Part 24. Sebuah Rahasia

37.4K 151 12
                                        

Pukul dua siang, pak Rahmat mengantarkan Inaya ke sebuah kafe yang sempat dijanjikan Inaya kepada suaminya.

Tadi setelah sarapan, Inaya dan pak Rahmat sempat melakukannya lagi sebanyak dua kali. Satu di ruang tamu, satu lagi di kamar mandi dan dilanjutkan dengan membersihkan diri mereka masing-masing.

Sungguh gila, untuk pertama kalinya Inaya berhubungan badan sambil melihat beberapa kendaraan lalu lalang lewat jendela ruang tamu. Ruangan dimana dia tanpa sengaja mempertontonkan auratnya di hadapan kang ojol.

"Makasih, pak. Udah dianterin," ucap Inaya manis dengan mengenakan seragam dinas coklat beserta atribut lengkap. Sudah sangat meyakinkan jika dirinya baru saja pulang mengajar.

"Sama-sama, sayang," balasnya sembari mengulurkan tangannya yang kemudian dicium oleh Inaya.

Lalu dengan naluri masing-masing, mereka secara otomatis mendekatkan bibir mereka hingga satu kecupan singkat di bibir yang menjadi ritual wajib sebelum berpisah terealisasi.

"Bapak hati-hati di jalan, yah." Inaya kemudian hendak membuka pintu mobil sebelum dicegah oleh pak Rahmat.

Inaya pun kembali menoleh. "Kenapa, pak?" Pak Rahmat tersenyum seraya berkata. "I love you, Inaya." Yang diberi ucapan mukanya bersemu merah. "I love you too, pak Rahmat."

Mereka berciuman sekali lagi sebelum Inaya betulan keluar dari mobil. Setelah mobil pak Rahmat menghilang dari pandangan, Inaya langsung mengirimkan pesan ke suaminya untuk menjemputnya.

Dirinya menunggu di salah satu meja. Tak berselang lama, sebuah mobil yang ia kenali berhenti di depan kafe. Inaya buru-buru menghampirinya dan masuk ke dalam.

"Udah lama nunggunya, sayang?" tanya Bara. "Belum lama, kok. Ini juga barusan temenku baru pulang," jawab Inaya tenang tanpa menatap mata suaminya.

Inaya juga bingung, kenapa sekarang dia sangat lepas untuk berbohong. Tidak ada sama sekali tekanan atau rasa bersalah seperti sebelum-sebelumnya. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

Setelah mengantar Inaya ke kafe, pak Rahmat pergi menuju rumah sakit. Dari pagi Dina mencoba menghubunginya namun sengaja tidak ia angkat karena sedang merengkuh kenikmatan bersama Inaya.

Di sana ada dua puluh tiga panggilan tak terjawab dan beberapa rentetan chat yang belum sempat ia baca. Sesampainya di rumah sakit, pak Rahmat langsung menuju ruangan tempat istrinya dirawat.

Pak Rahmat masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan dirinya terkejut melihat pemandangan tak terduga yang ada di dalam.

"Ekhemmm...!!!" Pak Rahmat sengaja batuk yang membuat dua orang di dalam kaget. Mereka pun menoleh ke arah sumber suara.

"E...ehh, bapak. Dari pagi kemana aja, pak? Dina telponin gak diangkat!" protes Dina dengan wajah tegang. Bahkan bulir keringat langsung keluar dari pori-pori dahinya meskipun ruangan ber-AC.

"Maaf, Din. Tadi pagi badan bapak lagi enggak enak badan, kayaknya agak demam. Makanya bapak pake jaket, soalnya agak menggigil," ujar pak Rahmat memberikan alasan.

Padahal jaket turtle neck yang dipakainya semata-mata hanya untuk menutupi cupangan dari Inaya.

"Suami kamu mana?" Pak Rahmat balik bertanya seraya matanya berpindah-pindah di antara dua orang di depannya.

"Mas Rizal pagi ini harus berangkat kerja jadi dia pulang dulu, soalnya Dina mau ikut pulang gak tega sama ibu. Bapak juga sih dihubungi susah banget dari pagi!"

Pak Rahmat tidak menjawab namun matanya masih setia menatap dua orang di hadapannya bergantian. Dina paham maksud tatapan ayahnya itu. Dia pun menoleh ke samping.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang