BAB 41

56.4K 4.7K 300
                                    

Malam kian beranjak larut, jam di dinding sudah menunjuk pada pukul sebelas lebih sebelas. Deras hujan di luar membuat gelapnya langit kian pekat.

Di tengah ruang tamu apartemen yang redup, Amora meringkuk dalam pelukan Narendra di sofa, memandang lurus pada layar televisi yang menayangkan film lawas The Sound of Music.

Film yang sengaja diputar Narendra tanpa suara, hanya untuk menemani Amora yang belum juga bisa terpejam.

Sebagai pengganti suara film, Narendra membawa gramaphone pemberian Amora setengah tahun yang lalu, dan memutar piringan hitam musik klasik miliknya.

Sudah hampir 30 menit keduanya mendengarkan lagu-lagu gubahan Erik Satie yang sedikit-banyak berhasil membuat pikiran mereka tenang.

Narendra sendiri masih berusaha menata rangkaian perasaan yang memenuhi dadanya. Kumpulan perasaan yang membuatnya enggan beranjak dari sisi Amora, meski jarum jam sudah melewati angka sepuluh.

Sejak pulang ke apartemen dengan keadaan berantakan, baik Narendra maupun Amora tidak saling berbicara terlalu banyak.

Ralat, hanya Narendra saja yang mengeluarkan suara karena Amora belum membuka mulutnya lagi sejak meninggalkan danau kampus.

Sampai di apartemen Amora pun, gadis itu langsung masuk ke kamar mandi, meninggalkan Narendra yang menatap punggung gadisnya gamang.

Laki-laki tersebut juga memutuskan untuk membersihkan diri di apartemennya. Ketika kembali ke unit Amora, Narendra sudah menemukan sang gadis menempati sudut sofa ruang tamu. Duduk termenung dengan kaki tertekuk dan wajah yang tenggelam di antara dua lipatan lututnya.

Sebelum menghampiri Amora, Narendra lebih dulu berjalan ke ruangan walk-in closet, mencari fleece blanket yang dulu pernah Milla simpankan di salah satu lemari.

Usai menemukan sebuah fleece blanket warna cream di antara tumpukan jenis selimut lainnya, Narendra segera kembali ke ruang tamu.

Laki-laki itu duduk di samping Amora, menyelimuti tubuh gadisnya yang hanya berbalut kaus lengan pendek dan celana tiga perempat, padahal udara cukup dingin meski mereka berada di dalam apartemen.

Boleh jadi Amora hanya mengambil asal baju dan celana dalam lemarinya, tidak memperhatikan apakah pakaian yang ia tarik cukup hangat di cuaca hujan sore hari ini.

Begitu Narendra nyaman dengan posisi duduknya, Amora berbalik menyerongkan badan, bersandar pada bahu lebar sang tunangan.

Dan mereka terus berada di posisi tersebut sampai tanpa sadar memejamkan mata masing-masing, tertidur nyenyak di tengah suara hujan.

Keduanya lelap dalam lelah sambil saling memeluk erat.

Tak terasa, matahari sudah terbenam saat Amora membuka mata. Ruang tamu yang gelap menyambut pandangannya. Cahaya lampu kota masuk melalui dinding kaca apartemen, membuat Amora bisa sedikit melihat walaupun samar-samar.

Semburat cahaya remang dari dinding kaca itu hampir membuat Amora larut dalam lamunannya lagi.

Perlahan, gadis itu menegakkan tubuhnya, melepas lingkarang lengan Narendra di pinggangnya–yang malah membuat sang tunangan seketika terjaga.

"Kamu butuh sesuatu?" tanya Narendra dengan suara rendah juga serak khas bangun tidur.

Amora menoleh, menatap tunangannya yang masih bersandar di sofa dengan wajah setengah mengantuk itu. Mata sayu Amora terus terarah pada wajah Narendra, menyorot lamat, penuh pandangan tak terbaca.

Gadis itu mengerdip pelan, sampai Narendra bisa mengamati bulu mata panjang Amora bergerak halus, membuatnya serasa terhipnotis selama beberapa saat.

Rambut panjang Amora yang sedikit berantakan karena dibiarkan tergerai, mulai jatuh perlahan ke sisi wajahnya, lantaran gadis itu masih saja menunduk demi mengamati jengkal demi jengkal wajah sang tunangan.

FIX YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang