu?”
Noel mengangkat bahu. “Feeling aja.”
Aqeela tertawa kecil. “Gue selalu baik-baik aja kalau sama lo.”
Noel menatapnya, lalu tersenyum. “Bagus.”
Mereka berbincang seperti biasa. Noel tetap jadi Noel yang selalu dia kenal. Atau mungkin, Noel tetap jadi Noel yang selama ini dia pikir dia kenal.
Sementara di sisi lain kantin, seseorang mengamati mereka dari jauh.
Harry, dengan tangan di saku jaketnya, menyeringai tipis.
Permainan ini baru dimulai.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...