halo, tiba tiba ending — sebenernya gak tiba tiba jugaa sih~
seperti yang kalian tau kalo aku awalnya emg mau buat lebih panjang, tapii setelah dua minggu ini berusaha lanjut ternyata nulis satu part aja susah bangeet, jadi aku mutusin buat ending (memang harusnya udah ending di part 50) toh semua konflik sudah mencapai klimaks.
jadi, sebelum mulai membaca chapter ini aku mau minta maaf di atas materai karena endingnya mungkin gak sesuai expect para pembaca. lagi-lagi mau aku ingetin kalau cerita ini bertujuan untuk membahas another side dari nikah muda, married by accident dan tidak menormalisasi hal-hal yang sudah sangat lumrah di masa sekarang.
hope u guys got the point yaa. happy reading y'all!💗
jangan lupa vote dulu plisss😨
o0o
Waktu keberangkatan Azra ke Jepang adalah sekitar dua jam lagi.
Benar, Azra akan pergi hari ini.
Setelah banyak pertimbangan, perdebatan, halangan dan ini itu, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk tetap pergi. Izora sedih, tentu saja. Tapi dia tidak akan bisa menahan agar Azra selalu di sisinya. Dia harus bisa membiarkan dirinya ikhlas agar Azra bisa menggapai cita-citanya. Berproses untuk lebih baik bersama-sama walaupun saat ini, hatinya sangat menolak.
Siang hari, ketiga manusia di keluarga kecil itu tengah makan bersama di restoran sushi sekitar Bandara Soekarno Hatta. Sengaja datang lebih awal untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan dan sekalian menunggu Safa yang juga baru berangkat dari rumah diantar keluarganya.
"Ayah, kapan akoh bisa bersyekolah bersyama Abang Io?" tanya Meysi dengan pipi mengembung karena makanan yang ada di mulutnya belum dia telan.
"Segini, Mey." Azra menunjukan tiga jarinya. "Tiga tahun lagi."
Meysi langsung mencebik. "Itu banyak-banyak syekali, Ayah. Mey ingin syekarang. Ingin pergi syekolah dan bermain bersama Abang."
Si fans nomor satu sepupunya ini membuat Azra terkekeh. "Gak bisa cepet-cepet. Mey 'kan harus TK dulu."
"TK itu apa?" tanya Meysi bingung.
"Taman kanak-kanak. Tempat Mey belajar membaca, menulis, mencari teman baru dan banyak pokoknya. Terus nanti, Mey cuma bisa bareng sama Mbak Cici. Abang Io 'kan bakal ada di kelas yang beda sama kamu, Mey," terang Azra.
Meysi mendengus mendengar itu. "Mey tidak mau TK kalau begitu, Ayah. Mey syudah pintar membaca kok, Ayah."
"Masa?" Meysi mengangguk sambil menyilangkan tangan pendeknya depan dada, berniat sombong. "Coba itu baca tulisan di depan baju Bunda apa?"
Meysi memperhatikan tulisan kecil di sekitar dada t-shirt yang Izora pakai. Tulisannya adalah 97. Meysi menyeritkan dahinya. "Itu, nenen."
Izora dan Azra sontak tertawa mendengar jawaban yang ngaco itu. "Salah, Mey. Ini namanya angka, sembilan puluh tujuh," koreksi Izora sambil membersihkan mulut sang anak dengan tisu. "Mey 'kan udah Ayah ajarin, lupa, ya?"
"Itu benar kok, Bundaa. Itu 'kan ne—" Meysi langsung Izora bungkam dengan salmon yang kini dia masukan ke mulut kecil sang anak. Meysi mengucapkannya dengan polos dan datar tapi sukses membuat Izora malu kecil.
"Ini angka. Nanti belajar lagi ya, Mey," ucap Azra lembut.
"Naka, kamu nanti harus sering pulang buat liat Mey pake baju seragam itu gimana, terus kamu ikut nganterin ke sekolahnya dan nungguin. Terus, terus kamu juga harus tetep ngajarin Mey membaca loh ya setiap hari, pokoknya harus telepon aku sesering mungkin," ucap Izora tegas.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...