Bab 1 : Jejak Langkah ke Selatan

13 1 0
                                    


Pagi itu, langit Majapahit berwarna biru cerah, dihiasi awan putih yang seolah melayang dengan santai. Udara pagi membawa aroma basah tanah yang baru diguyur embun, bercampur harum bunga kenanga dari taman istana. Suara gamelan terdengar lembut dari pendopo utama, mengiringi langkah-langkah kecil para abdi dalem yang sibuk mempersiapkan keberangkatan rombongan Prabu Hayam Wuruk.

Di halaman istana, beberapa kuda berdiri berjajar, lengkap dengan pelana sederhana, jauh dari kesan megah. Hayam Wuruk berdiri di tengah halaman, mengenakan pakaian rakyat biasa: kain batik sederhana berwarna cokelat dan ikat kepala dari kain lurik. Wajahnya yang biasanya memancarkan aura kebangsawanan kini terlihat sederhana namun tetap memikat.

Gajah Mada mendekat dengan langkah mantap, diikuti oleh seorang pria berbadan kurus namun berwibawa, Mpu Prapanca, sang juru tulis kerajaan yang akan mencatat setiap detail perjalanan mereka.

"Gusti Prabu," ujar Gajah Mada dengan nada penuh hormat, "kuda dan segala keperluan perjalanan telah disiapkan. Hamba juga telah memastikan bahwa para prajurit pilihan menyamar sebagai pedagang garam dan hasil bumi."

Hayam Wuruk mengangguk pelan. "Baik, Mahapatih. Hari ini kita bukanlah raja dan para petinggi. Kita adalah rakyat yang hidup dari tanah dan laut. Jangan ada satu pun yang membawa tanda kebesaran Majapahit."

"Titah paduka akan kami jalankan dengan penuh kehormatan," jawab Gajah Mada sambil memberi isyarat kepada para prajurit untuk menanggalkan lambang-lambang kerajaan dari pakaian mereka.

Mpu Prapanca yang berdiri di sisi Gajah Mada tersenyum tipis, menatap Hayam Wuruk dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. "Gusti Prabu, bolehkah hamba bertanya?"

"Tanyakanlah, Mpu. Aku tahu pertanyaanmu selalu memiliki makna," balas Hayam Wuruk dengan nada lembut.

"Apakah perjalanan ini murni untuk melihat keadaan rakyat, atau ada sesuatu yang lebih besar yang paduka cari?"

Hayam Wuruk menatapnya sejenak, lalu berkata, "Rakyat adalah sumber kekuatan kita, Mpu. Tetapi aku juga mencari pemahaman. Apakah aku pantas disebut raja jika aku tidak tahu apa yang terjadi di ladang garam, di kebun kapas, atau di hutan serat nanas? Aku ingin mendengar suara mereka, tanpa sekat singgasana."

Mpu Prapanca mengangguk pelan, sambil mengelus janggutnya yang sudah mulai memutih. "Maka hamba akan mencatat perjalanan ini dengan jujur, sebagaimana adanya, untuk menjadi saksi bahwa seorang raja yang besar adalah raja yang mengenal rakyatnya."

Rombongan kecil itu meninggalkan istana dengan langkah yang tenang. Mereka hanya terdiri dari Hayam Wuruk, Gajah Mada, Mpu Prapanca, dan dua prajurit pilihan yang menyamar sebagai pedagang. Setiap dari mereka membawa kuda yang memuat beberapa karung garam dan hasil bumi, sebagai bagian dari penyamaran mereka.

Perjalanan dimulai dari jalan berbatu yang melewati sawah dan ladang. Hayam Wuruk menatap hamparan padi yang menguning, seolah-olah mengingatkan bahwa kejayaan Majapahit bertumpu pada kerja keras para petani yang jarang disebut dalam kisah-kisah besar kerajaan.

"Mahapatih," ujar Hayam Wuruk sambil memandangi seorang petani yang tengah menanam bibit di tengah lumpur, "apa menurutmu yang membuat rakyat bekerja sekeras ini, meski mereka tahu hasilnya mungkin tak seberapa?"

Gajah Mada memandang petani itu sejenak sebelum menjawab. "Gusti Prabu, mereka bekerja bukan hanya untuk perut mereka, tetapi untuk harapan. Harapan bahwa hasil bumi mereka akan membuat anak-anak mereka hidup lebih baik. Harapan itulah yang membuat mereka bertahan."

Hayam Wuruk mengangguk pelan. "Harapan... maka tugas kita adalah menjaga agar harapan itu tidak pernah pudar."

Saat mereka melintasi hutan yang rimbun, suara burung-burung dan gemerisik daun menjadi irama perjalanan mereka. Gajah Mada, yang selalu waspada, memberikan isyarat kepada prajurit untuk berjaga-jaga.

"Hutan ini indah, tetapi juga berbahaya," ujar Gajah Mada sambil mengamati sekeliling.

"Apakah kau khawatir, Mahapatih?" tanya Hayam Wuruk sambil tersenyum tipis.

"Bukan soal khawatir, Gusti Prabu. Tetapi seorang pemimpin yang bijak harus selalu bersiap untuk hal yang tak terduga."

Mpu Prapanca tertawa kecil. "Mahapatih, tidakkah perjalanan tanpa ancaman terasa hambar bagi seorang petualang sejati?"

Gajah Mada melirik sahabatnya dengan tatapan serius, tetapi ada senyum kecil di sudut bibirnya. "Dan tidakkah perjalanan yang penuh ancaman membuat seorang petualang memahami arti keberanian?"

Hayam Wuruk hanya tersenyum, menikmati perdebatan ringan antara dua orang yang ia hormati. Dalam hati, ia merasa bersyukur memiliki pendamping-pendamping yang bijaksana.

Menjelang siang, mereka tiba di sebuah perkampungan kecil di tepi hutan. Anak-anak berlarian sambil tertawa, sementara beberapa wanita tengah menumbuk padi di depan rumah mereka. Para pria terlihat sibuk memindahkan tumpukan kelapa ke gerobak yang akan dibawa ke pasar.

Seorang pria tua yang tampak seperti kepala desa mendekat dengan langkah hati-hati.

"Selamat datang, para pedagang. Apakah kalian datang dari utara?" tanyanya dengan nada ramah.

Hayam Wuruk, sebagai Raden Panawu, membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat. "Benar, kami membawa garam dan hasil bumi. Tetapi kami juga ingin mendengar kabar tentang tanah ini. Apakah panen tahun ini baik?"

Pria tua itu menggeleng pelan. "Angin dari selatan membawa ombak yang tinggi. Ladang garam kami banyak yang rusak. Hasil panen kelapa dan kapas juga tak sebanyak tahun lalu. Tetapi kami bertahan, sebagaimana selalu."

Hayam Wuruk menatapnya dengan sorot mata dalam. "Bertahan adalah tanda kekuatan. Tetapi kekuatan itu tidak boleh berjalan sendiri. Rakyat seharusnya tidak hanya bertahan, melainkan hidup dengan layak."

Pria tua itu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kata-katamu seperti kata seorang pemimpin, bukan pedagang biasa."

Gajah Mada segera menimpali dengan tawa kecil. "Pemimpin? Ah, Pak Tua, Raden Panawu hanya pandai bermain kata. Tetapi ia tidak lebih dari pedagang yang menjual garam dengan harga murah."

Pria tua itu tertawa, dan suasana menjadi cair. Namun di hati Hayam Wuruk, kata-kata pria itu menggema. Perjalanan ini baru dimulai, tetapi ia sudah melihat sekilas beban yang dipikul rakyatnya. Ia tahu, tugasnya sebagai raja jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

SELIR  "Penakluk Hati Sang Raja"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang