"Mencintai akan selalu menjadi hal yang menyenangkan. Layaknya kau yang mencintai salju di antara semua musim, bintang-bintang yang tak selalu sejajar, dan malam yang tak selalu indah."
🥀🥀🥀
Di antara ribuan bunga yang merekah dengan indahnya menunjukkan pesona terbaik yang dimiliki, pria bersurai kuning itu tetap bertahan pada lamunannya. Memandang lurus pada cakrawala yang membentang luas. Tidak ada yang tahu apa yang sedang menguasai pikirannya. Lebih tepatnya, tidak ada satupun orang yang berada di sekitarnya.
Tatapan itu terlihat kosong. Tidak ada sorot hasrat yang biasanya dimiliki oleh para pria bangsawan.
Jemarinya ia biarkan tersembunyi di kedua saku celananya. Menolak kehadiran cerutu yang biasanya akan dihisap oleh para pria matang sepertinya.Kedua kelopak matanya terpejam. Menikmati hembusan angin yang menyapu wajah indahnya. Mengantarkan hewan bersayap yang terbang mengepakkan sayapnya. Merpati putih.
"Kau tiba," lirihnya seakan tahu bahwa peliharaannya itu mendekat. Bersamaan dengan itu, jemari yang tersembunyi kini ia bebaskan, menyambut kedatangan merpati tersebut untuk bertengger.
Dengan perlahan, ia mengelus puncak kepala sang merpati. Kedua sudut bibirnya mulai tertarik ke atas membentuk lekungan sabit kala berhasil bertukar pandang dengan netra kecil sekelam malam yang menunjukkan bayangan dirinya.
"Merindukanku?" tanyanya seakan merpati itu mampu mendengar. Terlihat aneh memang, tapi ini adalah hal yang menjadi hobinya. Berkomunikasi adalah salah satu bentuk perhatiannya. Ia yakin, hewan itu mampu mendengar dan memahaminya.
Kedua kakinya melangkah maju menelusuri taman kerajaan lebih dalam. Memasuki labirin rumput bersama dengan merpati putih yang masih duduk manis di lengannya. Seakan telah menghapal dengan baik, ia tidak ragu untuk memasuki labirin yang bisa saja menyesatkannya dan membuatnya sulit untuk kembali ke posisi awal.
"Kita telah tiba. Kau bisa bermain," ujarnya melepaskan burung tersebut untuk mengitari kanvas putih yang terlihat bersih tanpa ada corak warna. Tepat di sebelahnya, terdapat alat lukis yang juga telah disiapkan.
Senyuman yang sejak tadi ia tunjukkan kini menghilang, tergantikan oleh ekspresi datar dengan sorot yang menatap lekat pada kanvas tersebut. Kedua netra emasnya mengunci seakan benda tersebut adalah orang yang paling ia benci.
"Kenapa? Kenapa kau seakan mengutukku?"
Hening. Tidak ada jawaban. Ia berbicara pada benda mati yang tidak akan pernah membalas pertanyaannya ataupun bahkan mendengar dan memahaminya.
Dengan kedua tangan yang terkepal, ia melempar semua tinta yang terletak di atas meja ke sembarang arah. Ia bahkan kini mulai mematahkan satu persatu kuas dengan berbagai ukuran. Melampiaskan semua emosinya.
"Di kehidupan ini, aku akan memilih takdirku sendiri, Gretta."
🥀🥀🥀
"Duchess! Apakah anda baik-baik saja?" tanya Fleur panik. Dia benar-benar khawatir saat melihat Gretta yang sedang batuk sembari mengelus dada.
"Aku hanya makan terlalu cepat," ujarnya setelah berhasil menguasai diri dan melawan jauh rasa menjanggal di tenggorokannya.
Gretta kembali mengambil kudapan yang tersaji di hadapannya. Ia bahkan terlihat tidak khawatir akan batuk lagi. Sangat bersemangat mengunyah dan merasakan kenikmatan tiada tara di lidahnya. Tidak tahu apakah indra pendengarannya terganggu jika sedang makan, tapi ia bahkan tidak sadar jika di belakangnya telah berdiri Fredric dengan setelan formal. Menatap segala tingkah lakunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Duchess of Valtor
Historical FictionGretta Quinley harus menyandang gelar Duchess of Valtor atas paksaan kakaknya. Mengubur semua impiannya untuk menjadi Ratu di masa depan bersama sang kekasih, Putra Mahkota Kekaisaran Douglas. Gretta pikir menikah dengan Duke Fredric Caradoc of Val...