Chapter 7.

28.5K 2.7K 36
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Muffin yang tampak baru keluar dari panggangan, Cake stroberi berlapiskan cream yang lembut, Cookies spesial yang tampak masih hangat di sempurnakan dengan taburan choco chips di atasnya.

Semua kudapan itu tampaknya tidak berhasil membuat Akasia selera. Meski tidak munafik, semuanya dengan mudah masuk ke dalam perut mungilnya. Namun pikirannya sama sekali tidak tenang, ini seperti menabur garam di atas semangka.

Akasia tidak berhenti memikirkan Theodore yang kini entah bagaimana nasibnya.

Di ujung yang bersebrangan dengannya, Pria tampan dengan tubuh kekar yang terbalut helai kain sutra putih itu duduk di sebrang meja panjang yang membatasi mereka.

Pria itu tampak sibuk dengan secangkir teh yang berada di di hadapannya. Figur nya yang tenang dan anggun duduk dengan tegak di kursinya, iris hijau nya sesekali memandang lurus pada Akasia.

"Kau tidak menyukai nya?" Suara bariton itu menginterupsi nya dari lamunan. Elliot melirik sekilas Cake yang hanya Akasia potong-potong dengan wajah tak senang nya.

"Aku menyukainya." Akasia menunduk. "Paman, apakah setelah ini aku dan Ayah Theodore bisa pulang?"

Keheningan menyapa, hening yang terasa mencekiknya hingga sulit bernafas. Tatapan tajam itu menatap nya lurus dengan wajah tanpa ekspresi.

"Dia bukan Ayahmu." Ucap nya dingin.

Akasia sontak mengangkat wajah, aura suram yang tampak mengelilingi Pria yang duduk di sisi sebrang nya itu membuat Akasia berpikir.

Kenapa dia marah? Apakah Ia telah menyinggungnya? Apa dia marah karena perkataannya barusan? Ia harus segera menjelaskannya sebelum menjadi lebih buruk.

"Aku memanggilnya Ayah karena hanya dia yang mau menerimaku." Ucapnya bermaksud untuk menjelaskan mengapa Ia memanggil Theodore 'Ayah'

Namun Ia tidak tahu kalau perkataannya justru menghadirkan awan gelap di cuaca yang terik.

Crang!

Akasia reflek menutup mata erat-erat, bunyi pecahan gelas itu sontak membuatnya menjatuhkan garpu yang di pegang nya. Ian yang sudah menduga hal itu akan terjadi lekas menggendong Akasia dan membawanya pergi.

Meninggalkan Elliot sendiri. Dari balik punggung lebar Ian, Akasia dapat melihat Elliot yang memegangi dadanya sendiri dengan keringat yang mulai muncul di pelipisnya.

"Tuan, apa dia marah padaku?" Cicit Akasia di beberapa persen keberaniannya.

Ian tersenyum. "Tidak."

"Tapi--"

"Bukankah Anda ingin melihat Tuan Theodore?" Ucap Ian mengalihkan topik.

Mendengar itu ekspresi Akasia berubah, menatapnya dengan wajah luar biasa senang. "Apakah boleh?"

Become An Antagonist (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang