PROLOG

26.9K 861 12
                                        

jangan lupa tinggalkan vote dan komen banyak banyakkk biar aku semangatt update-nya yaaaaaaaaaaaaaaaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jangan lupa tinggalkan vote dan komen banyak banyakkk biar aku semangatt update-nya yaaaaaaaaaaaaaaaa

hwappi reading

***

PROLOG


Aku duduk di kursi penumpang, memandangi pria itu yang menggenggam setir tanpa banyak bicara. Kami baru saja sampai di depan kompleks apartemenku. Lampu jalan yang temaram masuk melalui kaca depan menciptakan bayangan samar di wajahnya.

Ini sudah ketiga kalinya. Tolong dicatat. Ketiga kalinya. Pria yang kupikir adalah calon suamiku ini memberi alasan untuk kembali mengundur tanggal pernikahan kami. Aku tahu dia tidak bodoh. Dia pasti mengerti betapa sulitnya aku menjelaskan semua ini kepada kedua orang tuaku, terutama Mama, yang denganmata berbinar sudah mulai membayangkan dekorasi pernikahan dan warna kebaya yang akan ia kenakan.

Dia membuang muka, menatap lurus ke depan, menghindari tatapanku. "Aku butuh... waktu," gumamnya.

Aku tertawa kecil—lebih ke tawa getir yang sarat dengan kekecewaan. Aku merasa udara di dalam mobil tiba-tiba menjadi sesak, menciptakan sensasi seolah aku baru saja menelan sesuatu yang basi. "Gak sekalian dibatalin aja?" selorohku.

Kata-kataku membuatnya menoleh. Matanya melebar, tampak terkejut, sebelum akhirnya ia menundukkan kepala. Wajahnya menekuk, seakan menyesali sesuatu.

"Maaf," bisiknya.

Maaf.

Aku sudah mendengar kata itu berkali-kali. Seperti kaset rusak yang terus mengulang bagian yang sama tanpa pernah mencapai akhir lagi. Maaf, maaf, maaf. Seolah itu bisa memperbaiki segalanya.

Aku menghela napas kecil, berusaha mengatur emosi yang mulai memuncak. "Kamu masih belum selesai sama cinta lama kamu itu?"

Ia diam. Tak ada pembelaan. Tak ada penjelasan. Diamnya terasa seperti tamparan keras untukku.

"Kamu masih cinta sama dia?" tanyaku lagi, menatapnya tajam.

Dia tetap diam, dan kesunyian itu membuatku semakin marah.

"Jawab aku, brengsek!" aku memekik, dan merasakan mataku mulai menghangat.

Dia menggenggam setir lebih erat, kepalanya menunduk, tidak berani menatapku sama sekali.

"Aku rasa, aku udah selesai, tapi... aku gak tau apa yang aku rasain, Tira," cicitnya.

Aku terdiam. Ada rasa perih yang menjalar di dadaku.

"Dua tahun," gumamku, "aku sadar, dua tahun ini gak ada apa-apanya dibanding tiga tahunmu sama dia."

Dia menutup matanya sesaat, lalu membuka mulutnya seperti ingin berkata sesuatu.

"Aku gak bermaksud nyakitin kamu, aku—"

"Tapi kamu nyakitin aku," potongku cepat.

Dan untuk pertama kalinya sejak tadi, aku melihat ekspresi bersalah yang nyata di wajahnya. Aku sudah lelah menjadi orang yang selalu memahami.

"Dua kali," lanjutku, suaraku melemah, "dua kali aku kasih kamu ruang buat beresin masa lalu kamu sama dia. Dua kali aku tutup mata, berharap kamu akhirnya yakin sama aku. Tapi nyatanya? Kamu masih ragu."

Jari-jariku menyentuh cincin di jari manisku, mengelusnya perlahan. Aku ingat saat pertama kali dia menyematkannya di sana, dengan janji-janji yang terdengar begitu indah. Janji yang kini terasa seperti kebohongan.

"Sekarang, kamu bisa ambil waktu sebanyak yang kamu mau," kataku pelan, "tapi aku gak akan nungguin kamu lagi."

Aku menyimpan cincin itu di atas dashboard, kemudian membuka pintu tanpa menoleh lagi padanya.

Aku memutuskan untuk mengakhirinya, meski hatiku terasa retak.

Mungkin benar, ada yang tak pernah selesai—bukan hanya dari masa lalu, tapi juga dari diri mereka sendiri.

***

gimana?

gimana?

gimana?


Sabtu, 1 Februari 2025 14:25

love, mirna.

ALMOST, ALWAYS, AFTER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang