9 | Kunjungan Intimidasi

669 71 18
                                        

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Made keluar dari rumahnya, setelah mendengar ada banyak warga yang sedang berkumpul. Ia mencoba mendekat pada kumpulan para warga tersebut, karena merasa penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Salah satu pemuda lain yang kenal dengan Made langsung merangkulnya, agar Made benar-benar bisa bergabung untuk mendengar pembicaraan yang terjadi saat itu.

"Ada apa, Bli[1]? Kenapa warga mendadak berkumpul seperti ini?" tanya Made, sengaja memelankan suaranya.

"Arsyad, Putra Pak Yunus yang tinggal di wilayah selatan dusun mendadak sakit tanpa sebab. Keadaannya semakin memburuk menurut informasi dari Pak Wayan. Menurut Pak Wayan, saat ini keluarga Pak Yunus sudah mengundang orang-orang dari luar Pulau Bali, yang akan membantu untuk mencari tahu apa penyebab sakitnya Arsyad. Orang-orang itu sudah sampai di rumah mereka dan sedang mencoba melakukan sesuatu terhadap Arsyad sesuai kepercayaan Agama Islam agar sakitnya tidak bertambah parah," jawab Kadek, sama pelannya.

Mendengar hal itu, Made pun teringat dengan apa yang terjadi dua malam lalu. Ia mulai sedikit gelisah, karena takut ada yang tahu kalau dirinya adalah penyebab Arsyad mendadak sakit tanpa sebab. Meski tidak dipungkiri kalau dirinya merasa senang setelah mendengar kabar sakitnya Arsyad, tetap saja rasa senangnya itu diiringi dengan ketakutan akan mendapat hukuman sosial dari masyarakat karena telah berusaha mencelakai seseorang. Untuk itulah otak Made langsung berpikir keras. Ia merasa harus memberikan tekanan yang lebih besar lagi kepada Ketut dan Gede, agar keduanya tidak berani melapor pada siapa pun. Keduanya adalah saksi mata dan ucapan mereka jelas bisa saja lebih dipercaya meskipun tidak ada bukti.

Diam-diam, Made mengeluarkan ponselnya saat Kadek sedang fokus pada pembicaraan warga. Ia mengetik pesan dengan cepat, agar bisa mengirimnya kepada Gede dan Ketut.

MADE
Sampai ada di antara kalian yang berani buka mulut soal apa yang terjadi dua malam lalu, maka aku tidak akan segan untuk membuat kalian ikut menerima hukuman sosial dari Kepala Dusun dan para warga. Ingat, ucapan kalian mungkin bisa dipercaya dan diyakini sebagai kejujuran. Tapi kalian saat itu lebih mematuhi perintahku dan tidak menyusul kembali Arsyad yang tertinggal di area dalam kuburan. Arsyad jadi harus menghadapi semuanya sendirian, tanpa ada yang tahu seperti apa kejadiannya. Jadi sudah pasti kalian berdua akan dicap sebagai kaki-tanganku, yang ikut membantu mencelakai Arsyad. Ingat itu baik-baik!

Setelah mengirim pesan itu kepada Ketut dan Gede, Made kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku. Para warga tampak begitu bersimpati pada sakitnya Arsyad, membuat Made merasa geram dan kembali mengingat kebenciannya pada pemuda itu. Ia benar-benar tidak suka pada Arsyad, terutama sejak dia berhasil mempermalukannya di kampus dan membuatnya terlihat seperti tikus got usai tercebur di selokan. Ia mendendam begitu dalam, sehingga enggan mendengar hal apa pun soal Arsyad.

"Aku kembali dulu ke rumah, Bli. Ada hal yang belum selesai kukerjakan, barusan," pamit Made, kepada Kadek.

"Ya ... ya ... pulanglah. Nanti akan kuberi kamu kabar, kalau ada perkembangan mengenai Arsyad," tanggap Kadek.

Made memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Ia segera beranjak dari perkumpulan itu dan berjalan santai menuju rumahnya. Belum ada balasan dari Ketut ataupun Gede. Namun Made yakin, pesannya itu sudah dibaca oleh mereka dan berhasil membuat mereka merasa terintimidasi.

I Putu Sulastra--tetangga sebelah rumah Made--muncul tak lama kemudian di persimpangan jalan. Pria paruh baya itu tersenyum saat berpapasan dengannya. Membuat Made balas tersenyum dan mulai berbasa-basi.

"Mau pulang, Nak Made?" tanya I Putu Sulastra.

"Iya, Pak. Saya baru saja akan pulang setelah ikut berkumpul sebentar bersama warga," jawab Made, berusaha mempertahankan kesopanannya.

"Tidak mau ke rumah Arsyad? Kamu temannya, 'kan? Saya mau ke sana untuk menjenguknya. Saya mau lihat langsung keadaannya," ujar I Putu Sulastra.

"Niatnya begitu, Pak Sulastra. Tapi di rumah ada hal yang belum selesai saya lakukan. Jadi, mungkin saya akan pulang dulu sebentar."

"Oh, begitu rupanya. Tadi Gede saya lihat sudah pergi ke sana lebih dulu. Saya lihat dari jendela rumah, kalau dia tampak pergi ke sana sangat terburu-buru. Mungkin dia agak kaget setelah mendengar kabar dari orangtuanya yang sempat berbincang dengan Bu Nyoman dan Pak Wayan. Makanya dia langsung pergi ke rumah Arsyad saat itu juga."

Mendengar hal tersebut, perasaan Made mendadak kembali gelisah tak karuan. Ia takut kalau Gede ternyata sudah lebih dulu mengadukan kejadian sebenarnya, kepada orangtua Arsyad ataupun kepada Kepala Dusun yang masih berada di sana. Terlebih saat itu Gede sama sekali belum membalas pesannya, membuat ketakutan dalam hati Made semakin menjadi-jadi.

"Oh, Gede sudah ke sana duluan ternyata? Ya sudah, kalau begitu saya akan ikut sekalian dengan Pak Sulastra ke sana. Biar ada teman pergi," putus Made, meralat niatannya tadi.

"Ya, boleh. Ayo, kita sama-sama pergi ke sana," tanggap I Putu Sulastra.

Keduanya segera berjalan dengan cepat menuju wilayah selatan dusun. Di perjalanan, Made kembali mencoba mengirim pesan, namun kali ini ia hanya mengirim pesan itu hanya untuk Gede.

MADE
Sampai kamu buka mulut, maka kesalahan Bapakmu yang sudah salah memberikan aliran dana bantuan akan aku bongkar di depan warga. Akan kupermalukan Bapakmu, sampai tidak ada lagi tempat dia bisa menyimpan wajahnya!

Sesampainya mereka di dekat rumah Arsyad, Made akhirnya melihat keberadaan Gede yang sedang berkumpul bersama warga lain di rumah seberang. Keduanya saling menatap, namun sama sekali tak saling bicara. Gede sudah membaca pesan yang Made kirimkan. Ia tahu persis bahwa kedatangan Made ke rumah Arsyad kali itu bukanlah untuk menjenguk, melainkan untuk mengintimidasi dirinya ataupun Arsyad yang sedang terbaring sakit. Gede hanya bisa bungkam, meskipun sejak tadi hati nuraninya terus menjerit dan ingin segera mengungkapkan yang sebenarnya terjadi. Sayangnya, Ia harus berusaha menyimpan semua itu untuk menyelamatkan harga diri Bapaknya yang pernah tidak sengaja melakukan kesalahan.

I Putu Sulastra dan Made disambut dengan baik oleh Yunus. Keduanya segera mendekat pada Arsyad yang saat itu kondisinya masih lemah--meski sudah tak selemah awalnya sebelum ditangani oleh Karel dan Samsul. Revan dan Iqbal menatap kedua tamu yang baru datang tersebut, lalu memberi mereka ruang agar bisa mendekat pada Arsyad. I Putu Sulastra hanya memeriksa sebentar, lalu mendekat pada I Wayan Landra dan Yunus untuk berbincang. Hanya Made yang tersisa di sisi Arsyad, sehingga Arsyad kini memahami apa tujuan kedatangan Made ke rumahnya.

"Ingat, jangan coba-coba buka mulut. Aku tidak akan segan menyakiti Ketut dan Gede, jika kamu berani buka mulut mengenai perbuatanku dua malam lalu. Aku harap kamu paham," bisik Made, tepat di telinga Arsyad.

Made kemudian bangkit dari kursi yang didudukinya, lalu mendekat pada I Putu Sulastra yang sudah akan berpamitan. Keduanya kembali keluar bersama dari rumah itu, dan tak sengaja berpapasan dengan Ketut yang baru saja datang untuk menjenguk Arsyad bersama kedua orangtuanya. Tatapan Ketut dan Made bersirobok. Ketut bisa melihat ancaman tersirat di wajah Made, diiringi dengan senyum mengerikan yang sengaja pemuda itu tunjukkan pada Ketut.

"Tetaplah tutup mulut," bisik Made, sebelum benar-benar pergi.

* * *

[1] Bli : Sapaan untuk laki-laki dalam bahasa Bali yang biasanya digunakan untuk menyapa orang yang lebih tua atau baru dikenal. Makna kata bli sama seperti kata "Mas" dalam bahasa Jawa.

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

LEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang