Part 23. Pagi Yang Nikmat

66.6K 213 16
                                        

Inaya perlahan membuka mata. Badannya terasa pegal-pegal. Sulit sekali bergerak bahkan untuk merotasikan sendi lehernya.

Hal pertama yang disadari oleh Inaya ada sebuah tangan memeluk melingkar dari belakang dan menangkup payudara kanannya.

Tak terkejut, tidur nyenyaknya tadi malam tak lantas membuat dirinya amnesia seperti di film-film atau novel lainnya. Dia tahu tangan siapa itu.

Meskipun berat, pelan-pelan Inaya memutar badannya menghadap pak Rahmat yang masih tertidur pulas. Itu secara otomatis membuat posisi pak Rahmat yang sedang memeluk Inaya menjadi terlentang.

Dengan tubuh masih sama-sama telanjang bulat, Inaya meletakkan kaki kanannya di atas perut buncit pak Rahmat. Wajahnya yang kini tepat berada di depan ketiak lelaki itu kemudian memajukan kepalanya.

"Ehmmm...bau acem! Tapi enak!" batin Inaya yang malah mendusel-duselkan hidungnya di ketiak pak Rahmat. Area yang ditumbuhi rambut lebat plus lembab itu sudah pasti baunya sangat menyengat tapi entah kenapa Inaya justru menyukainya.

Karena merasa geli, pak Rahmat pun akhirnya terjaga. Dia menoleh ke samping menatap Inaya yang sedang menciumi rambut ketiaknya.

"Sayang, kamu lagi apa, sih?" tanya pak Rahmat sedikit menekuk lengannya ke bawah karena kegelian. Tahu pak Rahmat terbangun, Inaya buru-buru memejamkan mata dengan berpura-pura tidur.

Malu rasanya Inaya ketahuan menciumi ketiak pak Rahmat. Jadi cari aman dia bisa beralasan kalau dirinya sedang ngigo. "Aih! Malah pura-pura tidur," ujar pak Rahmat.

Inaya masih tak bergeming. "Awas, ya. Bapak gelitikin kamu jangan gerak, loh! Kan lagi tidur."

Saat jari jemari pak Rahmat menyentuh pinggangnya, Inaya tak kuasa berpura-pura lagi. Dirinya langsung tergelak dengan mata masih tertutup ketika pak Rahmat menekan pinggangnya membuat sensasi rasa geli yang tak terelakkan.

"Ah...ahahah...udah, pak! Udah! Geli bangettt...!!!" pekik Inaya kelojotan berusaha mendorong tangan pak Rahmat menjauh.

Mereka pun tertawa bersama-sama. Inaya mencubit perut pak Rahmat seraya memajukan kedua bibirnya manja. Merajuk tapi genit.

"Ih, bapak curang! Pake acara gelitikin Naya segala! Kan Naya jadi ketauan kalo udah bangun!"

"Hehehe...habisnya kamu gemesin banget! Jadinya pengen bapak cium terus!" ujar pak Rahmat sembari memajukan bibirnya untuk mencium Inaya.

Namun saat akan bersentuhan, Inaya mendadak melengos. Akhirnya bibir pak Rahmat malah mendarat di pipi wanita cantik itu.

"Gak mau, ah! Bapak belum gosok gigi. Masih bau!" rajuk Inaya.

Pak Rahmat tertawa kecil. "Halah, tadi aja ketek bapak kamu ciumin. Bau mana sama mulut bapak?"

Inaya terdiam dengan wajah yang memerah. Namun wajahnya bergerak mengikuti jari pak Rahmat yang menolehkan dagunya ke arah lelaki itu.

Pak Rahmat mencium bibir Inaya. Awalnya Inaya diam saja saat bibirnya dipagut oleh pak Rahmat, namun perlahan dia membalas dengan mengemut bibir bawah pak Rahmat.

Tubuh mereka miring saling berhadapan. Pak Rahmat merangkul leher Inaya sedangkan tangan Inaya menempel di sisi kiri wajah pak Rahmat.

Mereka berciuman dengan sangat mesra dan intim. Inaya tak memperdulikan bau mulut pak Rahmat yang tidak sedap. Sebenarnya dari awal Inaya tidak masalah dengan aroma mulut pak Rahmat. Dia hanya ingin menggoda lelaki itu saja dengan berpura-pura menolak ciumannya.

"Ssslllrrrppp...ssscccppp...sssspppp..."

"Ssslllrrrppp...mmmhhhsssppp..."

Tubuh mereka saling berdekapan. Detik ini sudah tak ada jarak di antara mereka. Bahkan jika pak Rahmat ingin membelai ginjal Inaya, wanita itu tidak keberatan. Lebay, hehe...

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang