Lawang—Malang, Mei 1911.
Musim hujan perlahan berlalu, meninggalkan udara lembap dan tanah basah yang subur. Di bawah naungan Gunung Arjuno, kebun-kebun teh yang hijau terbentang luas, membentengi desa kecil yang terperangkap dalam bayang-bayang kolonialisme.
Meskipun sistem tanam paksa (cultuurstelsel) telah dihapus sejak 1870, jerat eksploitasi belum benar-benar sirna. Perusahaan swasta Belanda mengambil alih, memperkenalkan sistem baru yang tak kalah menindas. Bagi para buruh pribumi, kerja keras dengan upah minim tetap menjadi kenyataan pahit yang harus mereka telan.
Di tengah kebun teh sunyi hanya oleh suara dedaunan yang disentuh, seorang wanita paruh baya berhenti sejenak. Wajahnya memucat, tubuhnya limbung. "Cuaca hari ini sangat panas menyengat, pandangan Ibu mulai kabur, Nak," katanya lemah kepada gadis muda di sampingnya—Zamirah Ardhaningroem Soedrajad.
Mendengar hal itu, Zamirah berhenti memetik. Mata gelisah nan indah itu menatap sang ibu—Rasminda—yang terlihat sangat kelelahan. Peluh bercucuran pada keningnya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih tubuh Rasminda, membantunya duduk di atas tanah yang lembap. "Jangan dipaksakan. Ibu duduk saja disini dahulu, biar Mirah yang melanjutkan ini semua."
"Tidak, Nak—"
"Sudahlah, Ibu. Mirah tidak ingin suatu hal buruk terjadi pada dirimu."
Wanita itu terdiam, menyerah pada perhatian anaknya. Ia mengangguk lemah, lalu duduk bersandar pada batang teh yang rendah. Zamirah kembali berdiri, menggulung lengan bajunya, dan melanjutkan tugas memetik daun teh yang tak pernah usai itu.
Terdengar langkah berat sepatu kulit menapak di tanah ini. Dari ujung kebun, seorang pria Belanda bertubuh tinggi berjalan dengan kedua tangan yang berada pada belakang pinggul. Dia adalah sang tuan tanah, tugasnya mengawasi perkebunan yang luas ini. Dengan netra yang menelisik setiap inci, ia menyusuri lahan dengan tatapan tajam, memastikan setiap buruh bekerja tanpa henti.
Naas dari kejauhan, kedua mata coklatnya menangkap sesuatu yang membuat alis berkerut. Seorang wanita terlihat duduk, tangan mengibas-ngibas wajah seolah mengusir gerahnya hawa. Hal ini membuat kemarahannya memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia mempercepat langkahnya menuju buruh itu.
Setibanya di sana, dia melihat Zamirah berdiri menutupi ibunya, masih sibuk memetik daun teh. Dengan kasar, pria tersebut meraih bahu sang gadis dan mendorongnya ke samping. Zamirah terhuyung, hampir jatuh ke tanah.
"Kau! Ya, kau, pribumi lemah!" ujarnya naik pitam, telunjuknya mengarah pada wajah wanita paruh baya yang sedari tadi masih terduduk. "Apa yang kau lakukan? Memangnya kebun ini milikmu, hingga kau bisa bermalas-malasan?"
Zamirah, meski diliputi rasa takut, segera melangkah maju, berdiri di antara pria itu dan ibunya. Napasnya tercekat tatkala ia menyingkirkan tangan kasar yang berani menunjuk Rasminda.
"Dia ibuku!" katanya, suaranya bergetar namun penuh keberanian.
Sang tuan tanah mendekat, tubuhnya menjulang tinggi di atas gadis itu. "Ibumu lelah, ya? Saya tidak peduli! Saya membayar untuk hasil, bukan alasan. Do you think these tea leaves can pick themselves, Bastard?"
Zamirah mengepalkan tangan saat dia menghinanya, amarah membakar dalam diri. Namun, dia tahu betul posisi mereka. Dirinya tidak punya kekuatan melawan sistem yang telah mencengkram keluarga begitu dalam. Ia menatap lawan bicaranya dengan penuh harap. Suaranya sedikit bergetar, tapi tekadnya jelas. Dirinya mengembuskan napas sejenak, lalu berkata, "Please... give her time. I... I promise, just little time."
Namun, sebuah permohonan hanya membuat pria itu semakin marah. Dia melangkah lebih dekat, hingga sepatu kulitnya hampir menginjak ujung kaki Zamirah.
"Saya tidak butuh apapun bentuk kalimat yang terlontar dari bibirmu. Kalian bekerja, atau kalian pergi. Itu saja pilihannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Colonies [COMING SOON]
Historical FictionON HOLD Terjebak dalam kolonialisme tanpa akhir, Zamirah berjuang menghadapi tekanan yang membelenggunya. Kekejaman penjajah Belanda terhadap pribumi tak terhindarkan. Meski tanam paksa diklaim usai, di Malang---Lawang, kenyataan berkata lain. Saa...