“Jadi, lu beneran nggak mau kasih tahu gue apa pun?”
Yeonjun nyorot Beomgyu kayak dosen killer pas nemu mahasiswa nyontek. Udah malem, suhu dingin, tapi emosi Yeonjun lebih panas dari kompor gas. Apartemen Soobin kosong melompong. Bau lavender khas omega itu masih nyisa di udara, tapi makin tipis kayak pulsa seribu.
“Nggak ada yang bisa gue kasih tahu, Jun.” Beomgyu di depan Yeonjun dengan muka sekaku nasi basi. “Soobin bilang dia butuh waktu sendiri. Udah, gitu doang.”
Yeonjun ngelus pelipis, napasnya berat. “Waktu sendiri? Dia ngilang gitu aja? Lo pikir gue bego, Gyu? Ada sesuatu yang lo sembunyiin, kan?”
Beomgyu diem. Matanya ngehindarin tatapan Yeonjun yang tajemnya bisa motong besi.
“Dia pergi waktu heat terakhirnya,” suara Yeonjun turun dikit, kayak ngomong ke diri sendiri. “Dan dia nggak bilang apa-apa ke gue setelah itu.” Dia mendengus. “Gue nggak pernah maksa, Gyu. Tapi setidaknya dia harus ngomong, kan?”
Beomgyu ngunyah bibirnya, tapi tetep diem.
Yeonjun ngehembusin napas kasar dan berbalik. Langkah kakinya berat pas ninggalin tempat itu.
Tapi kepalanya? Isinya kayak labirin penuh pertanyaan yang nggak ada jawabannya.
Enam bulan kemudian
Soobin mandang perutnya yang udah buncit. Tangannya ngusap pelan, senyum rapuh muncul di bibirnya.
“Maaf ya, Nak,” bisiknya. “Mama nggak tahu bisa nggak ngelakuin ini sendirian.”
Desa kecil tempatnya ngumpet dingin, tapi keringet di punggungnya bikin dia nggak nyaman. Dia nutup mata, tapi bayangan Yeonjun muncul lagi. Senyum Yeonjun, tatapan percaya dirinya, cara cowok itu ngerangkul dia seakan dia pusat dunia.
Terus, malam itu.
Malam yang nggak seharusnya terjadi. Malam yang bikin dia bangun dengan perasaan aneh di dada dan dua garis merah di test pack seminggu kemudian.
Soobin bukannya nggak mikir buat kasih tahu Yeonjun. Dia mikir. Terus. Tiap malam, tiap kali ngerasain bayi di perutnya nendang, tiap kali dia kebangun dengan air mata.
Tapi dia takut.
Takut Yeonjun bakal ngeliat anak ini sebagai beban. Takut Yeonjun bakal ngerasa kejebak. Takut kalau dia berharap terlalu banyak dan akhirnya cuma kecewa.
Jadi dia pergi.
Karena lebih gampang ngehindar daripada lihat Yeonjun ngelihat dia dengan tatapan ‘gue nggak siap jadi bapak’.
.
Yeonjun nggak pernah berhenti nyari.
Setiap tempat yang pernah Soobin datengin, tiap orang yang kenal dia, tiap sudut kota yang mungkin jadi tempat persembunyian. Tapi Soobin kayak kabut pagi, ngilang sebelum bisa disentuh.
Malam-malam panjangnya makin berat.
Setiap dia coba tidur, bayangan Soobin muncul. Tawanya, suaranya, bau lavender yang bikin dia tenang. Dan malam itu—malam yang seharusnya jadi awal, tapi malah berubah jadi akhir.
Dia nggak tahu apa yang dia lakuin salah. Dia nggak tahu kenapa Soobin pergi tanpa bilang apa-apa.
Tapi dia bakal nemuin Soobin.
Beberapa bulan kemudian
Soobin ngerem mendadak di atas kasur, tubuhnya tegang pas kontraksi lain datang. Tangannya ngeremas selimut, napasnya berat, keringatnya ngucur kayak habis lomba lari.
“Santai, Nak.” Bidan tua yang ngebantuin dia senyum tipis. “Udah hampir selesai.”
Soobin ngangguk lemah, terus ngumpulin tenaga terakhirnya buat satu dorongan kuat.
Dan tiba-tiba ruangan itu penuh sama suara tangisan bayi.
Bidan nyodorin bayi mungil itu ke pelukan Soobin. “Laki-laki,” katanya lembut.
Soobin ngerasa dunia berhenti sebentar. Jantungnya nyut-nyutan, tapi bukan karena sakit. Karena ada makhluk kecil ini di tangannya. Makhluk yang mirip dia... tapi lebih mirip Yeonjun.
Air matanya jatuh. “Hai, Nak,” bisiknya. “Kamu indah banget.”
Tapi sebelum dia sempet menikmati momen itu, pintu kabin kebuka. Keras.
Soobin kaget, jantungnya hampir loncat dari dada.
Di ambang pintu dengan napas tersengal dan mata yang lebih gede dari piring, berdiri Yeonjun.
“Soobin?”
Suara itu serak.
Tatapan Yeonjun ngunci ke Soobin—terus ke bayi di pelukannya.
“Lo… punya anak? Anak kita?”
Soobin buka mulut, tapi nggak ada suara yang keluar. Hawa tiba-tiba berat.
Yeonjun ngelangkah maju, wajahnya campur aduk antara marah, bingung, dan sesuatu yang nggak bisa Soobin baca. “Kenapa lo nggak kasih tahu gue?” bisiknya.
Soobin nunduk. Air matanya jatuh ke pipi bayinya. “Gue takut.” Suaranya lirih. “Takut lo nggak nerima. Takut lo nggak mau gue.”
Yeonjun berlutut di depan dia, tangannya ngusap pipi Soobin pelan. “Bin, lo pikir gue peduli soal itu?” Tatapannya tegas. “Gue nggak peduli kalau kita bukan mate. Lo segalanya buat gue. Dan sekarang…” Dia nengok ke bayi di pelukan Soobin, senyum kecil muncul. “Kita punya segalanya. Lo, gue, dan dia.”
YOU ARE READING
What You Want • yeonbin
Fanfictionyeonbin drabbles collection from either fresh or old jokes, also some random shit around yeonbin Remake from Lead a Double Life ©2023, nanahachi-78
