10. The Problem

17.2K 1.6K 134
                                    

"Jadi, lo udah baikan sama papi lo?"

Kevan memandang dua pemuda yang duduk di seberangnya. Posisi mereka terhalang meja persegi saat ini. Dua orang itu, Marvel dan Leon, menatap teman mereka dengan tatapan serius.

Saat ini Kevan berada di perpustakaan umum. Sepulang sekolah, Kevin masih ada latihan futsal dan Kevan memilih menunggu anak itu sambil membaca buku di perpustakaan. Dan ia tak sengaja bertemu dengan Marvel dan Leon.

Sedikit cerita, mereka teman Kevan yang beda sekolah. Pertemuan mereka memang aneh karena mereka berteman secara tidak sengaja karena saling bertanya tentang pelajaran.

Yang pertama berteman adalah Marvel dan Kevan. Mereka bertemu di perpustakaan, dan kebetulan Marvel melihat Kevan fokus mengerjakan buku soal yang setebal skripsi anak kuliahan.

Marvel di sekolahnya juga mendapatkan peringkat pertama. Tapi, dia tidak segenius Kevan yang bisa menyelesaikan semua buku soal itu saat berusia 13 tahun. Karena iseng, Marvel mencoba bertanya pada Kevan, dan meminta pemuda itu mengajarinya hal-hal yang tidak ia ketahui.

Mereka bertemu saat kelas satu SMP. Dan sekarang, sudah enam tahun pertemanan mereka dan Kevan selalu bertemu dengan Marvel di perpustakaan. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku daripada nongkrong di kedai kopi, membahas para wanita. Mereka anti dengan itu.

Lalu, saat Kevan kelas 10, barulah Leon ikut nimbrung. Dia bertemu Kevan di perpustakaan. Tapi jauh sebelumnya, dia sudah mengenal Kevan karena pernah menjadi lawannya saat mengikuti lomba untuk mewakilkan sekolahnya. Dan Leon kalah.

Leon bukannya benci melihat Kevan, pemuda itu malah kagum. Dia mulai mengusik Kevan dan Marvel, lalu secara alami bergabung di kelompok orang-orang genius itu. Dan terbentuklah circle Albert Einstein. Entahlah, nama itu Leon yang memberikannya, dan itu terasa norak bagi Marvel dan Kevan.

Tapi ya sudahlah, suka-suka si singa.

"Iya." Kevan membolak-balikan buku tanpa menatap mata kedua temannya.

"Widih, selamat, ya," ujar Marvel yang ikut merasa senang. Selama enam tahun berteman dengan Kevan, mereka saling terbuka satu sama lain.

Kevan selalu bercerita tentang keluarganya, dan setelah dia menceritakan keluarganya, maka Kevan akan bergantian mendengarkan masalah keluarga yang dimiliki Marvel.

Itu yang mereka lakukan selama tiga tahun, dan bertambah satu orang lagi yang ternyata juga memiliki masalah hidup. Mereka tidak akan menjudge atau menyela saat salah satu dari mereka berbicara. Benar-benar pertemanan yang diidamkan semua orang.

"Makasih." Kevan tersenyum sekilas. Pemuda itu mendongak, berganti menatap mata Marvel. "Sekarang lo. Gimana sama keluarga lo?"

Marvel mendengus jengah. "Ya gitu, ga ada perubahan. Masih seperti biasa, ga dianggap."

"Lo udah pernah ngomong sama ayah kandung lo?"

Marvel hanya diam saja, namun diamnya itu menjawab pertanyaan Kevan. Marvel, meski orang-orang memandangnya sempurna, sebenarnya dia tidak sesempurna itu.

Marvel memiliki ayah kandung yang telah lama bercerai dengan ibunya. Marvel ikut ibunya karena saat itu dia masih berusia enam bulan. Bayangkan, masih umur enam bulan, kedua orang tuanya bercerai.

Ibu Marvel menikah lagi kemudian bercerai lagi. Begitu seterusnya sampai ibunya benar-benar menemukan pria terbaik dalam hidupnya. Marvel senang jika ibunya mendapatkan kebahagiaan, tapi dia tidak senang karena ayah kandungnya tidak pernah memberi mereka uang.

Harusnya ayah kandung Marvel memegang tanggung jawab memberikan uang kepada anak-anaknya. Tapi sayang seribu sayang Marvel adalah anak yang tak dianggap.

Papi Gaul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang