Ayasa's Journey | Part 4

2 1 0
                                        

Brughh

"Kalo jalan itu lihatnya ke depan, bukan ke bawah."

Ayasa mendongak untuk melihat siapa gerangan orang yang ia tabrak sampai dirinya mental dan jatuh. Ayasa mengernyitkan dahinya saat merasa bahwa ia tidak asing dengan sosok di depannya.

"Kamu yang waktu itu nemuin topi aku?" tanyanya dengan ragu.

"Siapa?"

"Kamu."

Lelaki di depannya mengangkat bahunya, "Enggak tau, lupa."

Setelah mengatakan itu, lelaki yang tingginya Ayasa perkirakan 183 cm itu langsung melangkah pergi.

Ayasa menahan tangan sosok itu, "Nama kakak siapa?"

"Kean." Setelah mengatakan hal itu, lelaki yang menyebut dirinya Kean itu langsung melepaskan tangan Ayasa yang masih menggenggam tangannya, lalu berjalan pergi meninggalkan Ayasa yang masih terbengong sembari menatap tangannya.

"Kak Kean," gumam Ayasa sembari tersenyum kecil.

"Aduh, lupa bilang makasih lagi. Bego banget sih, Asa. Abis ini kan belum tentu ketemu lagi," gerutu Ayasa merutuki kebodohannya sepanjang jalan menuju kantin.

By the way ospek sudah berakhir dua hari lalu. Sejak dua hari lalu, Ayasa telah resmi menjadi siswi SMA Ki Hajar Dewantara. Kabar baiknya adalah ia dan Beva berada di satu kelas yang sama.

"Bev, gue udah tau nama kakak yang nemuin topi gue." Ayasa menarik kursi di depan Beva yang sedang menulis pesanannya.

"Oh, ya? Siapa? Udah bilang makasih kan lo?"

"Kak Kean namanya, sayangnya gue enggak sempet bilang makasih lagi," ucap Ayasa sembari mengangkat bahunya.

Beva memutar bola matanya malas, "Emang dasar bego, sempet tanya nama tapi enggak sempet bilang makasih."

"Gue lupa banget anjir, enggak boong. Lo pesen apa?" Ayasa memilih untuk mengalihkan pembicaraan—supaya tidak terus disudutkan oleh Beva atas tingkah bodohnya.

"Mie nyemek sama esteh, lo mau apa?" tanya Beva.

***

Ayasa menatap formulir di tangannya. Menatap bingung sekaligus senang. Saat jam istirahat tadi Ayasa diminta untuk menemui Pak Sena selaku wali kelas Ayasa--kelas X IPA 3. Tanpa banyak bertanya, Ayasa berjalan menemui Pak Sena.

Tok, tok, tok.

"Masuk."  Sahutan dari dalam ruang guru tersebut membuat Ayasa lantas membuka pintu. Ia berjalan menuju meja Pak Sena berada. "Duduk, Nak Asa."

"Bapak manggil kamu kesini untuk membicarakan sesuatu. Dua bulan lagi, ada lomba debat nasional. Dari berkas yang kamu ajukan saat pendaftaran lalu, saya lihat kamu pernah memenangkan lomba debat bahasa tingkat internasional, ya?" tanya Pak Sena setelah memastikan Ayasa duduk dengan nyaman.

"Iya, Pak. Saya pernah mengikuti lomba debat internasional saat kelas 8," jawab Ayasa.

Pak Sena tersenyum cerah mendengar hal tersebut. "Begini, Nak. Sebetulnya lomba debat ini akan diwakili oleh kakak kelas kamu, awalnya begitu tapi beberapa hari lalu beliau pindah sekolah ke luar kota untuk mengikuti orangtuanya. Jadi, bapak berharap sekali kamu mau ikut untuk mewakili Dewantara."

Ayasa menatap ragu pada selembar kertas di hadapannya. "Saya 'kan baru resmi menjadi siswi Dewantara dua minggu lalu, Pak Sena. Apakah tidak masalah?"

"Tentu saja, tidak. Memang masalahnya apa, Nak? Yang penting kamu mumpuni 'kan?" Pak Sena tersenyum meyakinkan.

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Feb 12 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

Boundless: Ayasa's JourneyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon