09

19.9K 1.5K 22
                                        

"Ayah sayang sama kamu."

Zeylan memeluk anak pertamanya. Dikecupnya singkat pucuk kepala sang anak. Begitu pula Griffin yang balas memeluk dengan menyandarkan kepalanya pada bahu ayahnya, Zeylan.

Setelah Elard juga Nio yang pergi menuju kesibukannya sendiri, tinggallah dirumah menyisakan Griffin juga ayahnya. Mereka mengobrol seputar kuliah juga pekerjaan.

"Buka mulut kamu, pesawatnya datang..."

Walau ia merasa itu kekanakan, Griffin tetap menerima suapan yang diberikan ayahnya, sereal dengan susu putih yang memandikannya.

Zeylan tersenyum melihat sang anak yang menurut. Ingin tertawa melihat wajah Griffin yang terus menerus menerima suapan darinya dengan raut yang datar.

Habis sudah. Ia meletakkan nya pada meja dihadapannya. Beralih duduk disamping Griffin. Menonton bersama acara tv yang menampilkan sebuah film komedi.

Tertawa bersama karena lelucon yang ditampilkan. Waktu berjalan dengan lambat. Griffin menoleh kesamping. Ditatapnya wajah sang ayah yang sedang tertawa. Ia terdiam. Melihatnya dengan lama seolah waktu berhenti. Denting jarum jam yang berbunyi, volume tv yang besar, juga tawa sang ayah yang sangat bahagia. Griffin tersenyum tipis. Kembali dilihatnya layar tv.

"Griffin—" ia menoleh pada Zeylan. Saling bertatap mata antar mata. "—ayah selalu sayang kamu, Elard dan juga Nio sedari dulu."

"Apa kamu sekarang juga menyayangi ayah?" Raut wajah Zeylan berubah menyedihkan.

Tangan yang saling bertaut. Suara tv yang terus berjalan. Denting jam yang berbunyi cepat, juga raut wajah sang ayah yang menyedihkan. Griffin bingung dengan perasaannya. Jemarinya yang diremat oleh ayahnya, membuat jantungnya berdetak kencang. Berdentum terus menerus seakan menyuruhnya menjawab dengan pasti. Peluh muncul pada pelupuk dahinya.

Ia terdiam. Menatap mata sang ayah dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaannya. Seakan berputar dan terus berputar. Mengulang dan terus mengulang kata demi kata pertanyaan yang diajukan oleh Zeylan, ayahnya.

Apa kamu sekarang juga menyayangi ayah?

Apa kamu sekarang menyayangi ayah?

Apa kamu sayang ayah?

Griffin...

Griffin...






"Aarghh!!"

Ia terbangun dengan mata terbuka lebar juga debaran jantung yang begitu cepat. Ditatapnya jarum jam yang tergantung pada dinding kamarnya. Pukul 2 malam dini hari.

Mengusak rambutnya dengan kasar. Ia menunduk menatap selimut yang menutupi kakinya. Pikirannya sekarang dipenuhi dengan mimpi nya barusan. Mimpi yang aneh dan memuakkan. Apalagi mengingat wajah tersebut.

"Hahh..."

Griffin, selaku sang pemimpi. Turun dari kasurnya. Berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Dibuka nya pintu tersebut, ia terdiam sesaat melihat seluruh ruangan yang mana lampunya sudah dimatikan. Terkecuali ditempat tertentu, salah satu contohnya ialah dapur. Dan tujuannya saat ini adalah dapur. Tenggorokan nya terasa kering dan haus. Ia butuh setidaknya segelas air untuk meredakan dahaganya.

Dirasa cukup puas, Griffin kembali menuju kamarnya. Menaiki tangga satu persatu. Langkahnya yang terdengar dalam sepinya suasana malam ini, mengiringi setiap langkahnya melaju.

Dengan rasa kantuk yang masih menyerang, Griffin menoleh singkat pada pintu kamar yang dilewatinya. Langkahnya terhenti. Terdiam untuk memastikan suara yang didengarnya. Tubuhnya berbalik menatap pintu kamar yang baru beberapa langkah ia lewati.

Mendekat dengan perlahan. Tangannya yang besar itu menggenggam knop pintu. Ia menghela nafasnya. Mengurungkan niatnya kembali dan memilih untuk lekas menuju kamarnya berada.

"..."

Sial. Tubuhnya seakan bergerak sendiri. Dengan tangan yang kembali memegang knop pintu, ia menekannya perlahan. Pintu terbuka. Matanya menelisik kedalam. Melihat seonggok tubuh yang berbaring diatas kasurnya dalam keadaan resah.

Tubuhnya perlahan masuk. Menutup kembali pintu dengan berusaha tanpa menimbulkan suara. Langkah demi langkah membawanya mendekati pada tubuh itu. Matanya yang tajam melihat dengan jelas bagaimana ekspresi dari sang ayah yang terlihat resah dalam tidurnya.

"Mommy... Daddy..."

Melihat dengan jelas bagaimana mulut itu yang terus bergumam memanggil, dan menyebut kedua orang tuanya. Ahh maksudnya kakek dan neneknya...?

Jemarinya tergerak seakan ingin menenangkan. Sedikit lagi jemari itu menyentuh, tetapi malah terambang dengan segala keraguan. Ia menariknya kembali. Berniat pergi tanpa peduli padanya.

Grep

Ditatapnya sebuah tangan yang memegang lengannya. Ia melihat bagaimana mata sang ayah yang terbuka secara samar dan berkedip perlahan.

"Jangan pergi..."

—a y a h—

Ayah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang