Bab 20

6.7K 583 0
                                    

Di ruangan yang nyaman dengan jendela besar yang membiarkan sinar matahari pagi masuk,

Cassian baru saja selesai menceritakan kisah lucu kekalahannya kemarin, membuat Remiel tertawa kecil.

Namun, tawa itu berhenti ketika sosok anggun Permaisuri Elara, ibu Remiel, muncul di ambang pintu.

Cassian dan Remiel segera berdiri. Cassian membungkuk dengan hormat. "Salam Permaisuri Elara," sapanya dengan sopan.

Remiel, di sisi lain, hanya mengangguk kecil tanpa banyak ekspresi. Sorot matanya tidak hangat, namun juga tidak sepenuhnya dingin.

Elara menatap putranya dengan perasaan bercampur aduk. Ada rasa bahagia melihat Remiel tertawa tadi,

namun juga ada luka dalam hatinya, menyadari betapa jauhnya jarak emosional mereka sekarang.

Ia berusaha menenangkan diri, menahan air mata yang sempat muncul, dan melangkah masuk dengan senyum yang sedikit kaku.

"Selamat pagi, Cassian, Remiel," sapa Elara lembut.

"Pagi, Yang Mulia," jawab Cassian, tersenyum sopan. Ia dapat merasakan ketegangan di antara ibu dan anak itu, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Elara mencoba berbicara ringan, membahas cuaca cerah dan hal-hal sepele lainnya. Ia meminta pelayan membawakan makanan ringan dan teh untuk menemani mereka.

Cassian, yang biasanya tidak terlalu peka, kali ini merasakan bahwa kehadirannya mungkin mengganggu sesuatu yang lebih pribadi.

Ia menggaruk belakang lehernya dengan canggung dan berkata, "Ah, sepertinya aku lupa ada janji lain. Aku harus pergi sekarang."

Remiel menatap Cassian dengan alis terangkat. "Janji apa? Kau tidak pernah punya jadwal yang jelas."

Cassian terkekeh kecil. "Yah, itu janji rahasia. Sampai nanti, Remiel, Yang Mulia." Ia membungkuk lagi kepada Permaisuri Elara sebelum pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah ringan.

Setelah Cassian pergi, suasana menjadi sunyi. Elara duduk di sebelah Remiel, mencoba mengatur kata-kata yang tepat. Namun, Remiel hanya menatap keluar jendela, wajahnya datar.

"Remiel," panggil Elara akhirnya, suaranya lembut namun penuh emosi. "Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?"

Remiel mengangkat bahu. "Baik, seperti biasa."

Elara menghela napas, merasa sulit untuk memulai percakapan ini. "Kau tampak bahagia tadi bersama Cassian. Aku senang melihatmu bisa tertawa begitu lepas."

Remiel tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, tidak menoleh.

Keheningan menggantung beberapa saat sebelum Elara memutuskan untuk langsung pada intinya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, "Remiel sayang, Ibu ingin bicara serius denganmu."

Remiel akhirnya menoleh, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kehati-hatian. "Tentang apa?"

Elara menggenggam tangannya di pangkuan, berusaha keras menahan air matanya. "Ibu ingin meminta maaf, Remiel. Selama ini, Ibu merasa telah gagal menjadi seorang ibu bagimu."

Remiel memandang Elara, sedikit terkejut. Ia tidak menyangka ibunya akan langsung mengungkapkan hal seperti itu.

"“Ibu tahu selama ini ibu tidak pernah menjadi ibu yang baik untukmu. Ketika kau berbuat onar atau berbuat salah, seharusnya ibu menasehatimu, mendukungmu, dan membimbingmu. Tapi, ibu malah mengabaikanmu. Ibu terlalu bodoh untuk menyadari betapa sakitnya hal itu bagimu. Ibu, terlalu sibuk dengan hal-hal lain, hingga melupakan anak bungsu Ibu yang seharusnya paling membutuhkan kasih sayang."

Remiel tidak langsung merespons. Matanya sedikit melembut, tetapi wajahnya tetap sulit dibaca.

Elara melanjutkan, suaranya semakin bergetar. “Ibu sangat menyesal, sayang. Ibu ingin memperbaiki semuanya. Mohon, beri ibu kesempatan untuk dekat denganmu lagi. Ibu ingin mendukungmu, menjadi tempatmu bersandar. Tolong...”

Kata-kata itu menusuk hati Remiel. Ia berusaha menahan air matanya, tetapi gagal. “Aku bisa saja memberi kesempatan, Ibu. Tapi...” Remiel terisak, suaranya terputus-putus. “Luka ini selalu kuingat. Ketika keluargaku mengabaikanku... Ketika aku merasa tidak ada yang peduli...”

Elara tidak tahan lagi. Ia langsung bangkit dari kursinya dan memeluk Remiel erat-erat. “Ibu minta maaf, sayang. Ibu sungguh minta maaf...” isaknya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi bahu putranya.

Remiel, yang awalnya kaku, akhirnya membalas pelukan itu. Tangisnya semakin deras. “Aku... hanya ingin dianggap, Bu. Aku hanya ingin diperhatikan...”

“Ibu tahu, sayang. Ibu tahu. Mulai sekarang, ibu akan selalu ada untukmu. Ibu berjanji tidak akan pernah mengabaikanmu lagi. Kau adalah permata ibu, anak ibu yang paling berharga,” bisik Elara, sambil mengusap rambut Remiel dengan penuh kasih.

"Ibu tidak akan menyalahkanmu jika kau sulit mempercayai Ibu lagi," lanjut Elara, suaranya mulai terdengar bergetar. "Tapi, sayang, Ibu benar-benar ingin memperbaiki semuanya"

Remiel tidak langsung merespon, tetapi perlahan, ia membiarkan dirinya bersandar di pelukan ibunya. Isak tangis mereka mengisi ruangan, namun ada rasa lega yang perlahan muncul di antara keduanya.

Di luar ruangan, Cassian berdiri diam di dekat pintu, tidak sengaja mendengar semuanya. Ia tersenyum kecil, menatap langit melalui jendela di lorong.

"Semoga ini adalah awal baru untukmu, adikku," gumamnya pelan, sebelum melangkah pergi, memberi mereka ruang untuk menyelesaikan perasaan mereka.




Vote vote vote 🌹🌹

Become the youngest prince [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang