#2

16 2 0
                                        

Embusan angin dingin yang lembut menebarkan daun-daun ginkgo yang menguning di sekitar Paviliun Musim Gugur. Cahaya matahari yang redup menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola bayang-bayang samar yang bergerak pelan di atas tanah. Paviliun itu, meski hanya berupa bangunan sederhana dari kayu, tapi tetap memiliki kesan anggun yang menawan di antara pepohonan ginkgo yang mulai meranggas.

Terletak di sudut paling utara kompleks rumah besar Kazama, memberikan Paviliun Musim Gugur sebuah keheningan dan ketenangan yang tak biasa. Hanya bunyi angin, gesekan daun, atau dengung serangga saat musim panas, menjadi satu-satunya suara yang dikenali. Kedamaian yang sunyi itu tercipta alami, seakan memberi batas yang tegas antara hiruk-pikuk dunia luar dan ketentraman di sana.

Chikage baru saja keluar dari paviliun dengan langkah sedikit berat. Derit halus terdengar saat kakinya menyentuh lantai kayu di sepanjang koridor terbuka, seolah bangunan itu sedang mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dia berhenti sejenak. Tubuh remajanya yang mulai menjulang tinggi itu berbalik, menatap kembali ke arah bangunan yang dia tinggalkan di belakang. Entah dari mana datangnya bisikan itu, tapi hatinya seakan mengatakan bahwa itu adalah terakhir kalinya dia akan menginjakkan kaki di sana. Sebuah perpisahan. Lagi-lagi hatinya seperti ditimpa oleh beban tak kasat mata.

Dia menghirup napas dalam-dalam, meraup sebanyak yang dia bisa hingga dadanya penuh dan beban itu akan keluar bersama udara yang diembuskannya kembali. Dia ingat kata-kata ayahnya bahwa perasaan sentimentil seperti yang dia rasakan saat itu akan mengganggu segala keputusan yang akan dia ambil ketika menjadi pemimpin kelak. Maka, segera dia menepis kembali emosi tak masuk akal itu.

Genggaman pada pedang yang diberikan oleh Chiyo beberapa saat lalu semakin erat. Tubuhnya kembali berbalik, menatap tajam dan lurus ke depan. Koridor terbuka di hadapannya terlihat begitu panjang bagai jalan setapak sunyi yang harus dia tempuh dalam perjalanannya memikul sebuah tanggung jawab. Di kejauhan, atap melengkung aula utama rumah mereka terlihat. Di tempat itu, Chigen sedang menunggunya. Dengan segera Chikage memantapkan langkah. Wajahnya yang tampan berubah mengeras dan dingin. Ekspresi lembut yang dia tunjukkan ke ibunya tadi pun telah sirna.

***

"Sudah selesai bertemu dengan ibumu?" Suara Chigen yang terdengar dingin, tapi berwibawa itu langsung menyambut begitu Chikage memasuki aula utama.

Langkahnya terhenti sejenak, memperhatikan sang ayah yang tampak mengintimidasi dengan sikapnya. Pria yang telah memimpin desa selama lebih dari tiga puluh tahun itu duduk di tepi jendela dengan kaki setengah terlipat hingga kimono hitam dengan sulaman emas khas Keluarga Kazama itu sedikit tersingkap. Chikage juga bisa menghirup bau samar tembakau dari pipa panjang yang sedang digenggam tangan kirinya. Asap putih tipis mengepul dari ujung pipa yang berbahan tembaga, mengisi ruangan dengan aroma yang mengingatkannya akan malam-malam penuh diskusi panjang bersama ayahnya dan para tetua desa selama sebulan terakhir.

"Sudah," jawab Chikage singkat seraya menunjuk pedang pendek yang terselip di pinggangnya.

Chigen mengangguk, bergumam bagus dan memuji Chikage sebagai anak yang berbakti, lalu kembali menghisap pipa tembakaunya. Sorot matanya yang dalam dan penuh karisma menatap ke luar jendela, seakan melihat jauh melampaui pemandangan desa.

Chikage kembali melangkah, berjalan dengan langkah yang mantap hingga bunyi derap bergema di seluruh ruangan. Sebenarnya ada sedikit perasaan tertekan ketika dia berdekatan dengan ayahnya. Chigen memiliki martabat dan kemuliaan tinggi sebagai seorang pemimpin klan Oni terbesar di Barat. Dia begitu dihormati, baik dari ras Oni sendiri ataupun manusia. Secara alami, orang-orang di sekitarnya akan merasakan efek dominasi itu dan memilih untuk menjaga jarak dengannya. Apalagi didukung oleh penampilan Chigen yang bertubuh liat. Rambutnya yang sepekat malam dibiarkan panjang diikat sedikit berantakan. Sedangkan sepasang mata yang lebih gelap dari kayu aras itu selalu memiliki tatapan tajam, membuat orang lain tampak begitu segan.

Blossoming Flame: Beneath the Crimson Sky [Book 1]Where stories live. Discover now