“INI bukanlah kisah hebat yang datang dari kesuksesan orang-orang dengan karir dan seragam prestisius. Ini hanya sebuah cerita yang ada karena sudah berhasil menaklukkan ego.”
Bulu kuduk Taruna merinding, kata-kata alay apalagi yang baru saja ia ketik? Dihapusnya deretan kalimat itu sembari meringis geli. Jempolnya refleks menutup aplikasi. Tampilan tablet pun beralih pada sheets berisi tabel dengan puluhan barisan data kegagalannya---informasi terkini tentang progres lamaran kerjanya di berbagai perusahaan. Semuanya ditandai warna merah, artinya, hingga sekarang, lelaki itu sudah menelan penolakan bertubi-tubi.
Pusing Taruna sudah memuncak hingga ubun-ubun dan manusia di seberangnya asik memutar musik jedag-jedug yang sama selama hampir setengah jam.
“Matikan musiknya atau gue banting itu hp!” sentak Taruna melotot, sontak lelaki sebaya di hadapannya terguncang kaget. “Dari tadi, itu-itu aja terus lagunya.” Kemudian ia mengulang lirik dengan nada cibir dan kesal: “Gue tahu! Gue tahu!”
“Biasa aja kali. Gue lagi baca-baca komen, makanya lagu yang diputar itu-itu terus.”
Dirampasnya gawai lelaki tersebut, hanya untuk menjeda musik berulang, mengembalikan tampilan kolom komentar, dan melempar benda pipih itu ke tangkapan pemiliknya. “Bisa ‘kan baca komentar tanpa harus berisik?!”
“Sensi amat.” Si lelaki cengengesan, puas memancing amarah Taruna. “Btw Ru, lo belum ada niat upload konten baru gitu? Ini udah lewat beberapa bulan dari kelulusan loh. Followers lo gak kangen gitu?”
“Lo mau gue buat konten apa? Sambatan penderitaan gue yang udah nganggur berbulan-bulan?” Taruna memijat pelipis, tangan lainnya mulai sibuk memeriksa akun tiktok-nya yang mulai terbengkalai. “Lo pikir akun gue itu tempat lawakan yang sengaja dibuat untuk mempermalukan hidup gue sendiri?”
“Bukannya memang akun badut? Lo lupa? Lo dulu sering banget bikin konten derita anak teknik kimia?” ejek lelaki itu kemudian meniru gestur Taruna di salah satu video viralnya dulu: “Skripsi kok ratusan halaman? Ini skripsi, wafer coklat, atau kamus?” Tak lupa juga dengan dialog andalan Taruna di video lain, “Serius gue harus belajar semua materi ini bukan cuma 4 tahun? Tapi setelah gue lulus dan kerja juga?”
“Lo salah tangkap,” gerutu Taruna putus asa, mulai muak dengan candaan temannya yang semakin terdengar mengolok-olok. “Sejak awal branding gue itu sebenarnya Pergerakan Bawah Tanah. Di luarnya aja gue petakilan tolol yang kerjanya cuma ngeluh. Padahal aslinya gue pekerja keras dan udah susun banyak target yang harus gue kejar.”
Hening pun seketika menengahi. Sebab si jahil sudah sadar melewati batas lelucon dari bagaimana tertekannya Taruna di hadapan layar tablet itu. Dan bila saja orang-orang sudi bertukar mata dengan Taruna, mengikhlaskan penglihatan mereka agar dikendalikan otaknya yang terus menyorot paksa pada komentar-komentar baru setiap harinya:
“Taruna sibuk banget sampai gak pernah aktif lagi, apa dunia kerja memang sepadat itu ya?”
“Banget. Apalagi pertambangan, katanya sih pulangnya aja bisa beberapa bulan sekali.”
“Kira-kira dia diterima perusahaan apa aja ya? Taruna kan lulusan kampus top 3.”
“Gak perlu ditanya lagi. Lihat aja nanti well. Pasti balik-balik bikin konten pamer offering letter, terus bingung mau masuk perusahaan mana.”
“Ditunggu konten gaji dua digitnya, Icibos.”
Taruna menghela napas kasar, beban ekspektasi di kepalanya semakin membludak. Belum lagi komentar-komentar skeptis seakan meragukan kemampuannya: bisa jadi dia gak pernah lagi muncul ya karena malu belum dapat kerjaan wkwk. Kuliah di tempat bagus pun gak menjamin ternyata. Ingin rasanya Taruna debat kusir untuk membantah.

YOU ARE READING
Iridescent Trainee
General FictionSebagai lulusan teknik kimia dari universitas ternama, Taruna hanya mau bekerja di perusahaan bergengsi---seperti Pertambangan dan FMCG---atau tidak sama sekali. Nahas, puluhan lamaran dikirim, takdirnya jatuh pada tempat yang paling ia hindari: pab...