Selamat Membaca ♡
• • • • • • •
"Ya Allah Gusti." Utari Wening, Ibu dari Rahayu itu memijat-mijat pelipisnya, kepalanya mendadak pening, bahkan seperti ingin pecah, tatkala mendengar sebuah fakta mengejutkan keluar dari mulut sang putri bungsu.
Saat tadi dirinya menyinggung perihal putri bungsunya itu yang belum kunjung ngisi alias hamil, padahal usia pernikahan Rahayu dan Wira kini sudah memasuki usia 11 bulan.
Sebelumnya Utari meminta Rahayu untuk datang ke kediaman utama, tempat tinggal Rahayu bersama orang tuanya sebelum menjadi istri Wira---
kebetulan Rahayu pulang cepat dari kantor sehingga ia bisa mampir ke kediaman utama--- guna Utari menyalurkan rasa rindunya sekaligus menanyakan perihal keinginannya yang sudah tak sabar menggendong cucu dari si putri bungsu. Namun, malah jawaban di luar dugaan yang Utari dapatkan, membuat dirinya teramat shock.Lagipula Rahayu juga tak bisa selamanya menutupi hal ini. Semua keluarganya pasti tetap curiga mengapa dirinya belum kunjung hamil, terkhususnya sang Ibu, yang sudah sangat hafal gelagatnya.
"Kamu mikir apa sampai berani ngomong seperti itu pada suami kamu, Nduk?! Ya Allah..." Utari kini mengusap-usap dadanya, membatin menyebut sang Ilahi agar dirinya diberi kekuatan supaya tak pingsan di tempat. "Ndak pantas kamu ngomong seperti itu di saat kamu sudah sah sebagai istrinya. Itu sudah menjadi hak suami kamu, Ayu!"
"Mau kamu belum cinta sama suami kamu, ndak sepatutnya kamu ngasih syarat yang ndak masuk akal kayak gitu. Tega kamu sama suami kamu sendiri, Ayu! Ndak kasian apa sama Mas Wira?! Sebelas bulan lho ini, Ayu. Tega kamu buat suamimu nahan selama itu!"
"Ibu..." cicit Rahayu, mengusap punggung Ibunya, khawatir. "Maafin Ayu, Bu."
"Ndak dipikir-pikir dulu kalau ngomong! Hal kayak gitu wajib---"
"Wajib di saat keduanya sama-sama mau. Tapi kalau istrinya ndak mau, terus dipaksa, yang ada dosa, Bu."
"Benar-benar kamu, Yu! Kepengen bikin Ibu mati mendadak." Utari seolah merasakan sesak, pasokan udara di sekitarnya menipis. Dipukulnya pelan lengan sang putri bungsu yang duduk di sebelahnya.
"Buk, jangan ngomong kayak gitu toh! Ayu ndak suka!" Kedua tangan Rahayu mengipas-ngipasi wajah pucat sang Ibu.
"Terus sampai kapan kamu mau begini? Sampai suami kamu cari jajan di luar---- astaghfirullah, Ibu saja ndak sanggup ngebayanginnya. Ibu tuh sayang sama kamu, Ayu, tapi perbuatan kamu ini udah kelewatan. Kalau suami kamu aneh-aneh di belakang gimana gara-gara syarat kamu yang--- astaghfirullah, kok bisa anaknya Ibu kepikiran ngasih syarat ini. Takutnya kamu sendiri yang kena imbasnya, Ayu!"
"Cinta kan bisa datang karena terbiasa. Ibu dulu nikah sama Bapak kamu juga karena dijodohkan. Belum sama-sama cinta. Tapi liat sekarang, Ibu dan Bapak saling mencintai, menyayangi dan mengasihi satu sama lain. Pernikahan kami bisa bertahan lama, harmonis, bahkan bisa membesarkan kamu dan kakak-kakak kamu dengan penuh cinta, tanpa ada satu pun yang kekurangan kasih sayang. Kalian semua tumbuh menjadi kebanggaan Ibu dan Bapak. Tapi ... Ya Allah Gusti, putri bungsunya Ibu ini udah mengecewakan Ibu."
Rahayu tampak merasa bersalah melihat ekspresi kecewa di wajah Ibunya. "Ayu minta maaf. Tapi, Bu, Ayu ndak akan begini kalau alasan di balik pernikahan Ayu dan Mas Wira bukan karena didasari hubungan politik." Kepalanya menunduk, tak berani menatap wajah Ibunya, memilin jari-jemarinya gugup. "Ayu merasa seperti dimanfaatkan. Dijadiin batu loncatan oleh Mas Wira. Begitu juga dengan Bapak, yang seperti menjadikan Ayu sebagai istrinya Mas Wira biar memperkuat posisi Bapak di pemerintahan."
